Sudah tiga bulan, tapi
Rudi Prayuda masih ingat bagaimananya. Bagaimana ia tak tenang tiap kali duduk
sendiri, bagaimana ia berpikir–terlalu–keras mempertimbangkan matang-matang
keputusannya di atas segala ini-itu, terlebih pada perasaannya yang dilema. Ia
yakin tentang waktu dan orang-orang yang juga akan berlaku serupa. Orang-orang
bernasib sama dan memiliki hasrat mengilasbalikkan pula. Ia tidak sendiri,
banyak orang yang telah dan sedang seperti ini, yang hanya saja mereka berbeda
penanggalan. Dan bagi Rudi, empat belas Februari adalah harinya, hari dimana ia
memutuskan kepada siapa sebuah relationship dituliskan.
Hari itu tidak hujan,
melainkan cerah dengan tidak terlalu panas. Rudi berjalan dengan keputusan yang
sudah dibuatnya dan tinggal tunggu dilontarkan sementara baru satu dari dua
orang yang perlu tahu ini mendengar. Seorang itu adalah orang yang sekarang di
belakangnya, pihak yang tidak dipilih, yang dengan segala sungguhan cintanya
memaklumi bagaimana tubuh pria yang tadinya bercakap-cakap dengannya sekarang
telah jauh membelakangi. Ia sudah membuat keputusannya, pikir
Tika, lalu mulai bergeser dari tempatnya berdiri dan kembali berbaur pada teman
yang sempat ia tinggalkan demi mendengar apa yang menjadi kesimpulan untuknya,
untuk mereka; teman.
Rudi tahu kemana ia
mengarah, pada kelas dimana seorang lagi pasti sedang berada. Indri adalah tipe
wanita setia kawan dan penggiat belajar, yang akan selalu menghabiskan sepuluh
sampai lima belas menit tambahan bersama kelompok kecil temannya untuk membahas
ulang mata kuliah yang tidak mereka mengerti hari itu. Dan sekarang baru jalan
delapan menit dari akhir kelas mereka yang sebenarnya.
Orang yang sekarang diam
di benak Rudi sedang duduk di belakang meja dosen, dikelilingi tiga teman
sekelasnya yang tak kalah sibuk. Susunan mereka tak beraturan dengan beberapa
catatan di atas satu meja. Tiga orang wanita duduk berhadapan dengan badan
meliuk karena saling ingin melihat catatan yang dibicarakan, sementara
satu-satunya pria disana berdiri di antara seorang temannya yang mengenakan
jilbab ungu dan Indri yang membelakangi pintu.
Indri
adalah orang terakhir yang berbalik untuk melihat. Ia tidak langsung bisa
melihat ataupun merasakan kehadiran Rudi yang ada saat itu, justru ia
diberitahu oleh teman-temannya yang lebih mudah menjangkau pintu dari tempat
duduk mereka. Kini semua memandang keluar.
Satu
wanita yang memiliki rambut gelombang adalah pencetus ide meninggalkan catatan
mereka agar dibahas lain kali. Ia bermain rahasia dengan Tata dan juga Firman
sebelum ia sendiri membereskan bukunya dengan tergesa.
“Kalian
mau kemana?” Tanya Indri penasaran.
“Aduh, In. Kami harus
pergi lab nih. Udah telat.” Kata Rena mencari alasan sembari buru-buru
memasukkan bukunya.
“Bukannya hari ini
kalian enggak ada lab ya?”
“Sebenarnya sih enggak, tapi
tadi ada pemberitahuannya mendadak dari asisten lab-nya. Hari ini jam sebelas.
Iya kan, Ta?” Rena mengikutkan Tata dalam argumennya karena sebagaimana yang
Indri tahu ia dan Tata berada dalam kelompok lab yang sama.
“Iya, In. Tadi pagi baru
dikasih tahu. Mendadak kali–makanya kami hampir lupa gini.” Jelas Tata,
berusaha meyakinkan.
“Kamu enggak lab juga
kan, Man? Kita kan kelompok lab-nya sama.”
“Oh, kalau aku ... ada
urusan dengan temanku. Dia mungkin sudah di rumah sekarang. Aku harus segera
pulang–kasihan dia nanti menunggu lama.”
Indri kalah. Dengan
begitu saja ia melepas teman-temannya. Ia tak punya apa-apa untuk melawan
alasan dibuat-buat mereka. Saat ketiganya beranjak keluar, hanya Firman-lah
yang menyempatkan diri untuk menepuk bahu Rudi yang semenjak tadi memperhatikan
mereka dari ambang, yang lalu memandangi Indri lagi sejenak di dalam sebelum
akhirnya pergi keluar.
Rudi dan Indri. Mereka
tinggal berdua dan saling memandangi. Rudi dari ambang dan Indri dari tempat
duduknya. Indri memutar tubuhnya, memutuskan untuk mengurusi buku-bukunya yang
sebenarnya masih butuh beberapa penjelasan sementara Rudi berjalan mendekat.
Bayang
di samping itu menggelapinya, membuatnya sedikit tak nyaman melanjutkan urusan
bukunya dan lantas berhenti. Keduanya kemudian diam dengan jarak yang begitu
dekat. Indri mulai canggung dengan buku yang menggantung di tangan. Ia menatap
Rudi.
“I
love you.”
Rudi
berhenti disana, di kalimat itu. Berusaha kembali pada dunianya, pada layar
bioskop yang telah menjalarkan para pengisi suara dari film animasi hitam putih
Tim Burton. Lebih dari satu setengah jamnya telah berakhir.
Rencana awal ia menonton
hari itu adalah untuk mengisi segala kekosongan, berusaha melupakan yang
nyatanya tidak bisa. Sepanjang film ia hanya bisa berusaha fokus dengan
gambar-gambar yang pada akhirnya terlewat begitu saja. Ada hal-hal yang menjadi
pikirannya sejak sebelum ia berangkat kesana.
Seperti
biasa, hari itu Indri tidak bisa pergi bersamanya. Ada tugas kelompok–lagi–yang
harus dikerjakan. Rudi maklum, ia kenal siapa kekasihnya itu. Ia tahu betapa
kuliah adalah prioritas utama Indri, dan ia tidak bisa melakukan banyak untuk
mengubah itu. Hanya saja ia rindu dengan saat-saat bersama mereka selama ini,
ini sudah hampir sebulan.
Rudi
baru beranjak keluar dari duduknya di barisan A ketika yang lain telah kosong
dari tempatnya dan petugas kebersihan mulai masuk ke tingkat-tingkat kursi yang
lebih tinggi. Ia sungguh tak tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini.
Dari
sana ia memutuskan untuk menumpang lift walau ramai, walau tangga darurat
nyatanya lebih efisien saat itu untuk beberapa menit. Ia hanya sedang tak ada
keinginan untuk melakukannya.
Sekumpulan
orang menunggu di depan pintu lift, menanti hingga kedua sisinya membuka lalu
berhamburan masuk. Rudi harus bersabar untuk gilirannya. Akibat ulahnya sendiri
yang berlama-lama di dalam tadi, dia berada di radius terjauh dari mulut lift.
Saat itu matanya yang
tak mengharapkan apa-apa tanpa sengaja menangkap sesuatu yang familiar.
Rambut tergerai panjang, tinggi 167 yang ia tahu karena ia berada 3-4cm di atas
itu. Awalnya ia ragu dengan pandangannya, tapi begitu ia memutuskan sedikit
bergeser ke samping untuk sekadar melihat wajah di balik prasangkanya, keraguan
itu hilang.
“Indri?”
Wanita itu sedikit kaget mendengar namanya dipanggil, matanya tanpa banyak kata
tampak tak bersyukur melihat Rudi ada disana bersamanya. “Kamu sedang apa
disini? Bukannya sedang ngerjain tugas?”
Indri
belum sempat berkata, mulutnya bingung harus mengucap apa, tapi seseorang lebih
dulu datang menemani mereka. Rudi mengenali baik sosok itu, sosok yang pernah
ia tangkap sebelumnya di empat belas Februari dalam matanya. Teman belajar
Indri, satu-satunya pria. Firman. Sempat ada pemikiran baik tentang mereka yang
sedang mengerjakan sesuatu disana, sesuatu tentang tugas bersama dengan
teman-teman lain yang entah bagaimana belum kelihatan dimana. Tapi tangan
Firman yang merangkul bahu Indri saat itu berkata lain.
“Apa-apaan
kau Man? Jaga tanganmu!” Rudi menjatuhkannya, lalu menarik Indri untuk
mendekat.
Firman memainkan
ekspresi tak sukanya, menantang. Mulutnya menimbang-nimbang apa yang seharusnya
ia katakan dalam situasi ini dan ia memulainya, “Kenapa? Aku pacarnya. Kau
siapa? Hanya mantan!”
Mantan? Rudi
tak bisa menerima ini. Mulut itu berbicara di saat yang tidak tepat. Di saat
sebenarnya ia sedang ingin sekali marah tapi tak tahu pada siapa.
Tubuh Firman didorong
hingga jatuh membentur lantai. Membuat Rudi mudah untuk memukuli wajah yang
seenaknya saja bicara. Seketika mulai ada darah disana. Indri khawatir dengan
suara-suaranya yang tidak digubris sementara orang-orang yang masih berkerumun
menanti lift mencoba memisahkan. Rudi dipegangi lengannya, yang sekarang tengah
bergerak-gerak keras ingin lepas dengan kaki yang tak tenang sementara Indri
membantu Firman menopang kembali tubuhnya.
Lift
berbunyi.
Firman membetulkan darah
yang mungkin keluar dari ujung bibir dengan tangannya, lalu dengan Indri yang
ada di belakang keduanya masuk ke dalam lift tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
“Indri!
Indri!” Rudi memaksa keluar dari cengkeraman massa yang mengikatnya–kali ini
bebas–untuk sekadar sempat melihat wajah Indri yang tak lagi ingin menatapnya
di antara sisi lift yang semakin menutup. Mereka terhalangi.
Tubuh
Rudi naik turun bersama nafas berat. Mencoba berpikir tentang jawaban di
hadapan sebuah pintu besi yang pada akhirnya masih saja tidak percaya setelah
menemukan kemungkinannya. Rudi dengan segala hal yang ia pertanyakan segera
mengambil langkah menuju tangga darurat. Berlari dengan gerak besar-besar di
atas anak tangga menuju lantai ground yang ia pikir adalah tempat yang keduanya
tuju.
Saat itu badannya
bergerak seperti burung bebas yang terbang di angkasa. Lepas dalam menerobos
lapisan orang-orang yang berjalan lambat dan santai. Di pikirannya tak ada yang
lain selain tentang sebuah lift yang takkan menunggu kehadirannya sebelum
membuka.
Orang-orang
sudah berganti saat ia tiba. Ada yang keluar, ada yang masuk. Lift itu–tentu
saja–turun lebih dulu. Rudi menyebar pandangan, tak ingin hilang harap. Semoga
ia masih ada disana.
Pencarian Rudi berlanjut
pada geraknya yang kali ini tidak terarah, yang berusaha menemukan seorang dari
beberapa puluh orang yang menghabiskan akhir pekannya di tempat itu tanpa tahu
pasti titiknya dimana. Tapi ia yakin, jika memang mereka turun di lantai itu,
jika memang mereka baru saja keluar, dan jika memang ada yang perlu ia ketahui,
mereka pasti akan bertemu walau untuk mengakhiri.
Indri
berbalik. Tangan itu telah menemukannya yang entah di putaran ke berapa. Ia
menatap Rudi yang juga menatapnya. Ada banyak keresahan disana. Firman mencoba
menghalangi mereka dengan hadir di antaranya, namun Rudi segera mendorongnya
menjauh, yang membuatnya berpikir sendiri untuk memberi mereka sedikit waktu
untuk bicara berdua.
“Indri
aku cinta sama kamu.” Suaranya berat, nafasnya masih terengah. Diremasnya
tangan Indri dengan kedua tangannya. Indri bergetar.
“Rudi, aku ...” Indri
menjatuhkan matanya. “Aku enggak bisa.”
“Indri,
hei. Lihat aku.” Rudi menaikkan dagu seorang wanita yang di benaknya masih
kekasihnya. “Aku cinta sama kamu, dan kamu cinta sama aku. Itu enggak akan
pernah berubah.” Kali ini Indri menjatuhkan satu tetes air matanya. Ia tidak
tahu bagaimana menjelaskan ini. Ia merasa bersalah.
“Hei,”
Rudi menghapus air matanya. “Jangan nangis, kita pulang sekarang, ya.”
Indri bergerak di
tempatnya, mencoba untuk tidak menangis dan menghapus air matanya sendiri.
Ditatapnya Rudi yang setia di depannya, lalu ditelannya ludah yang menyesatkan
sebelum akhirnya bicara.
“Kita
putus.”
Tubuh
itu langsung berbalik tanpa menunggu komentar apapun. Menyisakan sebatang tubuh
yang membelakangi yang terlihat menghapusi titik air matanya sendiri dengan
tangan. Rudi masih tak percaya ini, dengan Indri yang sekarang di sampingnya
bukan ada dia lagi melainkan orang yang tadinya ia usir keberadaannya, bahwa relationship yang
dulunya ia putuskan susah payah untuk ditulis harus berakhir seperti ini. Tanpa
sadar Rudi menangis. Sebelah matanya mengeluarkan air. Pandangannya mengabur
dengan bibir yang menggigit keras kepahitan bibirnya yang lain. Perlahan ia
mengangguk pada dirinya sendiri, mengatakan bahwa ini tidak apa-apa dan akhir
dari hubungan ini adalah yang baik.
Rudi beranjak keluar
dari tempatnya dengan menunduk. Sambil menghapus air matanya dengan sekali
tekan melalui punggung tangan ia terus bergerak, berusaha ‘hidup’ paling tidak
sampai ia menemukan rumah dan kasurnya untuk kemudian tidur sepanjang hari
sebelum akhirnya benar-benar bisa melepas.
---
Tags : relationship, aditya prawira, romance, cerpen
romance pertama ya dit?
BalasHapuskrn dasar q ny yg g jago dlm membaca atau gmn. Rudi ama Indri ud pacaran??? putus ny gara2 ap?
well, ini bukan romance pertama ..
Hapusada 'not a cinderella story' sama 'di balik hujan' juga ..
nampak x yg jarang berkunjung ini ya sam .. -_-
...
rudi sama indri udah jadian di empat belas februari,
putusnya gara-gara indri yang putusin, ..
kalau alasan : biar setiap pembaca yang narik kesimpulan masing-masing .. :D