Resah
karena takut telah menyeruak. Menjadikan bisu seorang wanita dua puluhan di tengah-tengah
ruang yang belum lama ini ia kenal. Ia gemetar, nadinya dicekik oleh rentetan
ketakutan hingga darahnya tersumbat dan memucatkan beberapa bagian dari sisi tubuh.
Disinilah dia. Duduk diam dalam riuh makan malam tanpa ingin memandang yang
mengundang. Pandangannya lebih tunduk pada hamparan piring di atas meja, pada
apa yang biasa ‘mereka’ sebut sebagai hidangan utama.
Dari
semula pria yang tengah duduk di seberangnya telah mengatakan. Dia adalah seorang
pemakan ‘daging’. Tapi dulu Julie hanyalah wanita bodoh yang menganggap
karakter pelahap-berbagai-organ-dalam-manusia hanya ada di pemikiran ‘orang gila’
saja, hanya ketakutan fiksi yang digunakan para penulis horror dalam berbagai imajinasi mereka. Hingga akhirnya ia
sadar–berbekal pemikiran dangkal–ia telah membawa dirinya sendiri pada kesalahan
fatal yang mengancam degup. Kini mau tak mau, suka atau tidak, ia turut tahu
cerita mendebarkan tentang sebuah apartemen.
Semua
bermula ketika Julie dalam akun facebook-nya
menulis ‘daging manusia’ sebagai interest.
Alasannya menarik; iseng, yang kemudian tanpa diduga ditanggapi oleh Evan yang tersenyum
tak percaya di balik komputer kamarnya saat menemukan tulisan ini. Entah bagaimana cara ia melacak, yang
pasti saat itu pertemanan mereka dimulai.
Julie
ingat betul bagaimana awal mereka chatting
bersama dalam alur maya. Waktu itu Evan lebih dulu menyapa, hadir dengan kata-kata
manis disertai emoticon senyum bulat
kuningnya–satu alasan Julie tidak percaya jika Evan adalah seorang pemakan
‘daging’. Dia juga masih ingat betapa ia terkagum pada wajah pria yang sekarang
membuatnya ngeri dalam keringat; mukanya bersih, berkacamata, rambut keras
kecoklatan, dan gigi terurus tanpa taring mencolok. Pernah Evan sekali bertanya
di salah satu jalan mereka tentang bagian tubuh manusia mana yang paling
disukai. Tanpa menganggap itu sebagai kengerian lain, Julie membalasnya dengan
jawaban yang mungkin sekarang ia sesali. Hati.
Apartemen
itu adalah apartemen setan. Hampir semua penghuni di gedung berlantai empat belas
ini adalah pemakan ‘daging’, hanya delapan sampai sepuluh orang saja yang bukan
bagian dari mereka, yang sewaktu-waktu akan menjadi makanan utama istimewa ketika
pesta dimulai. Dan sampai kapanpun Julie tidak akan percaya cerita-cerita ini,
bahkan sampai ia mengunyah berulang kali daging-daging manusia itu di mulutnya
jika saja ia tidak menemukan apa-apa di kamar mandi delapan menit lalu.
“Kamu
kenapa?” Itu suapan pertama yang Evan lakukan. Kunyahannya pelan dengan tatapan
heran untuk Julie. “Kenapa enggak dimakan?”
Julie
terkejut di kursinya. Ia hampir saja terlonjak ke belakang. Sepanjang menit
tadi ia habiskan dengan berpikir bagaimana ia bisa keluar hidup-hidup dari
tempat ini–tak ada yang lain. Sekarang mulutnya bergetar mencari kata-kata yang
tepat untuk menjawab kematian. Ia tak ingin salah langkah, tak ingin ketahuan.
Ia belum ingin mati.
“E-enggak tahu ini kenapa. Badanku rasanya
berat. Mungkin kecapekan semalam ngerjain laporan.” Julie memegangi tengkuknya.
Berusaha meyakinkan Evan dan juga dirinya sendiri.
Mulut
Evan mendadak berhenti mengunyah. Menemukan dirinya lebih tertarik dengan apa
yang baru saja ia dengar dari pada rasa ‘daging’-nya. Bagaimanapun dia adalah
pemakan ‘daging’ yang sesungguhnya, tidak seperti Julie. Dia tahu apa yang berlaku
dan apa yang tidak. Sesaat Julie menyadari bahaya mengancam. Raut wajah pria
itu berubah. Evan mencari-cari sesuatu di dalam matanya; kebohongan.
“Aku
baru tahu diantara ‘kita’ ada yang begitu mudah sakit. Tak seperti biasa.” Evan
kembali mengusik dagingnya dengan pisau. Memotongnya ke bagian-bagian yang
cukup kecil hingga mudah dilahap mulut. Dia mengunyah dengan lagi-lagi pelan.
Julie
melepas pegangannya dari tengkuk. Meraba-meraba keadaan yang mulai tak bisa
dikendalikan–karena ia tak tahu-tahu apa-apa tentangnya. Ia kehilangan arah, gelisah,
lalu Evan melanjutkan perkataannya di antara remahan-remahan daging di mulut.
“Semua
nutrisi yang dibutuhkan manusia tersimpan dengan baik dalam tubuh manusia lain–yang
menghabiskan seluruh hidupnya pada pola makan sehat, olahraga, dan juga istirahat
cukup. Mereka dipendam dalam setiap lapis daging di bawah kulit dan organ-organ
yang membutuhkan asupan. Dengan memakan sepiring ‘daging’ berarti kita sudah
mendapatkan nutrisi yang seharusnya–bahkan lebih. Tak ada alasan sakit bagi
para pemakan daging–apalagi hanya seharian-mengerjakan-laporan, kecuali kau
sudah renta dan benar-benar sakit. Tapi itu pun berlaku jika kamu benar-benar merupakan
bagian dari kami.”
Suasana
menyempit, keadaan pelik terjadi begitu saja tanpa diprediksi. Cahaya kehidupan
menyuram. Tak ada nafas bebas, hanya sesak yang mengancam dari sudut ruangan
yang ada. Pandangan Julie membesar. Tak percaya ia sekarang sedang membayangkan
dirinya sendiri tengah ‘dibongkar’ dan diletakkan begitu saja dalam sebuah bathtub dengan mulut ternganga. Perut dikoyak
lebar hingga ke dada, usus dibiarkan keluar, mata dikorek satu, persis seperti
pria yang baru saja ia lihat di belakang sana. Mengerihkan. Menjijikkan.
“Kami
punya ini sebagai tanda.” Evan menebar teror baru. Kali ini–mungkin–kematian. Dengan
masih memegangi alat makannya, ia tarik kantung mata sebelah kanannya hingga
mengendur ke bawah. Disana! Julie bisa melihat dengan jelas–dan bergetar–ciri khas
dari para pemakan ‘daging’. Sebuah titik. Menempel di balik kantung mata.
Sekarang
yang harus dipikirkan oleh Julie adalah bagaimana dirinya bisa menciptakan tanda
itu di balik matanya–dalam sekejap. Jika mereka bisa, seharusnya ia juga. Tapi
belum sempat Julie menemukan jawaban apapun dari atas segala kepanikannya, Evan
justru melanjutkan, “Kamu punya?”
Pelatuk
kematian telah ditarik, tinggal menunggu seseorang untuk melepaskan akhir. Entah
siapa yang akan berdarah lebih dulu, tapi yang pasti akan ada banyak darah hari
ini. Evan meletakkan alat makannya, membersihkan apapun yang bersisa di mulutnya
memakai serbet, lalu meletakkan tangan di atas meja. Ia menunggu.
Di
tengah atmosfer ketegangan yang semakin kuat, Julie–berhasil–menyimpulkan
senyuman, tertawa, dan mengeluarkan hembusan kecil dari mulutnya. Wajahnya
beberapa kali menggeleng, seakan-akan merasa lucu dengan pertanyaan ‘bodoh’
yang baru saja diterimanya. Julie beranjak keluar dari kursi, berjalan
mengitari separuh meja dan hinggap tepat di belakang Evan.
“Kamu
terlalu curiga padaku, Evan.” Julie merangkulnya, mencium pipinya sekali, dan menempelkan
kepala miliknya ke kepala sang pacar. Sesaat semuanya seakan berada di bawah
kendali. Sekilas Julie bisa melihat segenggam pisau yang tengah memperhatikan
mereka di hadapan Evan dari tempatnya sekarang. Dengan memperkirakan dampak
yang bisa diperbuat tajamnya sebilah pisau, ia rasa ia punya kesempatan.
Julie
melepaskan sandarannya dari Evan kemudian, menunjukkan niat hendak bergerak ke
kursi sebelah sementara tangannya terus merambat di sepanjang bahu pacarnya.
Dia menatap pisau itu sekali lagi, lalu pada Evan.
“Sekarang
kamu mau aku ngapain biar percaya?”
Dia
sengaja menaikkan pertanyaan ke posisi klimaks, karena hanya dengan begitu pria
di hadapannya ini akan tersedot penuh perhatiannya, dan itulah saat yang tepat untuk
mengambil pisau kebebasan sebelum terlacak.
“Show me.” Tantang Evan.
Dengan
penuh perhitungan Julie menempatkan posisi tangannya di atas dan bawah mata
kanannya. Hendak menarik keduanya ke masing-masing kutub seperti yang dilakukan
Evan beberapa menit lalu hingga terlihat sebuah titik kematian–seharusnya. Satu
hal di luar perhitungan Julie: dengan berpindah ke kursi sebelah, akan sulit
baginya untuk menarik pisau itu.
Tidak bisa! Ini akan gagal! Dia mati! Sekarang!
Julie
dengan cepat mengubah rencana. Ia menghantam Evan dengan tangan kanan yang
tadinya bertugas menarik kantung matanya ke bawah. Mungkin pria itu tidak menderita
luka parah ataupun jatuh dari kursinya, tapi itu tidak masalah karena yang
diperlukan saat inilah hanyalah waktu tambahan untuk mengambil alih pisau dan
segera menekankannya pada sebelah tangan yang tertinggal di atas meja. Julie
bisa merasakan bagaimana tulang telapak tangan pria itu patah, bagaimana ujung
pisaunya menyisip di antara ruas tulang yang sekarang berlubang. Evan
berteriak.
Julie
lari meninggali Evan di kursinya menuju pintu kamar apartemen. Tak ingin
membuang-buang waktu. Dalam rencana kaburnya ini, wanita itu melupakan sesuatu.
“Aku tinggal bersama ibuku. Tapi mungkin dia takkan makan
malam bersama kita. Ia sedikit sakit–sudah terlalu tua.”
Seorang
wanita berambut kelabu keluar dari kamar. Tubuhnya kurus. Wanita itu, Nyonya
Evan, memandangi anaknya yang sibuk kesakitan mencabut pisau dari telapaknya di
meja makan lalu menatapi Julie.
Nyonya
Evan bergegas dari ambang kamar tidurnya, yang karena kegesitannya membuat ia
terlihat tak setua yang dikatakan putranya. Julie berhenti bergerak, menatapi
pintu kamar apartemen yang masih terlalu jauh dan nyonya tua yang siap
menghadang. Bagaimanapun kekerasan lain harus terjadi sebelum akhirnya pintu
neraka ini terbuka.
Julie
menarik lampu hias yang sedang tak dihidupkan malam itu dari sebuah meja kecil,
lalu segera berlari ke arah wanita tua yang tampaknya sudah hilang kendali.
Satu pukulan membuat kepala itu terbanting sekali ke kanan, lalu kemudian naik
lagi. Dua. Tiga kali. Kepala bersama tubuh sang nyonya roboh. Julie sempat
memperhatikan apakah makhluk itu masih bisa bergerak dalam waktu dekat atau tidak,
sebelum akhirnya dia ingat bahwa ada seseorang lain di ruangan itu yang
menunggunya.
Evan
sudah berada di belakang, memegangi tubuh Julie dan juga mengancam lehernya
dengan pisau agar tidak berbalik. Namun mangsanya kali ini nekat; lebih memilih
untuk bertindak dan mati dari pada disandera dan mati. Julie menginjak kaki
Evan, menyikut perutnya hingga terlonjak ke belakang. Pegangan itu tak lepas,
namun pisau di tangan kanan Evan terbanting ke lantai karena genggaman Evan
yang tak lagi bisa kuat. Pisau berdenting.
Julie
menggigit lengan Evan yang masih saja menahannya. Memberikan cukup ruang agar
ia bisa keluar dari sana. Wanita itu berbalik, memperhatikan Evan yang tengah
kesakitan dan pisau yang terlempar. Sesaat Evan beralih padanya dan arah
matanya.
Keduanya
bergerak. Saling berebut senjata yang mungkin saja mengubah nasib masing-masing
ras. Jarak pisau itu lebih dekat untuknya hingga ini terjadi. Julie memegang
kendali dengan gemetar. Lawannya memperhitungkan ruang gerak, seberapa besar
jangkauan tangan itu bisa mengenai dan bagaimana cara ia mengambilnya. Sesuatu
terjadi pada bola mata Evan. Ia tidak lagi memperhatikan Julie ataupun
pisaunya, melainkan sesuatu yang ingin bangkit lagi di belakang. Penasaran,
Julie berbalik.
Nyonya
Evan masih disana. Berlari seperti orang gila ke arahnya. Spontan Julie
menggesek pisau ke udara. Hujan datang. Air darah. Membasahi Julie dan juga
lantai. Julie baru saja merobek sebuah leher dan menumpahkan segala hal yang
memungkinkan terjadinya akhir pada sang Nyonya.
Nyonya
Evan tergeletak di lantai. Darah terus keluar dari lehernya.
Julie
tidak terbiasa dengan keadaan ini. Pisaunya sengaja jatuh. Ia mundur beberapa
langkah karena terkejut dengan apa yang baru saja terjadi sementara Evan
memandanginya dari tempat lain.
Wanita
itu didorong pada dinding kamar, tersudut. Evan menahan lehernya cukup kuat dengan
lengan hingga sesak sempat menggelayuti musuh sebelum akhirnya ia longgarkan.
Keduanya begitu dekat saat ini, hingga nafas mereka mungkin saja saling
bertukaran dan bercerita. Julie mengelakkan kepalanya ke lantai saat Evan berusaha
memandangi matanya. Ia tidak ingin tahu apa yang akan terjadi padanya.
Julie
menghitung dalam hati kejadian selanjutnya, namun tidak terjadi apa-apa. Ia
kemudian memberanikan diri menatap Evan, dan sesaat ia tahu ia tidak akan
diapa-apakan–setidaknya dalam waktu dekat.
Tak
ingin menyia-nyiakan kesempatan, Julie segera menendang perut musuhnya. Evan
bergeming. Kemudian Julie menambahkan satu pukulan keras untuk kepala, lalu menumpahkan
sebuah vas disana. Kali ini Evan benar-benar jatuh.
Sebelum
benar-benar pergi, Julie mengira-ngira apa yang akan ia lakukan dengan prianya
itu selanjutnya. Namun kemudian satu pemikirannya mengatakan bahwa ia punya cukup
waktu untuk keluar dari sana sebelum ditangkap tanpa melakukan apapun sekarang.
Pintu kamar itu melebar.
Hawa
di luar kamar hampir tak ada beda dengan di dalam, menakutkan. Karena
sebagaimana yang ia ketahui bahwa seluruh bangunan ini adalah setannya bukan
hanya satu kamar semata. Banyak dari ‘mereka’ yang mungkin saja menunggunya di
balik pintu kamar dengan mata lapar, yang siap menyergap begitu ia lalu di
depannya. Perjalanan untuk pulang dan selamat belum berakhir.
Pintu
di lorong lain terbanting dengan keras. Seorang wanita keluar dengan nada
tergesa, terjerembab di atas dinding depan pintu yang dibuka paksa. Wajahnya dipenuhi
ketakutan ketika berusaha bangkit dari dinding yang menopangnya. Darah terus keluar
dari telinganya yang hilang sebelah, mengotori sebagian lehernya yang
seharusnya diciumi banyak pria di luar sana. Wanita itu menangis, Julie bisa
mendengar isakannya.
Walaupun
baru sekali melihat, dirinya tahu bahwa wanita itu bukan bagian dari ‘mereka’. Ia
sedang bertahan hidup seperti halnya dirinya. Julie ingin sekali menolong,
menariknya untuk mengajak kabur bersama. Hanya saja, malaikat pencabut nyawa wanita
itu segera keluar begitu ia ingin menggerakkan kakinya. Ia mengenakan kaos
dalam dan celana pendek berwarna gelap. Bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam.
Wanita itu, siapapun dia, segera ditarik ke dalam. Julie tidak bisa berbuat
apa-apa.
Evan
keluar dengan meninggalkan tanda. Bantingan pintu yang dibuatnya memaksa Julie
untuk melihat ke belakang dan menyadari musuh yang sebenarnya masih disana. Tanpa
menunggu hal buruk apapun terjadi, Julie lari menuruni tangga. Sebelum akhirnya
ia menapak pada lantai yang tidak lagi bertingkat-tingkat, Evan berhasil
menangkap pundaknya. Semua panik–tak terkecuali Evan–hingga Julie kehilangan
kontrol dari pijakannya dan keduanya berakhir dengan berguling di sepanjang
sisa anak tangga mereka dan terjerembab.
Julie
adalah yang pertama bangun dari rasa sakit. Keinginannya untuk cepat keluar
dari sana memaksanya berlaku demikian. Di lantai itu mereka tidak lagi hanya
berdua, ada dua orang lain yang kini sedang memperhatikan mereka. Salah seorang
di antara mereka sedang berdiri di balik meja kayu tinggi sementara satunya
lagi berada di bagian luarnya. Percakapan resepsionis-tamu antar mereka terhenti.
Julie
tak peduli dengan tatapan dua makhluk yang tak dikenalnya itu. Ia terus saja berjalan
tergopoh menyelamatkan diri. Frida, seorang tamu dengan tas tangan, memandanginya
dengan rasa penasaran, hendak bertanya pada resepsionis yang mungkin punya
penjelasan. Namun yang kemudian terjadi adalah sebuah pisau yang menembus
leher. Frida menganga di tempat. Berdarah–tanpa tahu apa-apa. Tessa, sang
resepsionis, menarik pisaunya keluar pangkal leher korbannya, membiarkan
dirinya tersiram banyak darah sebelum akhirnya tubuh itu tumbang sendiri ke
karpet dan mengotorinya.
Melihat
situasi yang kian memburuk, Julie ingin segera mempercepat langkahnya. Namun dengan
kondisi kakinya yang sudah terlalu lelah–terutama setelah kejadian di
tangga–membuatnya tak bisa berbuat begitu banyak. Sang resepsionis menggapainya.
Julie bisa mendengar bagaimana nafas Tessa mengalir mengerihkan di wajahnya
saat kepalanya didekatkan. Wanita itu kelihatan lapar dengan pisau yang kapan
saja siap dihunuskan.
Jantung
Julie berdebar kencang. Matanya perlahan mengeluarkan ketakutan lebih ketika
Evan mulai terlihat berjalan ke tempatnya. Julie memejam dengan gemetar. Dan di
saat semua orang mulai berpikir bahwa
semuanya akan segera berakhir, dia datang.
Seseorang
mengganggu. Wanita yang tadinya sempat Julie lihat tanpa sebelah telinganya di
atas sana kini jatuh ke lantai. Tergeletak dengan tatapan kosong ke arah mereka
semua. Pria besar itu ada di atas, sedang melongok ke bawah pada mangsanya yang
mati dan juga mereka. Sang resepsionis dan Evan lengah fokus karenanya, dan
Julie tidak akan membiarkan ini lewat begitu saja. Ia menginjak kaki Tessa sekuat
tenaga, lalu mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah ke belakang dan
menabrak Evan.
Julie
berlari dengan segala waktu yang ia punya. Ia pertaruhkan segalanya disini. Ketika
ia ingin menghampiri pintu kaca yang membatasi dunia mengerihkan ini dengan
dunia yang menurutnya seharusnya, matanya menangkap sepasang pria dan wanita yang
ingin masuk ke apartemen. Berpikir bahwa mereka itu adalah bagian dari segala
hal yang ada di dalam sana, Julie mengubah arah kakinya menuju pintu ‘alternatif’
di sebelah kiri ruang. Beruntung, pintu biru muda itu tidak terkunci.
Pintu
dibanting ke dalam dengan rapat. Ia pegangi knop-nya dengan sangat kuat beberapa
saat untuk memastikan tidak ada siapapun yang memutarnya dari luar. Beberapa
detik dan tidak ada siapa-siapa ataupun pertanda dari luar. Perlahan tangannya
terlepas dari sana dan mulai bergerak mundur menjauhi benda biru yang tidak
pernah ia tahu kapan didobrak. Sesekali Julie menatapinya namun terus bergerak.
Ruangan
itu adalah kekacauan. Ada banyak sekali serakan tulang-belulang di lantainya
hingga membuat ruangan itu seakan-akan gudang penyimpanan kerangka mayat yang
telah dicicipi hari ini. Dinding ruangan putih bersih, ditambah timpahan berkas
lampu yang turut memucatkan suasana. Rasa dingin tiba-tiba menguar.
Di
tengah-tengah ruang tampak duduk membelakangi seorang wanita dengan satu gaun
merah menyala. Ia sendirian. Tak ada siapapun disana selain dirinya yang diam
entah melakukan apa di balik tubuhnya. Julie memanggil, namun tak ada sahutan.
“Kau
tidak apa-apa?” Julie mengganti perkataan sebelumnya, lalu mendekat dengan rasa
penasaran.
Perlahan
wanita itu berbalik, tertarik karena ada sebuah kunjungan untuknya. Dia adalah seorang
pemakan ‘daging’ yang lain, yang penuh darah di mulutnya karena sibuk
mengunyahi sepotong kaki yang sedari tadi digenggamnya. Matanya putih seperti
gambaran menyeluruh ruangan ini dan juga ketakutan Julie yang mulai mengabut.
Sekarang
baginya Julie adalah makan malam yang lebih menarik dari pada sepotong kaki yang
baru diberikan penjaganya hari ini. Ia tergerak bangkit karena aroma kulit
gadis manusia, menarik gaun merahnya berdiri untuk menciumi lebih dekat. Wanita
itu punya tangan yang sangat panjang, hampir segaris dengan lututnya yang
bengkok. Jalannya tertatih–tampak baru saja mengalami hari berat belakangan
ini.
Ibu
berdiri menatapi Julie, membuka mulutnya hingga terkoyak hampir menuju telinga.
Lidahnya menjulur melebihi letak dagu sementara gigi-giginya semakin terlihat
menakutkan. Potongan kaki di genggamannya ia lepas, dan seketika jari-jari tangannya
menegang seperti geram. Gaunnya berkibar bersama dengan langkah kaki yang cepat
dan tegas kemudian. Jerit monster keluar.
Julie
melangkah mundur dengan begitu hati-hati, memastikan bahwa ia tidak membawa
tubuhnya sendiri jatuh atau apapun yang akan membuatnya terhambat. Ia fokus
pada gerak monster di hadapan yang kapan saja bisa menerkam. Namun, setelah
memperhitungkan begitu banyak hal, suara tembakan yang dipicu dari luar ruangan
berpintu biru muda ini menjebaknya. Harapannya tentang orang-orang datang dan
menyelamatkan, membutakan kewaspadaan. Julie berpaling, ia akan mati.
Perasaan
penasaran apa-yang-terjadi-di-luar-sana perlahan berubah menjadi senyum di tembakan
kedua. Walaupun sekarang ia ditangkap dan akan dibongkar seperti pria yang
ditemukannya di dalam bathtub–atau
mungkin lebih buruk–ia senang karena–ia pikir–pada akhirnya ras-nya tahu
tentang tempat ini dan melawan. Julie menangis saat Ibu menyentuhnya.
Ibu
memegangi kedua pipi Julie dengan telapak tangannya hingga bergetar. Memutarnya
ke satu arah hingga menghasilkan bunyi tulang dan aliran darah yang patah dari
pangkal. Darah muncrat keluar dari tubuh yang sekarang jatuh ke lantai. Begitu
deras.
Ibu
menatapi tangkapannya dengan dua tangan, pada tatapan mata Julie yang tak lagi
bisa berkedip. Ibu menghadapkan tubuhnya sendiri ke dinding, memindahkan
remahan kepala Julie ke satu tangan–di kanan–dan ... kepala itu pecah disana.
Wajah Julie hilang sebelah dengan tak rata seketika–sebelah lagi menempel
merosot pada dinding yang tadinya tak ada apa-apa. Darah menetes di balik setiap
lapisannya. Ibu mendekatkan lagi sisa kepala itu untuknya. Membalikkannya sedemikian
rupa hingga bagian yang hancurlah di hadapan. Dengan satu tangan yang lain Ibu
mengambil sesuatu di sana. Ia sedikit mengorek ke dalam tengkorak yang sudah
pecah dengan jari-jarinya yang panjang untuk menariknya keluar.
Ibu
sudah siap. Dengan lapisan terlebar mulutnya Ibu telan otak itu bulat-bulat ke
dalam perut. Malam ini Ibu kenyang dan akan panjang tidurnya.
---
Halaman
Terkait: Deleted
Part [Let’s Take a Rest] | Pendapat Malam | Pendapat Malam 2
Tags : the apartment, aditya prawira, thriller, cerpen
Gila, ini cerpen thriller yang berani banget. Aku kalau disuruh nulis gini, nahan gemetar berkali-kali deh ngebayanginnya. Salut buat kak Adit. Tapi aku agak bingung, yang dimaksud "ibu" itu siapa?
BalasHapushaha, makasi udah baca.. :D
Hapusbuat yang 'ibu' itu sebenarnya adalah tokoh yang sama dengan wanita yang makan kaki..
eceknya dialah bos dari para pemakan daging..
mungkin sayanya kurang berhasil dalam menyampaikan hal itu.. :)
hm, iya kurang ngerti di situ. Tiba-tiba aja tokoh wanita diganti jadi "ibu". Eh baru tau sense kakak ternyata di horor thriller :p sukses kak!
BalasHapushaha, amiin!
Hapusthanks, runy.. :D