[Short Story] The Mind Two

Banyak orang memejam ketika tembakan-tembakan itu meletus. Burung-burung pergi dari dahan bersama kepakan sayap yang terdengar setelahnya. Riuh yang tadinya sempat berhenti karena menahan nafas seketika memenuhi udara kembali, hanya saja mengganti cemoohan ‘tampangnya-saja-yang-alim’-nya menjadi usaha saling menenangkan satu sama lain bahwa memang iblis harus dihukum.
Setetes kesedihan jatuh dari sebelah mata di antara keramaian, diikuti getaran badan yang semakin lama semakin hebat. Seorang wanita menunduk–menutup mata–mengutuk dirinya sendiri, memaki di dalam hati sementara tangannya mengeras pada pagar besi yang membatasi orang-orang dengan tempat eksekusi. Laila merasa bersalah. Semua itu karenanya.
      Tak ada yang bisa menghentikan wanita itu menangis. Pipinya semakin basah. Tubuhnya naik-turun akibat sesenggukan. Sekarang apa yang harus ia lakukan, pikir Laila. Tak ada lagi siapapun di tempat ini ataupun bagian lain dari dunia yang akan menerimanya. Kemana ia harus pergi?
Abdu adalah suami yang baik dan perhatian, semua yang dilakukannya adalah untuk menjaganya dan keluarga mereka. Bagaimana mungkin ia baru menyakini ini sekarang, di saat peluru telah bersarang di kening dan merenggut suaminya? Walau sangat marah mendengar berita perselingkuhannya selama ia pergi–tentu saja ia marah, setiap suami akan gila mendapati seorang istri berselingkuh–Abdu akhirnya memilih mendengarkan Laila. Setidaknya begitu, sebelum Doni mendatangi rumah mereka dengan niat memperbaiki segalanya namun justru berakhir dengan kematiannya sendiri disusul kematian-kematian lain.
Laila melepas tangannya dari pegangan besi yang mengelillingi tempat eksekusi dan mulai berjalan menunduk keluar dari kerumunan. Sepanjang perjalanannya ia merasa orang-orang memperhatikan dengan tatapan jijik. Seorang istri yang berselingkuh dan seorang suami yang membunuh. Betapa serasinya mereka. Ditatapinya terus tanah serta bentuk-bentuk kaki di bawah tanpa benar-benar memperhatikan sementara langkahnya tak sabar ingin sampai rumah. Laila menahan tangis.
Setibanya di rumah Laila menutup pintu rapat. Tak membiarkan secelah angin pun dari luar memperhatikan apa yang nanti dikerjakannya. Ia bersandar pada pintu dan terduduk di lantai. Laila menangis kembali. Pikiran apa-yang-harus-dikerjakan dan ke-mana-harus-pergi mengetuk pintu rumah, mengikutinya. Laila masih tidak menemukan jawaban untuk mereka. Lalu naluri putus asanya memberi usulan; bunuh diri.
       Laila menanggapi. Ia tidak menemukan alasan apapun untuk mendiamkannya. Justru dengan matilah pikirannya akan berhenti berbicara dan dunia segera akan menjadi tenang.
      Ia bangkit ke dapur untuk menemui sesuatu yang mungkin membantu naluri keputusasaannya dengan tangis yang nyaris hilang. Sebuah pisau menggantung di dinding belakang, mengkilap. Tanpa ragu Laila menarik pisau itu keluar dari pegangan.
      Mata tajam pisau diarahkan ke dekat nadi di tangan–Laila memejam ketika merasakan ujungnya menyentuh kulit. Laila menarik nafas dalam. Ia telah siap. Dengan satu goresan dan semua akan selesai. Ia tidak perlu khawatir lagi harus apa dan mencari tempat dimana.
Laila bisa merasakan darah berdesakan keluar dari tangannya bersama kenangan baik-buruk yang pun akan pergi ketika ia mati. Pisau di tangannya lebih dahulu jatuh dibanding tubuhnya yang kemudian tergeletak di lantai. Di ujung kematiannya Laila membuka mata.
       Kegelapan terlihat samar. Beberapa saat pandangannya justru mulai menyatukan titik-titik membentuk sebuah objek ruangan bukannya semakin memudar dan memakamkannya pada perut Bumi. Dari tempatnya–bahkan lantai dapur telah berubah lembut di bawahnya–Laila bisa melihat lemari pakaian yang dibelinya bersama Abdu di awal pernikahan. Itu kamarnya. Laila telah bermimpi buruk. Saat ia ingin memastikan semua itu, di sebelahnya berbaring di dalam selimut yang sama dengannya seorang pria, hanya saja bukan suaminya. Abdu sedang bekerja di kota lain hingga beberapa hari ke depan.
Laila teringat sesuatu. Jika dipikir-pikir mimpi buruknya terlihat seperti gambaran apa yang akan terjadi jika ia dan pria itu, Doni, tetap melakukan perselingkuhan ini; dua keluarga mati, mati dalam arti yang terlalu jujur untuk tidak membayangkannya tanpa darah. Sebuah pikiran busuk menggodanya, “Tidak ada yang tahu, Laila. Belum. Perselingkuhan itu diketahui ketika Doni mendatangi rumah di sore hari. Bukan malam hari seperti ini. Kamu bisa mencegahnya.”
        Laila setuju pada pikirannya. Ia memeluk tubuh Doni yang telanjang, meletakkan kepalanya di atas tubuh tegapnya. Ia senang Tuhan memperingatkan.
        Saat ingin mencoba masuk ke dalam tidur lelap, Laila tersentak. Tangannya pedih dan berdarah. Semua pecah. Realita tak bisa dibungkam sejauh apapun pikirannya mengacak. Ia tergeletak di dapur dengan pisau di dekatnya. Meringkuk sendirian, mendekati kematian. Laila merelakan hidupnya, bahkan sebelum ia memutuskan menarik garis pisau di tangannya pun ia sudah begitu. Ia menutup mata. Kesedihan menetes dari sudut matanya.
Tak ada lagi siapapun di tempat ini ataupun bagian lain dari dunia yang akan menerimanya. Kemana ia harus pergi?
Getaran di tubuhnya datang perlahan, menyebabkan gerakan naik-turun seperti sesenggukan. Air mata terasa mengalir di pipinya yang telah basah diikuti dengan riuh di udara bahwa memang iblis harus dihukum. Laila membuka matanya di balik pagar  tempat eksekusi.
Bagaimana mungkin ia baru menyakini ini sekarang, di saat peluru telah bersarang di kening dan merenggut suaminya?
Laila menegarkan diri, menahan sesenggukan dan air mata yang ingin keluar selanjutnya. Ia melepas pegangan dari pagar besi, berjalan dengan kepala menatap depan tanpa mempedulikan apa yang dilihat orang-orang padanya. Seorang istri yang berselingkuh dan seorang suami yang membunuh. Betapa serasinya mereka.
Laila tahu apa yang harus dilakukan dan kemana harus pergi sekarang, (Justru dengan matilah pikirannya akan berhenti berbicara dan dunia segera akan menjadi tenang.) persis seperti apa yang baru saja dialami pikirannya. Hanya saja kali ini ia tidak akan peduli ketika perih datang dari nadinya, (Dengan satu goresan dan semua akan selesai. Ia tidak perlu khawatir lagi harus apa dan mencari tempat dimana.) Laila akan tetap memeluk.

---
Halaman Terkait: The Mind 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages