Banyak orang
memejam ketika tembakan-tembakan
itu meletus. Burung-burung pergi dari dahan bersama kepakan sayap
yang terdengar setelahnya. Riuh yang tadinya sempat
berhenti karena menahan nafas seketika memenuhi udara kembali, hanya saja mengganti cemoohan ‘tampangnya-saja-yang-alim’-nya menjadi usaha saling menenangkan satu sama lain bahwa memang iblis harus dihukum.
Setetes kesedihan jatuh dari sebelah mata di
antara keramaian, diikuti getaran badan yang semakin lama
semakin hebat. Seorang wanita menunduk–menutup
mata–mengutuk dirinya sendiri, memaki di dalam hati sementara
tangannya mengeras pada pagar besi yang membatasi orang-orang dengan tempat eksekusi. Laila merasa bersalah. Semua
itu karenanya.
Tak ada yang bisa
menghentikan wanita itu menangis. Pipinya semakin basah. Tubuhnya naik-turun
akibat sesenggukan. Sekarang apa yang harus ia lakukan, pikir Laila. Tak ada lagi siapapun di tempat ini ataupun
bagian lain dari dunia yang akan menerimanya. Kemana ia harus pergi?
Abdu adalah suami yang baik dan perhatian, semua
yang dilakukannya adalah untuk menjaganya dan keluarga mereka. Bagaimana mungkin ia baru menyakini ini
sekarang, di saat peluru telah bersarang di kening dan merenggut suaminya? Walau
sangat marah mendengar berita perselingkuhannya selama ia pergi–tentu saja ia
marah, setiap suami akan gila mendapati seorang istri berselingkuh–Abdu
akhirnya memilih mendengarkan Laila. Setidaknya begitu, sebelum Doni mendatangi
rumah mereka dengan niat memperbaiki segalanya namun justru berakhir dengan kematiannya
sendiri disusul kematian-kematian lain.
Laila melepas tangannya dari pegangan besi yang
mengelillingi tempat eksekusi dan mulai berjalan menunduk keluar dari kerumunan.
Sepanjang perjalanannya ia merasa orang-orang memperhatikan dengan tatapan
jijik. Seorang istri yang berselingkuh dan
seorang suami yang membunuh. Betapa serasinya mereka. Ditatapinya terus tanah
serta bentuk-bentuk kaki di bawah tanpa benar-benar memperhatikan sementara langkahnya
tak sabar ingin sampai rumah. Laila menahan tangis.
Setibanya di rumah Laila menutup
pintu rapat. Tak membiarkan secelah angin pun dari luar memperhatikan apa yang nanti dikerjakannya. Ia
bersandar pada pintu dan terduduk di
lantai. Laila
menangis kembali. Pikiran apa-yang-harus-dikerjakan dan ke-mana-harus-pergi mengetuk pintu
rumah, mengikutinya. Laila masih tidak menemukan jawaban untuk mereka. Lalu
naluri putus asanya memberi usulan; bunuh diri.
Laila menanggapi. Ia
tidak menemukan alasan apapun untuk mendiamkannya. Justru dengan matilah pikirannya akan berhenti berbicara dan dunia
segera akan menjadi tenang.
Ia bangkit ke dapur
untuk menemui sesuatu yang mungkin membantu naluri keputusasaannya dengan
tangis yang nyaris hilang. Sebuah pisau menggantung di dinding belakang,
mengkilap. Tanpa ragu Laila menarik pisau itu keluar dari pegangan.
Mata tajam pisau
diarahkan ke dekat nadi di tangan–Laila memejam ketika merasakan ujungnya
menyentuh kulit. Laila menarik nafas dalam. Ia telah siap. Dengan satu goresan dan semua akan selesai. Ia tidak perlu khawatir
lagi harus apa dan mencari tempat dimana.
Laila bisa merasakan darah berdesakan keluar
dari tangannya bersama kenangan baik-buruk yang pun akan pergi ketika ia mati. Pisau
di tangannya lebih dahulu jatuh dibanding tubuhnya yang kemudian tergeletak di
lantai. Di ujung kematiannya Laila membuka mata.
Kegelapan terlihat samar. Beberapa saat pandangannya justru mulai
menyatukan titik-titik membentuk sebuah objek ruangan bukannya semakin memudar
dan memakamkannya pada perut Bumi. Dari tempatnya–bahkan lantai dapur telah
berubah lembut di bawahnya–Laila bisa melihat lemari pakaian yang dibelinya
bersama Abdu di awal pernikahan. Itu kamarnya. Laila telah bermimpi buruk. Saat
ia ingin memastikan semua itu, di sebelahnya berbaring di dalam selimut yang sama
dengannya seorang pria, hanya saja bukan suaminya. Abdu sedang bekerja di kota
lain hingga beberapa hari ke depan.
Laila teringat sesuatu. Jika dipikir-pikir
mimpi buruknya terlihat seperti gambaran apa yang akan terjadi jika ia dan pria
itu, Doni, tetap melakukan perselingkuhan ini; dua keluarga mati, mati dalam
arti yang terlalu jujur untuk tidak membayangkannya tanpa darah. Sebuah pikiran
busuk menggodanya, “Tidak ada yang tahu, Laila. Belum. Perselingkuhan itu diketahui
ketika Doni mendatangi rumah di sore hari. Bukan malam hari seperti ini. Kamu
bisa mencegahnya.”
Laila setuju pada
pikirannya. Ia memeluk tubuh Doni yang telanjang, meletakkan kepalanya di atas
tubuh tegapnya. Ia senang Tuhan memperingatkan.
Saat ingin mencoba
masuk ke dalam tidur lelap, Laila tersentak. Tangannya pedih dan berdarah.
Semua pecah. Realita tak bisa dibungkam sejauh apapun pikirannya mengacak. Ia
tergeletak di dapur dengan pisau di dekatnya. Meringkuk sendirian, mendekati
kematian. Laila merelakan hidupnya, bahkan sebelum ia memutuskan menarik garis
pisau di tangannya pun ia sudah begitu. Ia menutup mata. Kesedihan menetes dari
sudut matanya.
Tak
ada lagi siapapun di tempat ini ataupun bagian lain dari dunia yang akan
menerimanya. Kemana ia harus pergi?
Getaran di tubuhnya datang perlahan, menyebabkan
gerakan naik-turun seperti sesenggukan. Air mata terasa mengalir di pipinya
yang telah basah diikuti dengan riuh di udara bahwa memang iblis harus dihukum.
Laila membuka matanya di balik pagar tempat eksekusi.
Bagaimana
mungkin ia baru menyakini ini sekarang, di saat peluru telah bersarang di
kening dan merenggut suaminya?
Laila menegarkan diri, menahan sesenggukan dan
air mata yang ingin keluar selanjutnya. Ia melepas pegangan dari pagar besi,
berjalan dengan kepala menatap depan tanpa mempedulikan apa yang dilihat
orang-orang padanya. Seorang istri yang
berselingkuh dan seorang suami yang membunuh. Betapa serasinya mereka.
Laila tahu apa yang harus dilakukan dan kemana
harus pergi sekarang, (Justru dengan
matilah pikirannya akan berhenti berbicara dan dunia segera akan menjadi
tenang.) persis seperti apa yang baru saja dialami pikirannya. Hanya saja
kali ini ia tidak akan peduli ketika perih datang dari nadinya, (Dengan satu goresan dan semua akan selesai.
Ia tidak perlu khawatir lagi harus apa dan mencari tempat dimana.) Laila
akan tetap memeluk.
---
Halaman Terkait: The Mind
Tags : the mind two, aditya prawira, drama, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar