Malam
semakin redup. Udara mulai jatuh ke titik dingin dan awan-awan hilang dalam
senyap. Di antara pikuk kendaraan yang lalu-lalang sepasang suami-istri muda berjalan
beriringan. Saling merangkul di sepanjang sisa rute pulang ke tempat dimana
mereka hari itu tinggal. Tawa membekas di lekuk bibir keduanya. Mereka baru
saja menghabiskan sepanjang waktu untuk bersenang-senang di luar sana setelah
apa yang membuat mereka tertekan belakangan ini.
Sang
suami, Ben, melepas rangkulannya saat langkah mereka tinggal beberapa lagi
untuk bisa masuk ke sebuah apartemen yang mereka sewa sejak beberapa bulan lalu.
Ia ingin bergegas membukakan pintu untuk Wina, istrinya.
Wina
terhenti, memperhatikan Ben yang tengah memegangi pintu apartemen sambil tersenyum
ke arahnya. Ia tak habis pikir romantis pria ini masih saja ada setelah masa
pacaran. Ternyata pernikahan mereka tidak merubah banyak kecuali masalah yang
satu per satu mulai muncul. Tapi bagaimanapun ia yakin, ia dan Ben bisa
melaluinya. Mereka akan mempunyai dua orang anak dan hidup bahagia. Wina tersenyum
balik kepada Ben, lalu meninggalkan kekasihnya itu di belakang.
Gambaran
hangat ruangan mereka malam itu terasa jelas. Keduanya bisa membayangkan
bagaimana mereka nanti–setelah ini–akan duduk berdua di atas sofa sambil
menghirup secangkir teh panas dan menikmati acara TV. Saat-saat dimana sang
wanita akan meletakkan kepalanya–dengan tanpa pemikiran tentang ini-itu–di
pundak sang pria dan sang pria yang memeluk tubuh sang wanita dari tempat
duduknya dengan perasaan aku-akan-menjagamu sementara potret di televisi
memberikan efek khusus pada tubuh keduanya karena lampu yang sengaja dipadamkan–sehingga
sepasang kekasih ini tampak seperti berkelap-kelip di antara setiap scene yang berganti. Sungguh melenakan.
Wina
tiba di dalam, dan sekejap saja gambar-gambar hangat tentang ketenangan itu
hilang. Senyum Wina berubah menjadi rasa heran. Garis mulutnya datar dengan
kerutan di kening yang sama takjubnya. Ben yang belakangan datang, pertama merasa
aneh dengan ekspresi yang ia temukan di wajah istrinya lalu mulai mencari tahu
ada apa dari arah matanya dan ikut menjadi bagian malam itu kemudian.
Dua
orang yang tak asing menatapi mereka di depan. Satu di antaranya mereka kenal sebagai
Tessa sang resepsionis, dan satu lagi adalah Evan, pemilik kamar 203 yang
sangat tertutup. Tapi yang menjadi permasalahan sekarang bukanlah siapa mereka
ataupun bagaimana tatapannya, melainkan apa yang sedang berada di sana bersama
mereka malam itu. Sebuah mayat.
Evan
dan Tessa saling pandang. Bicara dalam bahasa mata yang tak dimengerti oleh
siapapun yang baru saja datang. Tak lama keduanya kembali menatap tamu mereka
yang telah pulang. Dan Tessa dengan sangat hati-hati menarik shotgun yang saat itu sengaja ia letakkan
di dekat sana selagi mereka mengurusi mayat wanita-yang-tak-sengaja-jatuh untuk
berjaga-jaga hal seperti ini akan datang.
Belum
sempat tamu mereka menyadari apa yang mengancam, satu tembakan pecah. Wina dalam
sekejap kehilangan kepala serta angannya. Badannya tanpa diminta roboh seiring dengan
ceceran otak yang merosot turun di pintu apartemen.
Ben
terkejut melihat apa yang terjadi. Istrinya telah menjadi rongsokan
sekarang–dan ia akan segera menyusul. Ia berniat kabur setelah dua orang gila
ini beralih menatapinya. Namun resepsionis mereka mengambil tindakan cepat.
Tembakan lain tercetus.
Sial! Ben tidak
diperlakukan seperti istrinya. Ia tidak mati. Tessa membidik kakinya bukan
kepala. Pria itu segera jatuh. Kaki kanannya begitu saja tertekuk kesakitan
karena hancur. Darah menembus jeans-nya
yang terbagi dua–begitu pula kakinya. Ben bisa melihat bagaimana sambungan kakinya–dari
lutut ke sepatu–tergeletak di dekat tubuh istrinya yang masih saja
menyiprat-nyipratkan darah dari pangkal lehernya. Tangan Ben menggerutu tentang
rasa-sakit-keparat di kakinya, dan ia berteriak.
Evan
bergegas dari tempatnya, ia tahu apa yang harus dilakukan. Pekerjaan
selanjutnya adalah miliknya.
Ben
terduduk di lantai dengan bayang-bayang kematian. Ia bisa melihat bagaimana
Evan tampak seperti malaikat maut yang melangkah semakin dekat. Ben tidak bisa
berbuat apa-apa selain menderita.
Pria
203 itu berhenti tepat di depan mata. Ia menginjak bahu kanan Ben yang
menghadapnya dengan satu kaki hingga mangsanya tak lagi bisa bergerak. Ben akhirnya
pasrah–sudah mencoba melawan namun tak bisa–saat Evan memaksa mengambil sebelah
tangannya entah untuk apa. Lalu tanpa aba-aba, suara mengerihkan lain keluar
malam itu. Ben menjerit begitu tulang lengannya menggeram keras. Tangannya baru
saja ditarik hingga putus dari akar-akar di bahunya. Kelam menghantui malam.
Evan
memandangi teriakannya, sangat menikmati bagaimana penderitaan mengalir dari
darah yang semakin tumpah. Ia memang seperti itu–dari dulu. Jatuh cinta pada
bagaimana cara rasa sakit pelan-pelan menelan harapan. Evan belum berubah. Ia menoleh
ke belakang, pada Tessa yang sudah melangkah cukup dekat untuk melemparkan
senjata laras panjang itu padanya. Akhir dipindahtangankan.
Ujung
shotgun diarahkan pada wajah Ben yang
bahkan tak lagi bisa tersenyum untuk sekadar bersyukur karena penderitaannya
akan segera berakhir–ia bahkan juga tidak berpikir untuk memejam. Dan pada
hitungannya sendiri, Evan mengerjakannya. Ia berbalik dengan cepat ke belakang dan
menembakkan satu selongsongnya pada Tessa yang sudah ia hapal posisinya. Tessa
terpental. Tergeletak. Darah menguar dari perutnya.
Evan
merendahkan senjatanya dari hadapan, sehingga ia bisa mengamati bagaimana hasil
tembakannya malam itu; Tessa menggelepar di karpet apartemen. Tak puas menikmati
rasa sakit yang akan mematikan seseorang tanpa mendengar lirih nafasnya, Evan
mendekati tubuh seorang mantan rekan.
Tessa
bisa melihat Evan dari baringannya, bagaimana tatapan itu tertuju padanya. Dingin.
Satu tanya mencuat, mencoba ikut keluar ke permukaan bersama dengan apa yang
sekarang tengah berdesakan di tenggorokan. Ia terbatuk, yang pada mulutnya
kemudian termuntahkan cairan merah kental berbau amis. Tessa dan seragamnya berlumuran
darah. Dia benar-benar akan mati–bahkan jika ditinggalkan begitu saja.
Evan
mengangkat senjatanya, meletakkan moncongnya pada mulut Tessa yang ia paksa
buka dengan benda itu pula. Tanpa bertanya tentang ‘permintaan terakhir’ pria
itu melakukannya. Darah membabi-buta.
Ben
masih ada di sana saat segalanya berputar melawan arah. Dengan segala sisa yang
dipunyanya–sebelah tangan dan sebelah kaki–ia terkejut. Apa yang terjadi? Evan sadar nadi yang ia biarkan hidup beberapa
menit lalu masih saja bersuara dan sedang menatapinya. Ia beralih, mengarahkan
lagi-lagi senjatanya kepada Ben. Dan kali ini itu bukan sekadar gertakan. Satu
selongsong jatuh.
---
Halaman
Terkait: The Apartment (aka Pendapat Malam 3)
Gak pernah gagal mas (Y) mantap!
BalasHapus:D makasi udah mampir mas..
HapusHuhft
BalasHapushahahah
:D
Hapus