Directed by Sammaria Simanjuntak
Cast: Laura Theux, Rebecca Klopper,
Vonny Cornellya, Endy Arfian, Arswendy Bening Swara, Jajang C. Noer, Valerie
Tifanka, William Bivers, Davis Kuen
Sinopsis:
Di tengah kedukaan, Amara (Laura Theux)
menemukan sebuah sumur pengabul permintaan di tengah hutan dekat desa di mana keluarganya
baru saja pindah.
---
Pasca Pengabdi Setan arahan Joko Anwar
dinobatkan sebagai film terlaris 2017 sekaligus film horor Indonesia terlaris
sepanjang masa dengan jumlah raihan mencapai lebih dari 4 juta penonton, banyak
rumah-rumah produksi dalam negeri kembali mencoba peruntungan dengan film-film
horor. Tak pelak, dugaan konsumsi horor sedang naik-naiknya adalah benar. Bahkan
untuk tahun 2018 sendiri, saat ini sudah tercatat 4 film horor dalam negeri
yang menembus angka satu juta penonton, dan sedikitnya 6 film horor berhasil melewati
angka setengah juta penonton, termasuk dua horor yang baru-baru ini saja rilis,
Kafir (Azhar Kinoy Lubis) dan Sebelum Iblis Menjemput (Timo Tjahjanto).
Masih mengambil tema seputar meminta
bantuan kepada setan, Sammaria Simanjuntak (yang juga merangkap sutradara)
bersama-sama Evanggala Rasuli menggarap naskah berjudul Sesat. Sesat sendiri bercerita
tentang sebuah keluarga yang baru saja dilanda kedukaan atas kematian sang ayah
(Willem Bivers), pindah ke sebuah desa bernama Beremanyan bersama sang Opa
(Arswendy Bening Swara). Sebuah percakapan menjelaskan alasan kepindahan adalah
“… agar Ibumu bisa menenangkan diri.” Sebuah alasan yang kurang tepat memang,
mengingat ada dua gadis remaja yang harus lebih diperhatikan dibanding seorang
Ibu yang sudah dewasa; apakah anak-anak itu lebih baik pindah ke lingkungan
yang tidak mereka ketahui atau tetap tinggal di rumah sebelumnya? Belum lagi
jika diulik apakah anak-anak tersebut setuju dengan kepindahan tersebut.
Di dalam film akan ada beberapa
percakapan sejenis, yang ditempatkan tidak sesuai dengan tempatnya; apakah itu
terlalu dini atau mungkin tidak perlu sama sekali. Seolah-olah kedua penulis
naskah tidak percaya diri dengan materi awal, serta menganggap penonton film
mereka tidak terlalu pintar dalam membaca situasi melalui gambar-gambar yang
disajikan dan isyarat karakter-karakternya. Sehingga kemudian dirasa perlu mengadakan
dialog-dialog tersebut demi menghindari adanya penonton yang tersesat.
Sebagai contoh lain, nantinya ketika
mengunjungi desa Beremanyan untuk pertama kali, Dinda (Rebecca Klopper)
bertanya, “Kenapa penghuni desa ini orang tua semua?” Mengingat mereka baru
saja tiba kurang dari semenit yang lalu dan hanya melihat 3-4 rumah, tentu
adalah hal yang konyol untuk bertanya demikian. Lalu di lain kesempatan, Amara
(Laura Theux) yang menemukan sebuah lukisan berlatar hutan dengan sebuah sumur
di tengah-tengah, lantas bertanya, “Di desa ini ada sumurnya?” Bagaimana
mungkin pemikiran itu ada di sana jika bukan karena kedua penulis naskahlah
yang ingin memancing penonton untuk memerhatikan bahwa di dalam lukisan itu
tidak ada “noda”–yang justru terdengar janggal.
Tak hanya dialog, Sesat juga mengalami
kendala di eksekusi beberapa pengadeganan, yang sayangnya, merupakan babak
ketiga film, yang mana sangat krusial. Mungkin terkendala budget, atau mungkin setting yang tidak memungkinkan, dan
sang sutradara tidak ingin menggunakan CGI tanggung untuk mencegah terjadinya film-film
seperti Nini Thowok (Erwin Arnada). Alih-alih menyiasati adegan agar terlihat
lebih artsy, Sammaria Siamanjuntak justru
membiarkannya begitu saja. Hasilnya, ada setidaknya dua bagian dari adegan
akhir yang “hilang”. Seperti halnya ketika kita menonton sebuah film yang
terlalu gore ataupun mesum di bioskop
dan LSF memutuskan untuk tidak memperbolehkannya, sehingga akan tampak seperti ada
pemotongan 1-2 detik di tengah-tengah kejadian.
Memiliki kekurangan bukan berarti Sesat
tidak memiliki poin plus yang bisa
dinikmati. Sesat punya Laura Theux sebagai lead
cast yang tidak hanya menawarkan good
looking tetapi juga good performance,
meskipun dialog seperti “kalau hidupin orang mati, bisa enggak?” tetap saja
terasa tidak enak didengar dalam percakapan antar teman yang baru saja dikenal.
Laura Theux, sebagai salah satu anak yang ditinggal mati, mampu membuat kita sedikit
empati atas kesedihan sekaligus kerinduannya terhadap sang ayah tanpa harus
banyak berkata, walau hubungannya dengan Ayah tidak digambarkan dengan begitu
baik–terutama adegan kelas balik itu! Kita paham ketika akhirnya ia memutuskan
meminta bantuan setan.
Selain itu, bangunan konflik antar
karakter di dalam film ini juga menarik, tidak terduga-duga namun masuk akal.
Berangkat dari sesuatu yang kecil, semisal pengabaian, masing-masing karakter punya
alasan untuk marah yang kemudian memicu tindakan. Ditambah mantra Sesat yang
masih cukup ampuh dalam menyebar kengerian lewat gabungan pergerakan lamban kamera
tanpa musik disertai bunyi-bunyi gemerisik yang membuat was-was. Ya, sebenarnya
Sesat punya potensi. Bahkan hasil akhirnya jauh lebih baik dibanding
horor-horor lokal kebanyakan. Sangat disayangkan duet Sammaria Simanjuntak dan Evanggala
Rasuli berakhir pada penulisan panduan ‘agar tidak tersesat’ berisi
dialog-dialog yang tidak tahu kodrat penempatan dan pengungkapan twist yang terlalu kebetulan. 2.5 stars (out of 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar