[Review] Rumah Kentang



Directed by Jose Purnomo

Farah (Shandy Aulia) harus meninggalkan Melbourne. Sesuatu telah terjadi di Jakarta. Ibunya baru saja wafat karena kecelakaan-yang saat itu sedang dalam perjalanan bersama adiknya, Rika (Tasya Karmila), yang untungnya selamat. Untuk itu ia harus kembali untuk mengurusi pemakaman dan segala yang diperlukan.

Setelahnya Farah harus menerima kenyataan tentang keadaan Rika yang shocked dan mereka yang sedang mengalami krisis keuangan. Farah tidak bisa melanjutkan kuliahnya di Melbourne dan mereka kini tinggal di kontrakan yang disewa Ibunya yang sayangnya sudah hampir habis masa kontraknya.

Saat kakak-beradik itu bingung harus menetap dimana, sesuatu datang tanpa diduga. Ibu mereka ternyata memiliki sebuah rumah yang dibeli sepuluh tahun lalu. Rumah yang karena sebuah rumor membuat Ibu mereka memutuskan untuk tidak tinggal disana-melainkan mengontrak. Rumah itu rumah kentang. Tempat tinggal arwah setan anak kecil dan bau-bauan kentang yang misterius.

Tak ada pilihan, keduanya menetap disana.

Berbeda dengan Rika yang langsung bisa merasakan kehadiran-’nya’, Farah justru tidak percaya rumor rumah kentang sama sekali. Sampai pada akhirnya Rika ditemukan tergeletak di lantai kamar dengan badan penuh memar dan cakaran hingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Farah bingung harus berbuat apa, sampai-sampai ia akhirnya melakukan hal yang membuat orang-orang sepertinya-orang yang tidak memiliki indera keenam-bisa merasakan kehadiran ‘mereka’. Ia menyisir rambutnya sebanyak lima kali di depan cermin dengan penerangan lilin di tengah malam.

Sesaat, segalanya yang selama ini tercium samar bersama bebauan kentang rebus di malam hari pun mulai terlihat-menyeramkan.

---



Tidak bisa disangkal jika urban legend memilki daya tarik tersendiri untuk disimak. Setelah horror comedy besutan Nuri Dahlia, Nenek Gayung, Jose Purnomo mencoba menawarkan Rumah Kentang untuk disajikan bebauan horror-nya.

Jose Purnomo sendiri merupakan satu dari dua sutradara-selain Rizal Mantovani-yang melahirkan Jelangkung, yang belakangan cukup mengecewakan lewat film trilogi Pulau Hantu-nya yang lebih menonjolkan keseksian para pemainnya daripada alur ceritanya sendiri. Tapi kini tampaknya ia ingin mengobati ‘sakit hati’ para pecinta horror Indonesia dengan kembali pada horror yang sebenarnya-mengikuti jejak dua filmnya yang lain, Jelangkung dan Angkerbatu.

Rumah Kentang memiliki bagian pembuka yang sangat matang. Dengan Medina yang berperan sebagai Sabrina-penghuni rumah kentang sebelumnya-yang berakting tak kacangan ditambah dengan penyajian angle-angle misterius dan suara mencekam yang luar biasa.

Suasana mencekam dari film ini datang dari sudut sinematografi dan suaranya. Kau akan sering menemukan dirimu mengutuk-ngutuk kedua hal itu yang tak jarang membuatmu takut di sepanjang film. Gerak kameranya sering kali menyembunyikan sesuatu yang ingin kau lihat, yang membuatmu penasaran hingga akhirnya ketakutan.

“One of The Scariest Indonesian Movie Ever Made.”

Shandy Aulia selaku pemeran utama dalam film ini tidak bisa berbuat banyak selain mengandalkan gestur. Emosinya sangat datar dengan suara yang hampir sama sekali tidak memiliki intonasi. Kau akan merasa terganggu dengan dialog-dialog yang diucapkannya. Apalagi saat kau mendengarnya berteriak karena sesuatu hal dalam film ini. Setidaknya kau akan mengerutkan keningmu karena menemukan sesuatu yang tidak pas di dalamnya. Untung saja dua lawan main utamanya yang lain, Tasya Karmila dan Gilang Dirgahari, tidak seperti itu. Mereka bisa jauh memegang peran masing-masing dalam film ini.

Sempat ada pemikiran mengapa mereka tidak memakai Medina untuk memerankan Farah dalam film ini yang jelas-jelas jauh lebih baik dari Shandy Aulia? Satu jawaban yang mungkin : Shandy Aulia lebih menjual daripada Medina setelah bermain dalam ‘Apa Artinya Cinta’ dan ‘Eiffel I’m in Love’.

Selain kualitas akting, beberapa masalah yang akan ditemui dalam film Rumah Kentang ini adalah bagaimana scene yang satu dengan scene yang lain tersaji. Scene-scene ini dipotong secara sangat aneh hingga membuat kesan terburu-buru dalam pengerjaannya-walaupun alur ceritanya memang cepat tapi setidaknya tidak disajikan seperti itu. Detail penyebab kematian si ‘anak kecil’ juga disajikan kurang menarik. Sangat disayangkan. Padahal Jose bisa memaksimalkannya dengan sebuah visualisasi yang nantinya akan membuat para penonton bergidik ngeri. Jose juga seakan kehilangan kendali terhadap filmnya di tengah-tengah cerita. Apalagi ketika si calon pembeli rumah yang diperankan Rina Rose datang. Buruk. Namun masalah itu berangsur-angsur terurai di belakang sebelum akhirnya memasuki ending yang cukup memuaskan.

Tapi bagaiamanapun, buat mereka yang ingin menghilangkan image Jose Purnomo dengan Pulau Hantu-nya, dan buat mereka yang ingin melihat bagaimana karya horror yang seharusnya-kebetulan ini adalah dari salah satu sutradara penelur Jelangkung-ini adalah saatnya.



Tags :  

1 komentar:

Pages