[Short Story] Dongeng (Setelah) Pertikaian Besar

 



Dongeng (Setelah) Pertikaian Besar

Written by Aditya Prawira


Hampir dua puluh tahun setelah pertikaian besar, manusia akhirnya berdamai dan bersama-sama menyongsong fase baru kehidupan. Manusia kini diperkenankan menikahi anjing, mamalia nomor satu di puncak popularitas setelah manusia itu sendiri mengalahkan kucing dan lumba-lumba, tak terkecuali di negara X yang sebelumnya dikenal paling getol menolak kebijakan yang saat itu kontroversial. Ras baru yang kemudian dikenal dengan sebutan man-jing lahir mengambil tempat di tengah masyarakat; berjalan di atas dua tungkai serupa manusia, berwajah moncong penuh bulu bak seekor anjing.

Guk, guk, guk, selamat pagi …

Ruas-ruas jalan seketika dipenuhi kekaguman dan keceriaan setiap kali makhluk berbulu setinggi lebih dari satu setengah meter terlihat di keramaian. Persentase kebahagiaan warga tercatat naik dua puluh persen dalam lima tahun terakhir. Hasil survei menunjukkan 65.9% dari seribu responden percaya bahwa man-jing membawa positive vibes bagi kehidupan masyarakat saat ditanya kenapa ras baru tersebut semakin digemari belakangan ini. Beberapa lainnya, yakni 20.3% responden berpendapat man-jing lebih mudah diajak berdiskusi dibanding manusia biasa, 8.7% mengatakan mereka umumnya pengertian dan tidak egois, 5.1% menyebutkan hal-hal baik lain.

Namun, meski survei lembaga terpercaya menunjukkan hal-hal positif dan undang-undang pernikahan manusia dan anjing telah cukup lama disahkan, nyatanya tidak semua orang menyetujui keberadaan man-jing. Undang-undang, apapun perihalnya, hanya mewakili mayoritas suara masyarakat jika tidak ingin dikatakan mengikuti kepentingan penguasa. Di dunia ini masih banyak anak-anak seperti Diana Cantika yang dilahirkan sebagai manusia biasa dikarenakan orang tua mereka menolak menikahi man-jing ataupun seekor anjing. Bagi orang-orang ini kepercayaan tak pantas ditukarkan dengan penawaran semu duniawi.

Memiliki wajah berbeda dari separuh teman-teman di sekolah membuat Diana Cantika kerap lama memandangi pantulan cermin kamarnya setiap pagi. Ia membayangkan jika suatu ketika wajah mulusnya ditumbuhi rambut seperti teman man-jing-nya. Pasti akan tampak cantik dan menggemaskan, pikir Diana. Diana yang saat itu baru menduduki kelas tiga SD bertanya kepada sang ayah mengapa ia tampak berbeda. Sang ayah tak punya alasan membunyikan jawaban. Di zaman serba modern ini cepat atau lambat anak akan mengetahui dunia tak peduli seberapa keras kita menutupi. Menurut Ayah akan lebih bijak jika Diana mendengar langsung penjelasan darinya daripada orang lain yang mungkin saja mencampurkan hal baik dan buruk menjadi abu-abu.

Tahun berjalan, Diana Cantika menginjak SMP. Ia mengenal semakin banyak teman man-jing dan di matanya para man-jing itu tampak semakin unik saja. Ia teringat penjelasan ayahnya saat ia duduk di sekolah dasar dan mulai menuding pemikiran sang Ayah yang begitu terikat ajaran leluhur terlalu kolot. Diana mulai berani mendebat. Ia bahkan berkata jika saat dewasa nanti ingin menikahi man-jing dan melakukan operasi wajah. Sang Ayah mendapati api tekad di mata anaknya, lantas sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri ia berkata, "Kamu boleh mengikuti apapun kemauanmu saat usiamu sudah delapan belas tahun. Sampai saat itu beri Ayah kesempatan mengajak kamu melihat dunia dari sudut pandang nenek moyang. Jika memang setelah berumur delapan belas tahun kamu masih merasa bertolak belakang, kamu pegang ucapan ayah: kamu boleh menjalani kehidupan berbeda."

Diana menyetujui tantangan ayahnya. Sembari belajar bagaimana berlaku santun kepada orang lain, betapa ringkas kehidupan di dunia serta adanya kehidupan setelahnya, hatinya diam-diam semakin meyakini ia akan kelihatan lebih baik dan cantik dengan bulu-bulu di wajahnya.

Lima tahun kemudian Diana menginjak usia kedewasaan. Delapan belas tahun. Ia masih ingat jelas janji sang ayah pun hasrat melakukan operasi plastik yang disimpannya bersama uang jajan selama bertahun-tahun. Diana Cantika sudah tidak sabar ingin menjadi secantik man-jing.

Di saat yang sama, penelitian para ahli mendapati man-jing ternyata berumur lebih pendek dari manusia biasa. Hal ini dikarenakan, seperti anjing, man-jing tumbuh dewasa lebih cepat. Di saat manusia biasa menunjukkan kematangan biologis pada rentang 11-14 tahun, man-jing justru menunjukkan tanda-tandanya semenjak umur 5-7 tahun. Man-jing berusia 12 tahun bisa disamakan dengan manusia biasa berumur 25 tahun. Penemuan mengejutkan ini mempengaruhi sistem-sistem di negara X kemudian. Jenjang wajib sekolah SD-SMA yang harus dilalui selama 12 tahun, membuat banyak siswa man-jing sudah merasa desakan ingin menikah bahkan saat belum lulus sekolah menengah pertama (13 tahun). Dorongan biologis, keinginan segera mempunyai keturunan, serta umur yang rata-rata hanya mencapai 40 tahun, bertentangan dengan undang-undang pernikahan yang mengatur batas usia minimal menikah 20 tahun. Alhasil kasus-kasus kekerasan seksual merebak di berbagai daerah, pernikahan anak dan KDRT melonjak. Pandangan positif terhadap keberadaan man-jing turun drastis dalam berbagai survei. Diana mendengar berita-berita ini di televisi juga sosial media, bahkan ayahnya turut mengingatkan, tetapi keinginannya yang terlanjur menggebu tak kunjung luruh lantas menutup mata serta menjadikan perkataan ayah yang mengizinkannya mengambil jalan berbeda saat berumur delapan belas tahun sebuah tameng.

“Untuk apa, Diana? Apa yang kamu cari? Kamu sudah cantik. Banyak anak-anak seumuran kamu ingin secantik kamu.” Ayah mencoba meyakinkan berulang kali, tetapi Diana masih enggan percaya. Hatinya bersikeras pada rupa menggemaskan man-jing yang ia dan banyak orang lain lihat, dan menganggap perkataan ayah hanya sebuah kebohongan yang mencoba menepis fakta itu serta janji di masa lalu.

“Bohong! Ayah bilang Diana boleh melakukan apa saja yang Diana mau saat berumur delapan belas tahun! Tapi sekarang apa? Pokoknya Diana mau operasi wajah!” 

Rumah sakit khusus kulit itu penuh. Diana duduk antre bersama kedua kakinya yang bergetar naik-turun setelah meninggalkan ayahnya di rumah begitu saja. Sebenarnya sekarang ini hatinya menyimpan sedikit keraguan berkat ucapan sang ayah. Tapi sejumput pikirannya yang lain justru membenarkan tindakannya. Sudah sejauh ini, kata pikiran itu. Bertahun-tahun ia menanti dan inilah saatnya tanpa penundaan lagi. Diana bergegas menandatangani berkas persetujuan sebelum pikiran-pikiran lain menghalanginya. Salah satu poin di kertas itu berbunyi: memberi izin untuk ditidurkan dalam kapsul selama proses pemulihan enam bulan.

Enam bulan bukanlah waktu yang lama, apalagi jika hanya dihabiskan dengan berbaring sepanjang waktu. Operasi dan proses pemulihan Diana berjalan lancar. Ia tersenyum puas memandangi hasilnya. Bulu-bulu oranye hitam lembut kini menghiasi wajahnya.

Di lobi rumah sakit banyak manusia biasa dan man-jing duduk di kursi antre. Diana merasa senang, pandangannya terbukti bahwa man-jing memang terlihat lebih menarik. Sekarang semua orang berbondong-bondong melakukan operasi wajah seperti dirinya. Ia terus tersenyum sembari menyeberangi lobi sementara orang-orang di sana memperhatikan ia dan bulu-bulu wajahnya yang tampak percaya diri. Salah satu kursi di lobi rumah sakit diisi oleh orang yang tak asing bagi Diana. Ia adalah salah seorang teman man-jing yang dulu bulu wajahnya dikagumi dan membuat iri Diana. Namun, kali ini temannya itu terlihat sedikit berbeda. Bulu-bulu di wajahnya sudah tidak ada.

Diana berjalan pulang. Senyumnya lebar di atas trotoar menyapa matahari yang sudah enam bulan tidak ia temui. Sensasi menggelitik terasa saat angin menerpa bulu wajahnya.

Sebuah kerumunan tampak di kejauhan di lapangan besar. Makin dekat, makin jelas terdengar yang diributkan adalah perihal keberadaan man-jing yang dinilai berbahaya. Meski bukan benar-benar man-jing, wajah manusia Diana sudah dirombak menyerupai. Orang-orang yang tidak tahu-menahu akan berprasangka sebaliknya sebagaimana seorang demonstran yang saat itu melihat keberadaannya di sisi jalan. Teriakan-teriakan memberondong Diana. Ia mencoba berlari dan menghindar, tetapi segera terpelanting akibat dorongan batu di kepalanya. Rasa nyeri berhamburan di pelipis Diana. Rembesan cairan hangat berwarna merah mengaliri wajahnya. Seorang pria dewasa tergesa berlari ke arahnya, memeluk dan memapahnya menjauh dari kerumunan yang menggila menuju ke tempat aman. Ayah.

Kerusuhan di lapangan besar hari itu bukanlah bentrokan pertama. Karenanya Ayah sangat khawatir sampai-sampai memastikan jadwal selesai operasi Diana yang tidak bisa dihentikan di tengah proses sebagaimana ketentuan. Di rumah, Diana menangis tersedu-sedu di pelukan ayah tanpa berkata apa-apa. Ayah mengerti perasaannya tanpa menghakimi. Bagi Ayah, tidak ada yang lebih menenangkan hatinya sekarang ini dibanding kenyataan anaknya baik-baik saja di sisinya.

Hari demi hari, dunia tidak kunjung membaik. Tidak bagi man-jing, tidak bagi manusia biasa. Pertikaian berkobar lebih hebat dari pertikaian besar dua puluh tahun lalu. Ketakutan dan dilema berkecamuk di mana-mana. Gedung roboh, supermarket dijarah. Sebagian orang hilang, sebagian lagi dibiarkan menggenang di jalanan bersama anjing-anjing. Sisanya, harus berjuang hidup di bawah bayang-bayang ledakan, tembakan, dan gas air mata. Jika sudah begini … 


—-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages