1
Seorang remaja
pria tinggi, tegap, berponi, berdiri di depan gerbang sekolah dengan seragam separuh
keluar dari celana abu-abunya. Bet SMA IB UKOTABARU di lengannya tampak tidak
sesuai dengan bunyi papan nama sekolah di hadapan. Pelajar-pelajar lain, yang mengenakan
bet asli, bergantian memandangi pria itu. Tangan-tangan seketika menutup hidung,
menyoroti bercak cokelat gelap tercoreng di belakang baju sang remaja. Salah
seorang pelajar perempuan mual mencium aromanya. Beberapa lekas bergegas
menjauhi. Dalam sekejap berpasang-pasang mata menghakimi penampilan melalui satu
pandangan melotot; seragam salah dikancingkan, kepala gesper melenceng terlalu
ke kiri, sebelah tungkai celana tergulung hingga ke betis. Andai mereka
memperhatikan sorot mata putih pekat di balik pandangan tertunduk pria ini,
pastilah semua akan bereaksi sama sekali berbeda.
“Я тебя люблю!” Sekonyong-konyong ia berkata kencang.
Remaja itu Afriandy David–tertulis
di bagian dada seragam. Bak mayat hidup berjalan melewati gerbang sekolah yang sedang
tidak dijaga siapapun. Tak ada pelajar yang berani berurusan dengannya apalagi
setelah mendapati keberadaan kotoran di belakang bajunya. Sekelompok perundung hanya
diam memandangi, meniup permen karet. Pria ini mungkin benar berponi, tapi sama
sekali tidak kelihatan culun dan tak berdaya melainkan cukup keren dan kokoh tipikal
pria idola di drama Korea. Andy jelas akan sulit diatasi.
Sebuah kelas di lantai dua seketika riuh
karena kehadiran Andy di sana. Murid-murid di dalam ruangan mendekat satu sama
lain mencari teman perlindungan. Bisik-bisik dan praduga menguar.
Hidung
lagi-lagi ditutup erat-erat.
“Я тебя люблю!”
“Itu,
Pak! Dia masuk ke kelas XI MIA 3!” Terdengar dari lorong kelas. Langkah-langkah
setengah berlari menggema.
Di
dalam kerumunan kelas seorang pelajar pria melangkah ke depan. Kepalanya
gundul, dan ada sebuah plester di pipi wajahnya. Hendra Syarif, ketua kelas XI
MIA 3 yang dikenal suka tidur dan melamun di jam pelajaran, mencoba menghadapi
Andy si tamu tak diundang. Seketika kedua pria saling bertatapan, dan untuk
pertama kalinya para murid-murid di sekolah itu memperhatikan sepasang mata
Andy yang meskipun masih dominan putih pekat kini terlihat setitik kecil hitam
di masing-masing bolanya. Keterkejutan menyeruak membentuk teriakan-teriakan.
“Demi
langit dan Bumi, apa yang terjadi di sini?” Pak Guru merampas lengan Andy
sembari menutup hidung.
“Pak,
hati-hati, Pak! Ada yang tidak beres! Matanya! Matanya, Pak!”
Menyadari
kebenaran seruan itu, Pak Guru sontak melepas tangan Andy.
“Si-siapa
kau? Apa yang kau inginkan dari murid-muridku?” Pak Guru mundur,
menginstruksikan murid-muridnya melakukan hal serupa ke dinding kelas.
Murid-murid bergetar. Jika Pak Guru saja mundur, siapa yang diharap akan
mengatasi kehebohan pagi itu? Di antara keberanian yang menyusut, Hendra Syarif
sang ketua kelas tampak mencolok tampil di depan mereka yang kehilangan
keberanian. Pak Guru mengingatkannya, tetapi Hendra tak gentar dan justru berkata
lantang, “Monyet!”
Lalu,
tanpa ada yang tahu apa alasannya, Andy dan Hendra pingsan di waktu yang hampir
bersamaan.
Baca Selengkapnya di https://wacaku.com/karya/cerpen/cinta-monyet/
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar