Buku-buku
rapi dalam tiga rak. Tersusun dalam abjad yang tak mengenal tinggi, tak
mengenal genre. Semua sama, hanya
aroma ketebalan dan–tentunya–plot pro dan antagonanisnya yang punya kendali
masing-masing yang membedakan. Mereka semua diam, berjajar lurus di tiap-tiap tingkat
sambil menampakkan sisi beraneka judul bagi kita, para pembaca.
Reza kehilangan sesuatu
dalam daftar perpustakaan kecilnya. Sebuah buku ‘based on true story’ tidak ada lagi di tempat namun tidak pula
tersesat. Sekarang kemungkinannya hanya ada dua; seseorang meminjamnya dan ia
lupa itu siapa atau buku itu hilang, sama sekali lenyap bersama waktu.
Pikirannyalah yang membuat konklusi seperti itu, namun pikirannya pula yang
menolak kedua hal tersebut. Ia tidak ingat pernah membawa buku karya Richard
McCann itu ke kampus. Belum gilirannya. Bukankah ia sedang membaca buku lain
sekarang ini? Long Lost?
Dia memandangi sekali
lagi ke dalam rak-raknya. Dimulai dari yang paling kanan, ia perhatikan buku di
tingkat teratas lalu turun, diperhatikan buku di rak tengah tingkat teratas
lalu turun, begitu pula dengan rak kirinya–dari tingkat teratas lalu turun. Dan
tentu saja hasilnya klise; tak ada.
Sesuatu terdengar bergumam
disana bersamanya, seolah mengomentari apa yang sedang menjadi situasi. Tak
begitu jelas apa kata dan bagaimana intonasinya hingga suara-suara itu hanya
terdengar seperti dengung dari dalam telinga. Reza sempat ada niat untuk
memastikan apa itu yang sampai sekarang masih saja menggelitik gendangnya,
namun sayang, ini adalah saat dimana ia sudah seharusnya pergi. Mama telah
memanggil. Matahari sudah terlalu tinggi.
Setibanya di kampus,
hal pertama yang diingat kepala Reza adalah Richard McCann. Sampul bukunya yang
banyak memadukan putih, oranye, dan cokelat begitu menghantui. Membuatnya
kembali menerka bagaimana bau setiap halaman barunya yang belum disentuh. Dimana dia sekarang?
“Just A Boy ada sama kau?”
Satu per satu penduduk kelas yang
mungkin ia tanyai berdasarkan daftar frekuensi pinjaman. Mulai dari dia yang
paling sering hingga ia yang hanya sekali meminjam selama dua tahun perkuliahan.
Tak ada yang mengaku. Tujuh orang ia tanya, dari ketujuh-tujuhnya pula ia
menerima kata ‘tidak’. Kini bersiaplah ia untuk kehilangan sebuah buku yang
sama sekali belum ia jamah isinya.
Reza pulang dengan wajah
penuh kerutan dimana-mana. Ekpresinya tak tentu arah. Memorinya sibuk mengingat
setiap gerakan yang ia lakukan pada buku itu. Gerangan apa yang membuat ia
tidak ada dalam deret? Kesalahan apa yang telah ia lakukan? Sesaat, matanya
membesar. Ia baru saja menemukan sesuatu dalam petak perpustakaan kecilnya. Sebuah
tempat yang mungkin digunakan buku itu untuk bersembunyi selama pencarian. Dan
jika memang ini adalah sebuah keteledoran, pastilah buku itu ada disana. Tidak diragukan
lagi.
Ia langsung lari begitu
mendarat di depan rumah. Bergegas membawa utuh tubuhnya menembus partikel udara
yang saat itu masih tetap tak terdeteksi ketebalannya. Badannya buru-buru
diajak menaiki lantai dua, begitu tegas, hingga tubuh itu terlihat sangat berguncang
di setiap hentakannya. Tak lama, kunci menggelantung di genggaman, minta diputar
searah dengan para jam demi mengeluarkan sebuah mantra pembuka.
Mantra dilepaskan.
Ransel yang semenjak
tadi memberat di bahu kini dilepaskan ke atas meja yang sengaja ditata di
tengah-tengah ruang. Reza bersama tungkainya berhenti, sementara badannya mengambil
nafas untuk menyoroti dua buah kardus yang tergeletak tak jauh dari rak kiri
dengan penuh ambisi. Kardus itu kedua-duanya diam. Tak ingin bergetar ketika dipandangi
dengan tatapan seperti itu, tak ingin menguak akhir sebelum ada yang
menghampiri. Ini belum dimulai.
Reza melangkah. Melewati–dengan
tak peduli–properti lain di ruang perpustakaan kecilnya yang padahal juga ingin
dipandangi. Ia hanya terus bergerak menghampiri kardus-kardusnya yang berada
tepat di samping sebuah lemari kecil. Tak sabar ingin mengobrak-ngabrik mereka
demi sebuah buku bergambar remukan kertas di sampulnya.
Keduanya diangkat ke
tengah meja dengan mudah. Hanya memakan setidaknya tiga puluh detik untuk
menyelesaikan semua. Dan sekarang yang ia perlukan hanyalah menyingkirkan sebuah
ransel hijau tua yang tampak mengganggu dari hadapan ke kaki meja sebelum segalanya
dimulai.
Dua buah buku tampak
memamerkan sampul masing-masing ke udara begitu kardusnya dibuka. Membuat iri
mereka semua yang mengantri di tumpukan lebih bawah agar bisa dilihat segera. Tujuh
buah buku lain hanya bisa menunjukkan kebolehan lembar-lembar halamannya yang
masih bersih dari sisi atas, yang disusun berdiri di sela kanan tumpukan buku yang
sedang tersenyum dengan cover-nya hingga
membentuk dua ruang tambahan kecil lain yang masing-masing terdiri dari tiga
dan empat buku di sisi bawah dan atas–sisi bawah memiliki satu buku yang punya
ketebalan lebih sehingga hanya mampu menampung tiga eksemplar.
Tak ingin menghabiskan
waktu, Reza mulai membongkar. Satu per satu buku menjeritkan judul masing-masing.
Anggap saja ini sebuah promosi lanjutan agar Reza menaruh hati pada mereka yang
datang belakangan hingga mau memajangnya bersama dengan yang lain di dalam rak.
Namun sekarang ini ia sedang tak ingin melakukan hal itu, buku Richard McCann
yang tak jelas keberadaannya jauh menarik perhatian.
Kardus pertama
mengecewakannya. Buku yang dimaksud tidak ditemukan. Masih tetap sembunyi di
dalam tanda tanya yang sama sekali belum berkurang ukurannya. Tapi bagaimanapun
juga, hal itu tak begitu mempengaruhi rasa ingin untuk yang selanjutnya. Rasa
yakinnya masih mengudara.
Susunan buku di kardus
kedua tak jauh berbeda dengan yang pertama. Hanya jumlah eksemplar di sela kanan
buku yang menengadah ke arah pembaca yang membedakan; delapan.
Pencarian berlanjut. Buku-buku
yang keluar ke permukaan meja semakin menumpuk. Buku antrian dalam ruang kardus
perlahan semakin habis. Pertanda buruk. Chocolat
dari Joanne Harris adalah yang terakhir. Tak ada lagi sisa walau tangan Reza
masih mengharap ada beberapa buku lain disana. Just A Boy masih tak ditemukan.
Reza terduduk lemas di
bangkunya. Tersandar dengan kepala yang masih saja menerka dimana buku itu ingin
ia mencari. Matanya mengambang pada lampu yang menggantung tepat di tengah
meja. Berharap kristal-kristal itu akan memantulkan sesuatu yang tak biasa. Reza
memalingkan pandangannya ke bagian rak perpustakaan kecilnya. Dipandanginya
satu-satu judul di rak tengah tanpa tujuan. Rahasia Meede. Ranah 3 Warna. Relentless. Tunggu, ada sesuatu yang
salah disana, diantara buku-buku yang baru saja disebutkan oleh pikirannya, seharusnya
ada dia.
Rectoverso!
Reza segera bangkit
dari duduknya, mencoba lebih mendekatkan diri pada buku-buku pajangnya dan kembali
membaca. Rahasia Meede. Ranah 3 Warna. Relentless.
Dia masih tak ditemukan. Matanya tidak melihat apapun, dimanapun. Seseorang pasti
telah masuk kesana dan mengambil–lagi. Sial!
Di tengah kerumitan
yang semakin tak menemukan penjelasan ini, Reza tiba-tiba menemukan prasangka
yang tak bisa begitu saja diabaikan. Ini tentang adik laki-lakinya yang berumur
dua tahun lebih muda darinya, yang turut memasukkan ‘buku’ ke dalam daftar pelarian
begitu kebosanan menerpa. Tapi ia tidak seperti Reza, ia tidak ingin koleksi. Ia
lebih suka meminjam daripada membeli untuk dirinya sendiri. Yang mana
terkadang, kebiasaan meminjamnya itu sering mengalami kendala ketika Reza masuk
ke dalam area mood yang tidak baik.
Saat itu Reza akan meminimkan komunikasi di rumah dengan cara lebih banyak
mengurung diri–biasanya di kamar–dan hanya keluar untuk melakukan suatu urusan wajib
saja, entah itu makan, minum atau apalah, namun tetap saja wajahnya masih tampak
tak bisa diganggu. Dan sekarang–dengan pertimbangan-pertimbangan yang hanya
diketahui oleh pelakunya–bukan tak mungkin baginya untuk mengambil buku-buku itu
tanpa izin. Reza mencurigai adiknya.
Dengan langkah buru-buru
ia keluar dari perpustakaan kecilnya. Saking tak sabar ia sampai lupa
mengingatkan diri untuk menutup dan mengunci pintu kembali. Dia, Reza, sedang
tak baik. Pintu Tommy merasakannya. Dihempas.
“Dimana bukuku?” Tommy begitu
terkejut atau lebih tepatnya terganggu dengan kedatangan abangnya. Kau dapat melihat
itu dari ekspresi yang diberikan wajahnya sementara tangannya sibuk
menggantungkan handphone di sebelah telinga.
Ia sedang melakukan panggilan. Tommy menghentikan kata-katanya, terpaku
memandangi Reza yang berdiri dengan tanda keseriusan di mata. Percakapan
seluler diakhiri.
“Buku?”
“Jangan berpura-pura!
Aku tahu kau yang mengambil!” Reza melangkah masuk menghampiri adiknya,
menjadikan keduanya saling berhadapan dan saling memandang. Tommy diam. Berpikir
tentang alasan yang membawa abangnya kesana tanpa menemukan apa-apa. Lantas ia
menoleh ke sisi lain, tak ingin menggubris yang tak beralasan jelas. Reza tentu
melihat sikap tak acuh adiknya itu, dan ia menjadi semakin marah karenanya.
“Aku sedang bicara!”
Reza menundukkan badannya. Berusaha semaksimal mungkin menjajarkan wajahnya
dengan wajahnya. Dengan satu tangan ia menarik kaos oblong Tommy ke atas
kemudian. Ia masih ingin didengar, masih ingin menghakimi! Tapi Tommy sudah tak
tahan lagi. Kesabarannya sudah tak menapak. Ia tak ingin terus-terusan
disalahkan.
“Kau tak pernah
meminjamkan buku-buku itu padaku,” ia mendorong tubuh Reza ke belakang. “Kau juga
selalu mengunci perpustakaan rahasiamu. Sekarang kau minta aku mengaku telah
mengambil salah satu bukumu? Apa ini?” Tommy di luar kendali. Radarnya
menunjukkan sinyal yang tak lagi hijau. Ia bahkan tak sadar tangannya sudah
terbang kemana-mana demi mengekspresikan segalanya.
Seketika mata Reza tak lagi
dapat menangkap bayang adiknya. Tubuh itu seakan tidak ada disana. Pandangannya
begitu saja tembus ke dimensi lain. Masuk ke dalam logika terpahit yang pernah
ada; perpustakaan itu selalu dikunci.
Kini ia benar-benar
melupakan adiknya setelah itu. Dia begitu tergesa kembali ke perpustakaan
kecilnya hingga tak sempat berkata. Ia merasa sebuah jawaban tengah menunggunya
di dalam sana.
Segalanya berubah
sekarang. Perpustakaan itu tak lagi sama auranya. Penuh misteri. Dua indera
Reza kali ini terasa lebih berhati-hati. Tak ingin melewatkan gerakan serta
bisikan sekecil apapun yang mungkin saja terjadi di ruang tertutup itu. Semua
segera dimulai.
Tak lama Reza menyadari
bahwa ia tak sendiri. Dia telah ada disana bersamanya. Gumaman yang sempat ia
dengar pagi tadi. Awalnya ia mengira gejala itu berasal dari tumpukan buku yang
menyisa di punggung meja. Tapi ternyata tidak. Lama-kelamaan suara itu memaksanya
untuk memberi fokus pada sebuah lemari setinggi pinggang yang tadinya berada
tepat di sebelah kardus-kardusnya sebelum dipindahkan dari kiri ruang.
Tanpa pikir panjang
Reza mendekat. Terus memandangi dan coba menerka dia yang ada di balik pintu
kayu tak tembus pandang. Siapapun itu, pasti sekarang ia sedang meringkuk ketakutan
sambil memanjatkan puji-pujian pada Tuhannya agar tidak ketahuan. Dan itulah
yang sekarang sedang bergumam, doa. Kini begitu ia membuka salah satu pintu dari
lemari itu semuanya akan segera terlihat, misteri ini akan selesai. Yang ia
butuhkan saat ini hanyalah badan yang sedikit membungkuk dan tangan yang bersiap
membuka.
Decitan lemari itu sungguh
mengganggu. Membuat ia–apapun itu–tersentak dan segera melompat keluar dari
persembunyiannya sebelum terlihat jelas. Reza kaget. Ia terduduk sempurna di
lantai karenanya. Ia tidak mempersiapkan untuk hal seperti ini, tentang makhluk
aneh yang baru saja menyeberangi tubuhnya. Buru-buru ia menghilangkan debar di
dada. Berusaha mengejar kemana arah pergi si bangsat itu dengan matanya.
Dia bersembunyi di
balik meja. Reza dapat memastikan itu dari ekor cokelatnya yang sempat tampak
sebelum akhirnya naik untuk disembunyikan.
Reza memandanginya
sekali dengan hati-hati, kemudian beralih untuk menyempatkan diri melihat pada
lemari dimana sebelumnya makhluk itu berada. Sebuah buku tergeletak diam disana
sebagai isi satu-satunya. Hijau dengan siluet sepasang kekasih. Rectoverso. Apapun itu, tampaknya ia
memiliki daya tarik pada buku. Membaca. Mencuri karena ia tidak mungkin memiliki
se-sen uang pun. Dan gumaman itu ... bukanlah panjatan doa dari orang yang
ketakutan akan ketahuan, melainkan dia yang sedang membaca?
Reza memandangi meja
perpustakaan kecilnya dengan ketakutan yang baru. Habis memikirkan hal-hal apa
saja yang mungkin diperbuat makhluk berbulu itu dengan segala kosa kata yang
telah dibacanya selama ini. Ancaman. Perlahan Reza mendekat dengan badan yang
dibungkukkan. Mata dan badannya waspada dengan apa-apa yang mungkin terjadi ke
depan. Ia menyebut ini sebagai pengamatan.
Lagi-lagi makhluk itu
menyadarinya, dengan cepat ia bergerak melawan arah untuk lari ke permukaan
meja. Beberapa buku lantas tumpah karena pijakannya yang tergesa. Membuat Reza tersadar
bahwa mungkin saja ia akan kehilangan bukunya lagi kali ini. Tapi tentu saja ia
tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia buru-buru bangkit dan mengikuti jejaknya
naik ke atas.
Setiba matanya menatap
meja, makhluk itu sudah tidak ada disana. Meja tengah hanya diisi oleh serakan-serakan
buku yang sedang tak ingin dibaca.
Lampu gantung satu-satunya
di ruangan itu seketika bergoyang karena bebannya yang tiba-tiba saja bertambah.
Menggemerincingkan kristal-kristal untuk saling beradu dan membuat pecahan suara.
Reza menyadari posisinya dan menengadah. Makhluk itu ada di atas sana. Sedang memperhatikannya
dengan sepasang mata besar dari sela-sela kristal yang menengahi. Tentu tak ada
yang puas dengan pemandangan mata besar dan bulu cokelat itu. Begitu pula dengan
dirinya, ia ingin pose seluruh tubuh makhluk itu. Reza bergerak memutar ke sisi
meja yang lain, berharap ia dapat melihat makhluk itu lengkap. Tapi ternyata
dia lebih pintar dari dugaannya, dia turut memutar di sekitar kristal untuk
menghindar. Bahkan ketika Reza mulai mencetuskan ide untuk menaikkan diri ke
permukaan meja–agar ia bisa berada tepat di bawah lampu–dia melompat menjauh, ke
rak tengah dimana buku-buku sedang menjalani tidur siangnya. Kini–tanpa ada
kesengajaan–ia terlihat.
Dia cukup besar, seukuran
kucing dewasa kurus yang disisipi mata lebar dan telinga yang menyerupai
tanduk. Tubuhnya ditutupi bulu cokelat yang kelihatan hangat. Sekilas ia lebih mirip
setan kecil berekor daripada seekor kera.
Reza tak bisa berkata-kata.
Mulutnya menganga di atas meja karena memperhatikan makhluk yang terus menatapinya.
Benda kecil itu pergi. Dengan keempat kakinya ia berlari ke rak bagian kiri, kemudian
berhenti, dan kembali menatapi. Ekornya–tanpa terlihat diperintah–turun
mengulur ke bawah. Meraba isi rak dengan seenak perut. Ia mengambil satu buku
secara acak, menaikkannya ke atas dengan perlahan lalu menyerang!
Tak ada tameng disana. Reza
hanya bisa berusaha menahan buku-buku itu dengan tangannya. Tapi itu tidak
bertahan lama. Sesaat kemudian kakinya mulai hilang pijakan di beberapa buku
yang mengenai wajah. Membuatnya tak sengaja menginjak salah satu tumpukan yang
goyah dan terjatuh.
Ternyata selain bisa
membaca, makhluk itu juga bisa tertawa. Badannya naik turun kegirangan melihat
Reza yang sekarang terduduk di lantai. Begitu senangnya dia hingga tak menyadari
Reza yang sudah berdiri dengan sebuah buku di tangan. Serangan balik.
Makhluk itu langsung goyang
di lemparan pertama yang begitu tepat sasaran. Jatuh dengan bunyi ‘brak’ yang sangat
memuaskan. Reza tersenyum. Tak menyangka ini akan sebegitu mudahnya. Ia berjalan
mendekat mengitari sisi meja. Ingin melihat ketidakberdayaan setan kecil yang
tak tampak jelas dari tempatnya di balik sana. Dia memilih setengah duduk untuk
memperhatikan makhluk itu dari samping setelahnya. Sekarang dia terlihat tidak
menyebalkan. Hanya seperti boneka berbulu cokelat dengan jahitan mata yang
terlalu besar.
Dia tidak memberi tanda
kalau ingin menyerang lagi. Begitu saja, hingga tahu-tahu sekarang sudah
menempel di wajah Reza. Ia memeluk tengkoraknya dengan begitu keras. Ditekan sedemikian
rupa hingga hanya nafas tipis yang bisa keluar. Ekornya bergoyang kesana kemari
tak tenang. Pertanda ia sedang berusaha keras. Reza terduduk dan kemudian
terbaring. Makhluk itu sungguh ingin membunuhnya.
Reza menyentaknya di
satu saat dengan kuat, yang kemudian berakhir dengan dia yang terlempar
membentur rak tengah. Tergeletak. Reza segera bangkit, mendekat. Tapi kali ini ia
tak akan membiarkan dirinya ditipu lagi. Ia tidak akan membiarkan kulit wajahnya
terlepas ketika menarik benda itu keluar untuk kedua kali. Dan untuk memastikan
bahwa ini benar-benar berakhir, Reza menjatuhkan rak tengahnya.
“Bam!”
Hening. Langkah buru-buru
mendekat memecah sunyi. Ketukan besar menyusul. Tanggapan datang dari luar
perpustakaannya sesaat kemudian. “Semua baik-baik saja di dalam sana, bang?”
Itu Tommy.
“Oh, ya. Tentu.” Kata
Reza dengan suara yang tertarik nafas sengal sambil memandangi pintu
seolah-olah ia bisa melihat keberadaan orang di baliknya. “Aku baik-baik saja.
Aku hanya sedang ... membersihkan ruangan ini.” Entah apa yang dipikirkan Tommy
di balik sana tentang alasannya, yang pasti ia tidak terdengar bicara lagi,
hanya suara langkahnya yang mulai jatuh menjauh.
“Hei, Tom.” Reza memastikan
adiknya masih bisa mendengarnya.
“Ya?”
“Maaf untuk yang tadi.”
Keduanya berhenti. Reza menunggu, sementara Tommy bingung harus berkata apa
tanpa harus membuat abangnya terlihat seperti anak kecil ingusan yang mendapat
maaf. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Tommy kembali pergi dengan langkahnya
dan Reza menganggap itu sebagai, ‘ya tidak apa-apa’.
Sekarang segalanya
telah berakhir. Reza hanya perlu melakukan beberapa hal sebagai penutup; mengangkat
kembali lemari yang telah ia jatuhkan, menyusun buku yang telah dirusak dari tatanan,
dan memindahkan tubuh hancur ‘pembaca’ sialan itu. Tapi itu bisa ia lakukan
nanti. Dia masih terlalu lelah. Ia perlu menghampiri dispenser di sisi kanan
perpustakaan kecilnya sesaat. Menuang beberapa ratus mili air di gelas miliknya
dan mulai meneguk.
Awalnya ekspresinya
terlihat biasa, tapi lama-kelamaan mulai muncul kerutan yang semakin tergambar di
kening. Sesuatu mengganggunya, mengganggu ketenangan air yang turun ke
kerongkongan. Ini tentang dia yang tak sengaja terlihat, tentang dia yang bersembunyi
di balik alat minum Reza, tentang dia yang memiliki remukan kertas di sampul wajahnya.
Just A Boy ditemukan.
---
Tags : the reader, aditya prawira, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar