[Short Story] Re-Edit 8 Cerpen Terpilih


Dalam rangka mengikuti Ubud Writers-Readers Festival (UWRF) 2013, penulis memilih dan melakukan editing ulang pada delapan cerpen yang dianggap cukup layak. Disini penulis tidak menetapkan delapan cerpen yang berada dalam tema yang sama, seperti horror saja atau lain sebagainya, melainkan penulis menggabungkan beberapa tema berbeda, seperti romance, horror, thriller, fantasy, dan drama sehingga delapan cerpen tersebut tampak unik dengan judul besar, The Reader.
Bohong, jika penulis mengatakan tidak mengharapkan apa-apa dari event ini. Tentu saja penulis (read: kita semua) mengharap menang. Tapi bagaimanapun, walau tidak menyentuh sang juara, penulis sudah cukup bangga dengan turut berpartisipasi dalam sebuah event internasional dan kalah dalam karya-karya yang pastinya sangat baik. Dan untuk bagaimana hasil ke depannya, semoga yang terbaik.

The Ubud Writers & Readers Festival now in its ninth year and has been named ‘One of The World’s Great Book Festivals’ by Conde Nast Travel and Leisure, ‘One of The Six Best Literary Festivals in The World’ by Harper’s Bazaar UK and ‘South East Asia’s Most Innovative Literary Festival’ by Business Time.”


Adapun 8 cerpen terpilih yang penulis re-edit adalah :
1.      Di Balik Hujan
---
Pertengahan Oktober.
Tanah dan aspal menggelap, abu hilang jejak. Udara melembap. Orang-orang bersepeda motor dan pejalan kaki menghindar dari badan jalan, berbondong-bondong mencari kanopi terdekat demi bergumam tentang cuaca hari ini. Hujan. Ruas jalan seketika hanya diisi oleh mobil-mobil kaya yang mengkilap, angkutan umum dalam berbagai warna dan angka yang semakin gencar saja mencari penumpang, beberapa orang yang nekat menembus lebat dengan sedikit berlari, dan air yang mengisi sisa kekosongan di tengah-tengah alam. Sementara lainnya hanya bisa menunggu kemurahan Tuhan di balik hujan.


2.      Sendiri
---
Dengan sangat menyesal aku membatalkan pertemuan dengan teman-temanku hari ini. Aku sedang tak enak badan. Kepalaku sakit. Benda-benda di sekitar sini terasa bergoyang tak tentu arah. Aku tak yakin aku sanggup–jika tetap keluar. Hal-hal mengenai jalan-jalan bisa dipikirkan lagi lain kali. Hari ini aku perlu istirahat, tenang, sendiri.
Kuletakkan handphone yang tadinya kugunakan untuk berkirim pesan dengan salah satu temanku di atas meja belajar sebelum akhirnya kuputuskan untuk lanjut bergerak ke sebelahnya–ke ranjang–dan mulai membaringkan kepalaku yang rasanya semakin berat saja. Tak perlu waktu lama bagiku untuk hilang, aku sungguh sakit hari ini. Aku akan mudah terlelap.


3.      The Reader
---
Buku-buku rapi dalam tiga rak. Tersusun dalam abjad yang tak mengenal tinggi, tak mengenal genre. Semua sama, hanya aroma ketebalan dan–tentunya–plot pro dan antagonanisnya yang punya kendali masing-masing yang membedakan. Mereka semua diam, berjajar lurus di tiap-tiap tingkat sambil menampakkan sisi beraneka judul bagi kita, para pembaca.
Reza kehilangan sesuatu dalam daftar perpustakaan kecilnya. Sebuah buku ‘based on true story’ tidak ada lagi di tempat namun tidak pula tersesat. Sekarang kemungkinannya hanya ada dua; seseorang meminjamnya dan ia lupa itu siapa atau buku itu hilang, sama sekali lenyap bersama waktu. Pikirannyalah yang membuat konklusi seperti itu, namun pikirannya pula yang menolak kedua hal tersebut. Ia tidak ingat pernah membawa buku karya Richard McCann itu ke kampus. Belum gilirannya. Bukankah ia sedang membaca buku lain sekarang ini? Long Lost?


4.      Red Cherry
---
Tuhan memang Maha Adil. Ketika sebagian orang di muka bumi ini menuduh diri-Nya berlaku berat sebelah, Dia menjatuhkan kuasa. Kini Cherry Vexyl tak sempurna lagi. Wajah cantik dan budi baiknya akan begitu merindukan kedua kaki yang baru saja dinyatakan hilang oleh dokter yang merawat. Mereka sudah tidak dapat digerakkan lagi setelah mengalami kecelakaan mobil yang hebat. Tungkainya kini hanya berupa tulang kering dan daging yang pudar fungsi.


5.      Terperangkap
---
Sudah tujuh tahun, dan Maya masih mengingat jelas, dimana api, dimana asap, saling beradu. Bagaimana dulu ia berjuang mati-matian untuk bertahan hingga akhirnya keluar, bagaimana suara teriakan bercampur dengan ledakan menggema dalam gendang, bagaimana takut menjelma dalam sesak di dada. Terperangkap.
Hari ini untuk alasan yang bukan karena dirinya, dia kembali. Ditatapinya gedung sembilan lantai ke atas dengan pandangan takjub sementara was-was tentang trauma terjaga seminim mungkin.


6.      Koloni 73
---
Setiap kerumunan perlu nama sebagai tanda pengenal, sementara hidup terlalu bergerombol sangatlah berat bagi para pemimpin. Untuk itu–atas kesepakatan bersama–dibentuklah kerumunan-kerumunan berdasarkan urutan angka yang dimulai dari satu, dimana masing-masing kerumunan terdiri dari tak lebih tiga ratus keluarga acak untuk kemudian diikat dalam satu nama koloni dan hidup bersama. Kebetulan aku, keluargaku, dan keluarganya disini, di urutan koloni yang sama. Koloni tujuh tiga.

7.      Breathing for a Death
---
Nick lagi-lagi pergi sendiri, ia memutuskan untuk tidak menuju Louis dan pria tua yang mungkin saja mati kelelahan melainkan ke arah lain di perkampugan yang tertutup dinding-dinding bangunan kayu sederhana. Aku melihatnya kembali berhenti dengan ketenangan yang sama dan tanpa menunggu Dern ataupun Louis mendahului, segera kususul dia dan ... astaga. Aku tak bergerak dan mengucap.
8.      Pendapat Malam
---
Setiap Kamis malam, satu-dua orang warga menghilang. Tak pernah pulang. Sebagian berkata ini ulah roh-roh jahat yang tak tenang. Mengambil jiwa-jiwa yang masih hidup untuk menemani jiwa mereka yang sepi. Meneriakkan jeritan-jeritan malang di malam hari dan memuncratkan darah sebagai bentuk dendam masa lampau pada orang yang salah. Sampai saat ini tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa takut yang semakin menjadi ketika erangan itu terdengar, yang membuatmu semakin membukam diri dalam rumah dan kemudian terkejut di pagi harinya karena menemukan darah yang sudah merembes kemana-mana. Sungguh setan itu adalah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages