Directed
by
Angga Dwimas Sasongko
Cast:
Vino G. Bastian, Sherina Munaf, Fariz Alfarazi, Yayan Ruhian, Ruth Marini,
Aghniny Haque, Yusuf Mahardika, Marsha Timothy, Lukman Sardi, Cecep Arif
Rahman, T. Rifku Wikana, Dwi Sasono, Marcella Zalianty, Marcell Siahaan, Happy
Salma, Dian Sidik, Yayu Unru, Restu Triandy, Cupink Topan, Mardi
Sinopsis:
Selamat dari pembantaian di Jatiwalu, Wira
Saksana kecil diasuh oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini) hingga menguasai bela
diri dan mewarisi sebuah kapak sakti.
---
Di tengah daftar panjang film lokal
bergenre drama (62.25%) dan horor (30.58%) yang telah tayang di bioskop tahun
ini, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 bak angin segar bagi
penikmat film dalam negeri. Bekerja sama dengan 20th Century Fox,
tak pelak membumbungkan harapan bahwa Indonesia akan kembali mendulang sukses lewat
film laga layaknya The Raid yang dielu-elukan bahkan di kancah internasional. Pertanyaannya,
akankah Wiro Sableng memenuhi banyak ekspektasi?
Diangkat berdasarkan serial novel karangan
Bastian Tito (ayah kandung dari pemeran Wiro Sableng dalam film ini, Vino G.
Bastian), film pertama Wiro Sableng ini bercerita tentang Wiro setelah tujuh
belas tahun sejak kedua orang tuanya dibunuh oleh Mahesa Birawa (Yayan Ruhian)
di Jatiwalu. Dua hal yang menjadi perhatian saat penggambaran pembantaian di
Jatiwalu ini ditampilkan sebagai pembuka film, yang secara tidak langsung memberi
kita gambaran akan seperti apa film ini selanjutnya: Wiro Sableng memiliki sound dan scoring megah sekelas Hollywood, namun (sayangnya) tidak dibarengi
penggarapan aksi laga yang kompeten.
Poin pertama (baca: sound dan scoring megah),
jelas menjadi nilai tambah yang sangat dinantikan mengingat Wiro Sableng
merupakan film laga yang memang perlu garapan efek suara yang lebih nendang
demi menunjang serangkaian aksi dan membawa penonton pada keseruan. Meski tak
disangkal, suara dan scoring yang powerful ini nantinya tidak bisa bekerja
maksimal karena tidak dibarengi sound
mixing yang layak. Alhasil, beberapa rangkaian
dialog karakter tenggelam, yang selain mengganggu di beberapa bagian, juga
membuat Wiro Sableng kehilangan momennya terutama dalam menyampaikan joke, dimana sebagian penonton akan sibuk beralih
pada subtitle Inggris di bagian bawah
layar sementara sebagian yang lain bertanya-tanya dalam hati apa gerangan
kalimat yang “hilang”. Sangat disayangkan memang, padahal interaksi jenaka Wiro dengan
karakter lainnya adalah pembeda dan ciri khas utama dalam film ini, yang
membuat kita betah berlama-lama duduk selama 120 menit. Lihat bagaimana sukses duetnya
bersama Sinto Gendeng di paruh awal, yang langsung mencuri tawa dan perhatian
banyak orang, hingga membuat kita tak sabar menanti tingkah konyol apa lagi
yang akan dilakukan pendekar muda ini.
Sementara poin kedua (baca: aksi laga yang
kurang kompeten), faktor penyebabnya bisa jadi karena tiga hal; Angga Dwimas
Sasongko yang sebelumnya tidak pernah menggarap film laga panjang, pemain-pemain
utama yang tidak memiliki latar belakang bela diri yang kuat serta penggunaan
CGI yang ingin diminimalisasi. Hasilnya, kita akan melihat aksi pendekar yang
bertarung dalam tempo yang lebih lamban dari yang seharusnya (bukan slow motion, bagian slow motion film ini
lumayan menarik) ditambah aksi tidak mendukung kamera dalam mengekspos
pertarungan terutama ketika sesuatu terlempar/dilempar–yang tampaknya untuk
menghindari penggunaan CGI yang berlebihan. Sulit untuk benar-benar kagum pada
pertarungan serius hidup dan mati yang melibatkan trio utama film ini. Jujur
saja, pertarungan Bidadari Angin Timur milik Marsha Timothy yang mengambil
tempat di dalam kerajaan terlihat lebih believable.
Beruntung Wiro Sableng adalah karakter unik yang dimainkan dengan asik pula. 3 stars (out of 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar