[Deleted Part] The Apartment (aka Pendapat Malam 3)

 - Let’s Take a Rest
Malam semakin redup. Udara mulai jatuh ke titik dingin dan awan-awan hilang dalam senyap. Di antara pikuk kendaraan yang lalu-lalang sepasang suami-istri muda berjalan beriringan. Saling merangkul di sepanjang sisa rute pulang ke tempat dimana mereka hari itu tinggal. Tawa membekas di lekuk bibir keduanya. Mereka baru saja menghabiskan sepanjang waktu untuk bersenang-senang di luar sana setelah apa yang membuat mereka tertekan belakangan ini.
Sang suami, Ben, melepas rangkulannya saat langkah mereka tinggal beberapa lagi untuk bisa masuk ke sebuah apartemen yang mereka sewa sejak beberapa bulan lalu. Ia ingin bergegas membukakan pintu untuk Wina, istrinya.
Wina terhenti, memperhatikan Ben yang tengah memegangi pintu apartemen sambil tersenyum ke arahnya. Ia tak habis pikir romantis pria ini masih saja ada setelah masa pacaran. Ternyata pernikahan mereka tidak merubah banyak kecuali masalah yang satu per satu mulai muncul. Tapi bagaimanapun ia yakin, ia dan Ben bisa melaluinya. Mereka akan mempunyai dua orang anak dan hidup bahagia. Wina tersenyum balik kepada Ben, lalu meninggalkan kekasihnya itu di belakang.

Gambaran hangat ruangan mereka malam itu terasa jelas. Keduanya bisa membayangkan bagaimana mereka nanti–setelah ini–akan duduk berdua di atas sofa sambil menghirup secangkir teh panas dan menikmati acara TV. Saat-saat dimana sang wanita akan meletakkan kepalanya–dengan tanpa pemikiran tentang ini-itu–di pundak sang pria dan sang pria yang memeluk tubuh sang wanita dari tempat duduknya dengan perasaan aku-akan-menjagamu sementara potret di televisi memberikan efek khusus pada tubuh keduanya karena lampu yang sengaja dipadamkan–sehingga sepasang kekasih ini tampak seperti berkelap-kelip di antara setiap scene yang berganti. Sungguh melenakan.
Wina tiba di dalam, dan sekejap saja gambar-gambar hangat tentang ketenangan itu hilang. Senyum Wina berubah menjadi rasa heran. Garis mulutnya datar dengan kerutan di kening yang sama takjubnya. Ben yang belakangan datang, pertama merasa aneh dengan ekspresi yang ia temukan di wajah istrinya lalu mulai mencari tahu ada apa dari arah matanya dan ikut menjadi bagian malam itu kemudian.
Dua orang yang tak asing menatapi mereka di depan. Satu di antaranya mereka kenal sebagai Tessa sang resepsionis, dan satu lagi adalah Evan, pemilik kamar 203 yang sangat tertutup. Tapi yang menjadi permasalahan sekarang bukanlah siapa mereka ataupun bagaimana tatapannya, melainkan apa yang sedang berada di sana bersama mereka malam itu. Sebuah mayat.
Evan dan Tessa saling pandang. Bicara dalam bahasa mata yang tak dimengerti oleh siapapun yang baru saja datang. Tak lama keduanya kembali menatap tamu mereka yang telah pulang. Dan Tessa dengan sangat hati-hati menarik shotgun yang saat itu sengaja ia letakkan di dekat sana selagi mereka mengurusi mayat wanita-yang-tak-sengaja-jatuh untuk berjaga-jaga hal seperti ini akan datang.
Belum sempat tamu mereka menyadari apa yang mengancam, satu tembakan pecah. Wina dalam sekejap kehilangan kepala serta angannya. Badannya tanpa diminta roboh seiring dengan ceceran otak yang merosot turun di pintu apartemen.
Ben terkejut melihat apa yang terjadi. Istrinya telah menjadi rongsokan sekarang–dan ia akan segera menyusul. Ia berniat kabur setelah dua orang gila ini beralih menatapinya. Namun resepsionis mereka mengambil tindakan cepat. Tembakan lain tercetus.
Sial! Ben tidak diperlakukan seperti istrinya. Ia tidak mati. Tessa membidik kakinya bukan kepala. Pria itu segera jatuh. Kaki kanannya begitu saja tertekuk kesakitan karena hancur. Darah menembus jeans-nya yang terbagi dua–begitu pula kakinya. Ben bisa melihat bagaimana sambungan kakinya–dari lutut ke sepatu–tergeletak di dekat tubuh istrinya yang masih saja menyiprat-nyipratkan darah dari pangkal lehernya. Tangan Ben menggerutu tentang rasa-sakit-keparat di kakinya, dan ia berteriak.
Evan bergegas dari tempatnya, ia tahu apa yang harus dilakukan. Pekerjaan selanjutnya adalah miliknya.
Ben terduduk di lantai dengan bayang-bayang kematian. Ia bisa melihat bagaimana Evan tampak seperti malaikat maut yang melangkah semakin dekat. Ben tidak bisa berbuat apa-apa selain menderita.
Pria 203 itu berhenti tepat di depan mata. Ia menginjak bahu kanan Ben yang menghadapnya dengan satu kaki hingga mangsanya tak lagi bisa bergerak. Ben akhirnya pasrah–sudah mencoba melawan namun tak bisa–saat Evan memaksa mengambil sebelah tangannya entah untuk apa. Lalu tanpa aba-aba, suara mengerihkan lain keluar malam itu. Ben menjerit begitu tulang lengannya menggeram keras. Tangannya baru saja ditarik hingga putus dari akar-akar di bahunya. Kelam menghantui malam.
Evan memandangi teriakannya, sangat menikmati bagaimana penderitaan mengalir dari darah yang semakin tumpah. Ia memang seperti itu–dari dulu. Jatuh cinta pada bagaimana cara rasa sakit pelan-pelan menelan harapan. Evan belum berubah. Ia menoleh ke belakang, pada Tessa yang sudah melangkah cukup dekat untuk melemparkan senjata laras panjang itu padanya. Akhir dipindahtangankan.
Ujung shotgun diarahkan pada wajah Ben yang bahkan tak lagi bisa tersenyum untuk sekadar bersyukur karena penderitaannya akan segera berakhir–ia bahkan juga tidak berpikir untuk memejam. Dan pada hitungannya sendiri, Evan mengerjakannya. Ia berbalik dengan cepat ke belakang dan menembakkan satu selongsongnya pada Tessa yang sudah ia hapal posisinya. Tessa terpental. Tergeletak. Darah menguar dari perutnya.
Evan merendahkan senjatanya dari hadapan, sehingga ia bisa mengamati bagaimana hasil tembakannya malam itu; Tessa menggelepar di karpet apartemen. Tak puas menikmati rasa sakit yang akan mematikan seseorang tanpa mendengar lirih nafasnya, Evan mendekati tubuh seorang mantan rekan.
Tessa bisa melihat Evan dari baringannya, bagaimana tatapan itu tertuju padanya. Dingin. Satu tanya mencuat, mencoba ikut keluar ke permukaan bersama dengan apa yang sekarang tengah berdesakan di tenggorokan. Ia terbatuk, yang pada mulutnya kemudian termuntahkan cairan merah kental berbau amis. Tessa dan seragamnya berlumuran darah. Dia benar-benar akan mati–bahkan jika ditinggalkan begitu saja.
Evan mengangkat senjatanya, meletakkan moncongnya pada mulut Tessa yang ia paksa buka dengan benda itu pula. Tanpa bertanya tentang ‘permintaan terakhir’ pria itu melakukannya. Darah membabi-buta.
Ben masih ada di sana saat segalanya berputar melawan arah. Dengan segala sisa yang dipunyanya–sebelah tangan dan sebelah kaki–ia terkejut. Apa yang terjadi? Evan sadar nadi yang ia biarkan hidup beberapa menit lalu masih saja bersuara dan sedang menatapinya. Ia beralih, mengarahkan lagi-lagi senjatanya kepada Ben. Dan kali ini itu bukan sekadar gertakan. Satu selongsong jatuh.

---

4 komentar:

Pages