[Short Story] The Apartment (aka Pendapat Malam 3)

Resah karena takut telah menyeruak. Menjadikan bisu seorang wanita dua puluhan di tengah-tengah ruang yang belum lama ini ia kenal. Ia gemetar, nadinya dicekik oleh rentetan ketakutan hingga darahnya tersumbat dan memucatkan beberapa bagian dari sisi tubuh. Disinilah dia. Duduk diam dalam riuh makan malam tanpa ingin memandang yang mengundang. Pandangannya lebih tunduk pada hamparan piring di atas meja, pada apa yang biasa ‘mereka’ sebut sebagai hidangan utama.
Dari semula pria yang tengah duduk di seberangnya telah mengatakan. Dia adalah seorang pemakan ‘daging’. Tapi dulu Julie hanyalah wanita bodoh yang menganggap karakter pelahap-berbagai-organ-dalam-manusia hanya ada di pemikiran ‘orang gila’ saja, hanya ketakutan fiksi yang digunakan para penulis horror dalam berbagai imajinasi mereka. Hingga akhirnya ia sadar–berbekal pemikiran dangkal–ia telah membawa dirinya sendiri pada kesalahan fatal yang mengancam degup. Kini mau tak mau, suka atau tidak, ia turut tahu cerita mendebarkan tentang sebuah apartemen.


Semua bermula ketika Julie dalam akun facebook-nya menulis ‘daging manusia’ sebagai interest. Alasannya menarik; iseng, yang kemudian tanpa diduga ditanggapi oleh Evan yang tersenyum tak percaya di balik komputer kamarnya saat menemukan tulisan ini. Entah bagaimana cara ia melacak, yang pasti saat itu pertemanan mereka dimulai.
Julie ingat betul bagaimana awal mereka chatting bersama dalam alur maya. Waktu itu Evan lebih dulu menyapa, hadir dengan kata-kata manis disertai emoticon senyum bulat kuningnya–satu alasan Julie tidak percaya jika Evan adalah seorang pemakan ‘daging’. Dia juga masih ingat betapa ia terkagum pada wajah pria yang sekarang membuatnya ngeri dalam keringat; mukanya bersih, berkacamata, rambut keras kecoklatan, dan gigi terurus tanpa taring mencolok. Pernah Evan sekali bertanya di salah satu jalan mereka tentang bagian tubuh manusia mana yang paling disukai. Tanpa menganggap itu sebagai kengerian lain, Julie membalasnya dengan jawaban yang mungkin sekarang ia sesali. Hati.
Apartemen itu adalah apartemen setan. Hampir semua penghuni di gedung berlantai empat belas ini adalah pemakan ‘daging’, hanya delapan sampai sepuluh orang saja yang bukan bagian dari mereka, yang sewaktu-waktu akan menjadi makanan utama istimewa ketika pesta dimulai. Dan sampai kapanpun Julie tidak akan percaya cerita-cerita ini, bahkan sampai ia mengunyah berulang kali daging-daging manusia itu di mulutnya jika saja ia tidak menemukan apa-apa di kamar mandi delapan menit lalu.
“Kamu kenapa?” Itu suapan pertama yang Evan lakukan. Kunyahannya pelan dengan tatapan heran untuk Julie. “Kenapa enggak dimakan?”
Julie terkejut di kursinya. Ia hampir saja terlonjak ke belakang. Sepanjang menit tadi ia habiskan dengan berpikir bagaimana ia bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini–tak ada yang lain. Sekarang mulutnya bergetar mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab kematian. Ia tak ingin salah langkah, tak ingin ketahuan. Ia belum ingin mati.
 “E-enggak tahu ini kenapa. Badanku rasanya berat. Mungkin kecapekan semalam ngerjain laporan.” Julie memegangi tengkuknya. Berusaha meyakinkan Evan dan juga dirinya sendiri.
Mulut Evan mendadak berhenti mengunyah. Menemukan dirinya lebih tertarik dengan apa yang baru saja ia dengar dari pada rasa ‘daging’-nya. Bagaimanapun dia adalah pemakan ‘daging’ yang sesungguhnya, tidak seperti Julie. Dia tahu apa yang berlaku dan apa yang tidak. Sesaat Julie menyadari bahaya mengancam. Raut wajah pria itu berubah. Evan mencari-cari sesuatu di dalam matanya; kebohongan.
“Aku baru tahu diantara ‘kita’ ada yang begitu mudah sakit. Tak seperti biasa.” Evan kembali mengusik dagingnya dengan pisau. Memotongnya ke bagian-bagian yang cukup kecil hingga mudah dilahap mulut. Dia mengunyah dengan lagi-lagi pelan.
Julie melepas pegangannya dari tengkuk. Meraba-meraba keadaan yang mulai tak bisa dikendalikan–karena ia tak tahu-tahu apa-apa tentangnya. Ia kehilangan arah, gelisah, lalu Evan melanjutkan perkataannya di antara remahan-remahan daging di mulut.
“Semua nutrisi yang dibutuhkan manusia tersimpan dengan baik dalam tubuh manusia lain–yang menghabiskan seluruh hidupnya pada pola makan sehat, olahraga, dan juga istirahat cukup. Mereka dipendam dalam setiap lapis daging di bawah kulit dan organ-organ yang membutuhkan asupan. Dengan memakan sepiring ‘daging’ berarti kita sudah mendapatkan nutrisi yang seharusnya–bahkan lebih. Tak ada alasan sakit bagi para pemakan daging–apalagi hanya seharian-mengerjakan-laporan, kecuali kau sudah renta dan benar-benar sakit. Tapi itu pun berlaku jika kamu benar-benar merupakan bagian dari kami.”
Suasana menyempit, keadaan pelik terjadi begitu saja tanpa diprediksi. Cahaya kehidupan menyuram. Tak ada nafas bebas, hanya sesak yang mengancam dari sudut ruangan yang ada. Pandangan Julie membesar. Tak percaya ia sekarang sedang membayangkan dirinya sendiri tengah ‘dibongkar’ dan diletakkan begitu saja dalam sebuah bathtub dengan mulut ternganga. Perut dikoyak lebar hingga ke dada, usus dibiarkan keluar, mata dikorek satu, persis seperti pria yang baru saja ia lihat di belakang sana. Mengerihkan. Menjijikkan.
“Kami punya ini sebagai tanda.” Evan menebar teror baru. Kali ini–mungkin–kematian. Dengan masih memegangi alat makannya, ia tarik kantung mata sebelah kanannya hingga mengendur ke bawah. Disana! Julie bisa melihat dengan jelas–dan bergetar–ciri khas dari para pemakan ‘daging’. Sebuah titik. Menempel di balik kantung mata.
Sekarang yang harus dipikirkan oleh Julie adalah bagaimana dirinya bisa menciptakan tanda itu di balik matanya–dalam sekejap. Jika mereka bisa, seharusnya ia juga. Tapi belum sempat Julie menemukan jawaban apapun dari atas segala kepanikannya, Evan justru melanjutkan, “Kamu punya?”
Pelatuk kematian telah ditarik, tinggal menunggu seseorang untuk melepaskan akhir. Entah siapa yang akan berdarah lebih dulu, tapi yang pasti akan ada banyak darah hari ini. Evan meletakkan alat makannya, membersihkan apapun yang bersisa di mulutnya memakai serbet, lalu meletakkan tangan di atas meja. Ia menunggu.
Di tengah atmosfer ketegangan yang semakin kuat, Julie–berhasil–menyimpulkan senyuman, tertawa, dan mengeluarkan hembusan kecil dari mulutnya. Wajahnya beberapa kali menggeleng, seakan-akan merasa lucu dengan pertanyaan ‘bodoh’ yang baru saja diterimanya. Julie beranjak keluar dari kursi, berjalan mengitari separuh meja dan hinggap tepat di belakang Evan.
“Kamu terlalu curiga padaku, Evan.” Julie merangkulnya, mencium pipinya sekali, dan menempelkan kepala miliknya ke kepala sang pacar. Sesaat semuanya seakan berada di bawah kendali. Sekilas Julie bisa melihat segenggam pisau yang tengah memperhatikan mereka di hadapan Evan dari tempatnya sekarang. Dengan memperkirakan dampak yang bisa diperbuat tajamnya sebilah pisau, ia rasa ia punya kesempatan.
Julie melepaskan sandarannya dari Evan kemudian, menunjukkan niat hendak bergerak ke kursi sebelah sementara tangannya terus merambat di sepanjang bahu pacarnya. Dia menatap pisau itu sekali lagi, lalu pada Evan.
“Sekarang kamu mau aku ngapain biar percaya?”
Dia sengaja menaikkan pertanyaan ke posisi klimaks, karena hanya dengan begitu pria di hadapannya ini akan tersedot penuh perhatiannya, dan itulah saat yang tepat untuk mengambil pisau kebebasan sebelum terlacak.
Show me.” Tantang Evan.
Dengan penuh perhitungan Julie menempatkan posisi tangannya di atas dan bawah mata kanannya. Hendak menarik keduanya ke masing-masing kutub seperti yang dilakukan Evan beberapa menit lalu hingga terlihat sebuah titik kematian–seharusnya. Satu hal di luar perhitungan Julie: dengan berpindah ke kursi sebelah, akan sulit baginya untuk menarik pisau itu.
Tidak bisa! Ini akan gagal! Dia mati! Sekarang!
Julie dengan cepat mengubah rencana. Ia menghantam Evan dengan tangan kanan yang tadinya bertugas menarik kantung matanya ke bawah. Mungkin pria itu tidak menderita luka parah ataupun jatuh dari kursinya, tapi itu tidak masalah karena yang diperlukan saat inilah hanyalah waktu tambahan untuk mengambil alih pisau dan segera menekankannya pada sebelah tangan yang tertinggal di atas meja. Julie bisa merasakan bagaimana tulang telapak tangan pria itu patah, bagaimana ujung pisaunya menyisip di antara ruas tulang yang sekarang berlubang. Evan berteriak.
Julie lari meninggali Evan di kursinya menuju pintu kamar apartemen. Tak ingin membuang-buang waktu. Dalam rencana kaburnya ini, wanita itu melupakan sesuatu.
“Aku tinggal bersama ibuku. Tapi mungkin dia takkan makan malam bersama kita. Ia sedikit sakit–sudah terlalu tua.”
Seorang wanita berambut kelabu keluar dari kamar. Tubuhnya kurus. Wanita itu, Nyonya Evan, memandangi anaknya yang sibuk kesakitan mencabut pisau dari telapaknya di meja makan lalu menatapi Julie.
Nyonya Evan bergegas dari ambang kamar tidurnya, yang karena kegesitannya membuat ia terlihat tak setua yang dikatakan putranya. Julie berhenti bergerak, menatapi pintu kamar apartemen yang masih terlalu jauh dan nyonya tua yang siap menghadang. Bagaimanapun kekerasan lain harus terjadi sebelum akhirnya pintu neraka ini terbuka.
Julie menarik lampu hias yang sedang tak dihidupkan malam itu dari sebuah meja kecil, lalu segera berlari ke arah wanita tua yang tampaknya sudah hilang kendali. Satu pukulan membuat kepala itu terbanting sekali ke kanan, lalu kemudian naik lagi. Dua. Tiga kali. Kepala bersama tubuh sang nyonya roboh. Julie sempat memperhatikan apakah makhluk itu masih bisa bergerak dalam waktu dekat atau tidak, sebelum akhirnya dia ingat bahwa ada seseorang lain di ruangan itu yang menunggunya.
Evan sudah berada di belakang, memegangi tubuh Julie dan juga mengancam lehernya dengan pisau agar tidak berbalik. Namun mangsanya kali ini nekat; lebih memilih untuk bertindak dan mati dari pada disandera dan mati. Julie menginjak kaki Evan, menyikut perutnya hingga terlonjak ke belakang. Pegangan itu tak lepas, namun pisau di tangan kanan Evan terbanting ke lantai karena genggaman Evan yang tak lagi bisa kuat. Pisau berdenting.
Julie menggigit lengan Evan yang masih saja menahannya. Memberikan cukup ruang agar ia bisa keluar dari sana. Wanita itu berbalik, memperhatikan Evan yang tengah kesakitan dan pisau yang terlempar. Sesaat Evan beralih padanya dan arah matanya.
Keduanya bergerak. Saling berebut senjata yang mungkin saja mengubah nasib masing-masing ras. Jarak pisau itu lebih dekat untuknya hingga ini terjadi. Julie memegang kendali dengan gemetar. Lawannya memperhitungkan ruang gerak, seberapa besar jangkauan tangan itu bisa mengenai dan bagaimana cara ia mengambilnya. Sesuatu terjadi pada bola mata Evan. Ia tidak lagi memperhatikan Julie ataupun pisaunya, melainkan sesuatu yang ingin bangkit lagi di belakang. Penasaran, Julie berbalik.
Nyonya Evan masih disana. Berlari seperti orang gila ke arahnya. Spontan Julie menggesek pisau ke udara. Hujan datang. Air darah. Membasahi Julie dan juga lantai. Julie baru saja merobek sebuah leher dan menumpahkan segala hal yang memungkinkan terjadinya akhir pada sang Nyonya.
Nyonya Evan tergeletak di lantai. Darah terus keluar dari lehernya.
Julie tidak terbiasa dengan keadaan ini. Pisaunya sengaja jatuh. Ia mundur beberapa langkah karena terkejut dengan apa yang baru saja terjadi sementara Evan memandanginya dari tempat lain.
Wanita itu didorong pada dinding kamar, tersudut. Evan menahan lehernya cukup kuat dengan lengan hingga sesak sempat menggelayuti musuh sebelum akhirnya ia longgarkan. Keduanya begitu dekat saat ini, hingga nafas mereka mungkin saja saling bertukaran dan bercerita. Julie mengelakkan kepalanya ke lantai saat Evan berusaha memandangi matanya. Ia tidak ingin tahu apa yang akan terjadi padanya.
Julie menghitung dalam hati kejadian selanjutnya, namun tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian memberanikan diri menatap Evan, dan sesaat ia tahu ia tidak akan diapa-apakan–setidaknya dalam waktu dekat.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Julie segera menendang perut musuhnya. Evan bergeming. Kemudian Julie menambahkan satu pukulan keras untuk kepala, lalu menumpahkan sebuah vas disana. Kali ini Evan benar-benar jatuh.
Sebelum benar-benar pergi, Julie mengira-ngira apa yang akan ia lakukan dengan prianya itu selanjutnya. Namun kemudian satu pemikirannya mengatakan bahwa ia punya cukup waktu untuk keluar dari sana sebelum ditangkap tanpa melakukan apapun sekarang. Pintu kamar itu melebar.
Hawa di luar kamar hampir tak ada beda dengan di dalam, menakutkan. Karena sebagaimana yang ia ketahui bahwa seluruh bangunan ini adalah setannya bukan hanya satu kamar semata. Banyak dari ‘mereka’ yang mungkin saja menunggunya di balik pintu kamar dengan mata lapar, yang siap menyergap begitu ia lalu di depannya. Perjalanan untuk pulang dan selamat belum berakhir.
Pintu di lorong lain terbanting dengan keras. Seorang wanita keluar dengan nada tergesa, terjerembab di atas dinding depan pintu yang dibuka paksa. Wajahnya dipenuhi ketakutan ketika berusaha bangkit dari dinding yang menopangnya. Darah terus keluar dari telinganya yang hilang sebelah, mengotori sebagian lehernya yang seharusnya diciumi banyak pria di luar sana. Wanita itu menangis, Julie bisa mendengar isakannya.
Walaupun baru sekali melihat, dirinya tahu bahwa wanita itu bukan bagian dari ‘mereka’. Ia sedang bertahan hidup seperti halnya dirinya. Julie ingin sekali menolong, menariknya untuk mengajak kabur bersama. Hanya saja, malaikat pencabut nyawa wanita itu segera keluar begitu ia ingin menggerakkan kakinya. Ia mengenakan kaos dalam dan celana pendek berwarna gelap. Bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam. Wanita itu, siapapun dia, segera ditarik ke dalam. Julie tidak bisa berbuat apa-apa.
Evan keluar dengan meninggalkan tanda. Bantingan pintu yang dibuatnya memaksa Julie untuk melihat ke belakang dan menyadari musuh yang sebenarnya masih disana. Tanpa menunggu hal buruk apapun terjadi, Julie lari menuruni tangga. Sebelum akhirnya ia menapak pada lantai yang tidak lagi bertingkat-tingkat, Evan berhasil menangkap pundaknya. Semua panik–tak terkecuali Evan–hingga Julie kehilangan kontrol dari pijakannya dan keduanya berakhir dengan berguling di sepanjang sisa anak tangga mereka dan terjerembab.
Julie adalah yang pertama bangun dari rasa sakit. Keinginannya untuk cepat keluar dari sana memaksanya berlaku demikian. Di lantai itu mereka tidak lagi hanya berdua, ada dua orang lain yang kini sedang memperhatikan mereka. Salah seorang di antara mereka sedang berdiri di balik meja kayu tinggi sementara satunya lagi berada di bagian luarnya. Percakapan resepsionis-tamu antar mereka terhenti.
Julie tak peduli dengan tatapan dua makhluk yang tak dikenalnya itu. Ia terus saja berjalan tergopoh menyelamatkan diri. Frida, seorang tamu dengan tas tangan, memandanginya dengan rasa penasaran, hendak bertanya pada resepsionis yang mungkin punya penjelasan. Namun yang kemudian terjadi adalah sebuah pisau yang menembus leher. Frida menganga di tempat. Berdarah–tanpa tahu apa-apa. Tessa, sang resepsionis, menarik pisaunya keluar pangkal leher korbannya, membiarkan dirinya tersiram banyak darah sebelum akhirnya tubuh itu tumbang sendiri ke karpet dan mengotorinya.
Melihat situasi yang kian memburuk, Julie ingin segera mempercepat langkahnya. Namun dengan kondisi kakinya yang sudah terlalu lelah–terutama setelah kejadian di tangga–membuatnya tak bisa berbuat begitu banyak. Sang resepsionis menggapainya. Julie bisa mendengar bagaimana nafas Tessa mengalir mengerihkan di wajahnya saat kepalanya didekatkan. Wanita itu kelihatan lapar dengan pisau yang kapan saja siap dihunuskan.
Jantung Julie berdebar kencang. Matanya perlahan mengeluarkan ketakutan lebih ketika Evan mulai terlihat berjalan ke tempatnya. Julie memejam dengan gemetar. Dan di saat semua orang  mulai berpikir bahwa semuanya akan segera berakhir, dia datang.
Seseorang mengganggu. Wanita yang tadinya sempat Julie lihat tanpa sebelah telinganya di atas sana kini jatuh ke lantai. Tergeletak dengan tatapan kosong ke arah mereka semua. Pria besar itu ada di atas, sedang melongok ke bawah pada mangsanya yang mati dan juga mereka. Sang resepsionis dan Evan lengah fokus karenanya, dan Julie tidak akan membiarkan ini lewat begitu saja. Ia menginjak kaki Tessa sekuat tenaga, lalu mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah ke belakang dan menabrak Evan.
Julie berlari dengan segala waktu yang ia punya. Ia pertaruhkan segalanya disini. Ketika ia ingin menghampiri pintu kaca yang membatasi dunia mengerihkan ini dengan dunia yang menurutnya seharusnya, matanya menangkap sepasang pria dan wanita yang ingin masuk ke apartemen. Berpikir bahwa mereka itu adalah bagian dari segala hal yang ada di dalam sana, Julie mengubah arah kakinya menuju pintu ‘alternatif’ di sebelah kiri ruang. Beruntung, pintu biru muda itu tidak terkunci.
Pintu dibanting ke dalam dengan rapat. Ia pegangi knop-nya dengan sangat kuat beberapa saat untuk memastikan tidak ada siapapun yang memutarnya dari luar. Beberapa detik dan tidak ada siapa-siapa ataupun pertanda dari luar. Perlahan tangannya terlepas dari sana dan mulai bergerak mundur menjauhi benda biru yang tidak pernah ia tahu kapan didobrak. Sesekali Julie menatapinya namun terus bergerak.
Ruangan itu adalah kekacauan. Ada banyak sekali serakan tulang-belulang di lantainya hingga membuat ruangan itu seakan-akan gudang penyimpanan kerangka mayat yang telah dicicipi hari ini. Dinding ruangan putih bersih, ditambah timpahan berkas lampu yang turut memucatkan suasana. Rasa dingin tiba-tiba menguar.
Di tengah-tengah ruang tampak duduk membelakangi seorang wanita dengan satu gaun merah menyala. Ia sendirian. Tak ada siapapun disana selain dirinya yang diam entah melakukan apa di balik tubuhnya. Julie memanggil, namun tak ada sahutan.
“Kau tidak apa-apa?” Julie mengganti perkataan sebelumnya, lalu mendekat dengan rasa penasaran.
Perlahan wanita itu berbalik, tertarik karena ada sebuah kunjungan untuknya. Dia adalah seorang pemakan ‘daging’ yang lain, yang penuh darah di mulutnya karena sibuk mengunyahi sepotong kaki yang sedari tadi digenggamnya. Matanya putih seperti gambaran menyeluruh ruangan ini dan juga ketakutan Julie yang mulai mengabut.
Sekarang baginya Julie adalah makan malam yang lebih menarik dari pada sepotong kaki yang baru diberikan penjaganya hari ini. Ia tergerak bangkit karena aroma kulit gadis manusia, menarik gaun merahnya berdiri untuk menciumi lebih dekat. Wanita itu punya tangan yang sangat panjang, hampir segaris dengan lututnya yang bengkok. Jalannya tertatih–tampak baru saja mengalami hari berat belakangan ini.
Ibu berdiri menatapi Julie, membuka mulutnya hingga terkoyak hampir menuju telinga. Lidahnya menjulur melebihi letak dagu sementara gigi-giginya semakin terlihat menakutkan. Potongan kaki di genggamannya ia lepas, dan seketika jari-jari tangannya menegang seperti geram. Gaunnya berkibar bersama dengan langkah kaki yang cepat dan tegas kemudian. Jerit monster keluar.
Julie melangkah mundur dengan begitu hati-hati, memastikan bahwa ia tidak membawa tubuhnya sendiri jatuh atau apapun yang akan membuatnya terhambat. Ia fokus pada gerak monster di hadapan yang kapan saja bisa menerkam. Namun, setelah memperhitungkan begitu banyak hal, suara tembakan yang dipicu dari luar ruangan berpintu biru muda ini menjebaknya. Harapannya tentang orang-orang datang dan menyelamatkan, membutakan kewaspadaan. Julie berpaling, ia akan mati.
Perasaan penasaran apa-yang-terjadi-di-luar-sana perlahan berubah menjadi senyum di tembakan kedua. Walaupun sekarang ia ditangkap dan akan dibongkar seperti pria yang ditemukannya di dalam bathtub–atau mungkin lebih buruk–ia senang karena–ia pikir–pada akhirnya ras-nya tahu tentang tempat ini dan melawan. Julie menangis saat Ibu menyentuhnya.
Ibu memegangi kedua pipi Julie dengan telapak tangannya hingga bergetar. Memutarnya ke satu arah hingga menghasilkan bunyi tulang dan aliran darah yang patah dari pangkal. Darah muncrat keluar dari tubuh yang sekarang jatuh ke lantai. Begitu deras.
Ibu menatapi tangkapannya dengan dua tangan, pada tatapan mata Julie yang tak lagi bisa berkedip. Ibu menghadapkan tubuhnya sendiri ke dinding, memindahkan remahan kepala Julie ke satu tangan–di kanan–dan ... kepala itu pecah disana. Wajah Julie hilang sebelah dengan tak rata seketika–sebelah lagi menempel merosot pada dinding yang tadinya tak ada apa-apa. Darah menetes di balik setiap lapisannya. Ibu mendekatkan lagi sisa kepala itu untuknya. Membalikkannya sedemikian rupa hingga bagian yang hancurlah di hadapan. Dengan satu tangan yang lain Ibu mengambil sesuatu di sana. Ia sedikit mengorek ke dalam tengkorak yang sudah pecah dengan jari-jarinya yang panjang untuk menariknya keluar.
Ibu sudah siap. Dengan lapisan terlebar mulutnya Ibu telan otak itu bulat-bulat ke dalam perut. Malam ini Ibu kenyang dan akan panjang tidurnya.

---
Halaman Terkait: Deleted Part [Let’s Take a Rest] | Pendapat Malam | Pendapat Malam 2

4 komentar:

  1. Gila, ini cerpen thriller yang berani banget. Aku kalau disuruh nulis gini, nahan gemetar berkali-kali deh ngebayanginnya. Salut buat kak Adit. Tapi aku agak bingung, yang dimaksud "ibu" itu siapa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha, makasi udah baca.. :D

      buat yang 'ibu' itu sebenarnya adalah tokoh yang sama dengan wanita yang makan kaki..
      eceknya dialah bos dari para pemakan daging..
      mungkin sayanya kurang berhasil dalam menyampaikan hal itu.. :)

      Hapus
  2. hm, iya kurang ngerti di situ. Tiba-tiba aja tokoh wanita diganti jadi "ibu". Eh baru tau sense kakak ternyata di horor thriller :p sukses kak!

    BalasHapus

Pages