[Short Story] In Cage (Part 2)

Previously On ‘In Cage (Part 1)’:
Aku dan Edi tak seharusnya masih bersama, aku tahu itu, kami tahu. Sudah banyak hal terjadi, pertengkaran-pertengkaran karena tidak lagi satu pemikiran. Edi menginginkanku melepas pekerjaan, tinggal di rumah selama ia pergi bekerja dan anak-anak mengunjungi sekolah, melakukan apa yang para istri kebanyakan lakukan; menjaga dan merawat rumah.
Dan entah kami harus bersyukur atau justru sebaliknya, saat itu juga kami mengurungkan perceraian karena memikirkan satu hal: dua orang yang sekarang saling duduk di pinggir menatapi jendela di bangku belakang.
Anak pertamaku, Bayu, ia pendiam tapi suka membangkang. Ia keras kepala seperti kedua orang tuanya yang bahkan sampai sekarang belum bisa mengatasi masalah mereka.
Nanda adalah yang kedua dan kupikir adalah yang terakhir–setidaknya jika hubungan ini terus berlanjut dan tidak ada benar-benar solusi didapat. Ia sedikit tidak akur dengan kakaknya.
Hari ini tujuan perjalanan kami adalah kebun binatang. Nanda, putriku yang berumur enam tahun, memintanya.
Sebuah aula menyambut para pengunjung. Di dinding kiri-kanannya dipenuhi foto-foto dokumentasi sementara ujung ruangan itu terbuka. Isinya–foto-foto dokumentasi itu–adalah seorang pria berseragam cokelat muda lengkap dengan sepatu bot.
Seekor kucing hutan tidur di ujung dinding kandang yang terpisah dari para burung. Bulunya lebat, gelap, dan tampak kasar dengan sepasang telinga lancip yang besar. Di sebelahnya ada sebuah kandang yang dibiarkan kosong–mungkin pemiliknya belum tahu ingin mengisi apa–sebelum akhirnya kita menemukan seekor sigung bersembunyi di rumahnya (berupa semen yang dibentuk menyerupai atap) di dalam kandang. Ia sedang bermalas-malasan.
Jangan biarkan orang-orang itu mengurungmu, mengambil keputusan yang seharusnya menjadi hakmu. Kau harus pergi dan keluar. Jika kau tidak melakukannya, kau akan sepertiku, seperti kami: terkurung di dalam kandang selamanya.
Sesaat aku hilang kendali akan berbuat apa. Kakiku melangkah seenaknya ke jalan dimana orang-orang ramai menjejakkan tubuh mereka. Ketika itulah seseorang yang begitu terburu-buru dalam berjalan menabrakku dari samping. Aku hampir saja jatuh ke jalanan bata jika tidak ada Bayu yang memegangi.
“Hati-hati kalau jalan!”
Aku menghampiri sebuah dudukan semen tinggi di dekat setapak yang kami lewati.
Tak lama, Edi dan dua anakku menyusul. Nanda menarik lenganku dan mengajak untuk kembali berjalan.
Bayu berkata, ia mengajak adiknya untuk pergi melihat-lihat. Nanda hening, lalu mulai melepaskan ajakannya dari lenganku dan mengikuti kakak yang menuntun bahunya. Perlahan mereka berlalu dalam jalan setapak, tampak akrab.
Ada hawa kosong singgah di antara aku dan Edi setelah anak-anak kami hilang di antara gerombolan orang–kami duduk berdampingan. Jejak di bata, tawa, kekaguman pengunjung, dan aneka suara penghuni areal terdengar mengisi ruang tanpa kami. Aku bisa merasakannya, benar-benar. Gelisah. Aku mengalihkan pandangan pada orang-orang yang berlalu di atas, di tempat burung-burung berwarna berkicau dari balik sangkar. Menghitung dalam hati jika ini terlalu lama (keheningan ini) aku akan pergi. Tapi dia, Edi, menyadari itu. Ada hal yang harus dibicarakan.

---

Part 2
“Aku minta maaf,” Aku terkejut. Ini pertama kalinya aku mendengar Edi mengatakan itu, tidak setelah Nanda berumur tiga dan segala pertengkaran-pertengkaran ini dimulai. Kepalaku begitu saja menatapinya, mendengarkan bibirnya bergerak. “Aku minta maaf jika selama ini terlalu memaksamu dan begitu keras kepala.”
Dia menatapku, dan sebelum mata kami benar-benar saling terlihat aku mengalihkan pandangan pada jalan setapak yang sedang lengang di hadapan. Edi tak lagi terdengar bicara, ia diam menunggu sesuatu.
Lantas aku memejamkan mata, memberanikan diri mengatakan hal yang sebenarnya sudah ada di kepala ini sejak lama. Berputar-putar hingga menyebabkan rasa tak enak setiap kali kami berjumpa. Aku tahu semuanya bukanlah murni kesalahannya. Kami berdua (sekali lagi, kami berdua) terlalu keras kepala untuk diri masing-masing, terlalu mengumbar keegoisan. Tapi aku malu untuk mengatakannya lebih dulu, bagaimanapun aku wanita yang menginginkan seorang pria mengalah–terlebih ia adalah suamiku. Dan sekarang, aku pikir tidak adil jika hanya dia yang menyelesaikan semua ini.
“Seharusnya aku,” kataku menjawab. “Aku tidak seharusnya egois dan mendengarkanmu sejak dulu. Jika dipikir-pikir tidak ada buruknya berhenti bekerja untuk alasan yang jelas baik–menjaga anak-anak.”
“Aku tidak ingin kau melakukan itu karena terpaksa. Kau boleh bekerja jika kau memang masih ingin. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Biarkan orang mengatakan apa–asal kita memang tidak buruk. Dan untuk Nanda dan juga Bayu, mungkin aku akan memperkerjakan seseorang atau dua untuk menjaga mereka.”
Aku ingin memeluknya, mengatakan banyak terima kasih karena dia begitu memahamiku soal ini. Tapi kuurungkan. Kenyataannya, di kehidupan ini bukanlah selalu tentang kita. Ada hal-hal yang perlu direlakan agar hal yang lebih baik dapat tumbuh dan menyebar, yang perlahan akan menyembuhkan rasa sakit dalam diri saat kita berat memutuskan.
“Tidak, Ed. Mungkin aku yang akan mendengarkanmu kali ini. Keras kepalamu benar. Kau bekerja, aku menjaga rumah dan juga anak-anak. Tampak seperti keluarga yang selalu diimpikan orang-orang.”
Walau aku masih menatap pada setapak, aku bisa merasakan Edi memandangiku sekarang–setelah sekali berpaling. Kami sama-sama menyadari bahwa setelah ini ada awal mula untuk segalanya. Tidak akan ada lagi perdebatan besar–jika pun ada aku akan mengingat bagaimana momen ini mengatasi masalah sekarang. Satu keluarga baru akan lahir setibanya keluar dari liburan Minggu ini. Aku sudah tidak sabar melihatnya.
“Aku akan melihat anak-anak,” kataku berdiri. Aku merasa aku tidak bisa lagi berlama-lama duduk di sana menahan pipiku yang mungkin saja memerah karena ucapan terakhirku sendiri–dan Edi sedang menatapinya. Kakiku mengetuk setapak, mulai melangkah. Dalam pencarian kedua anakku, aku tersenyum pada dunia.
Kebun binatang itu semakin ramai. Akan cukup sulit bagi siapapun untuk menemukan seseorang dalam waktu singkat di antara banyak yang harus diperhatikan; orang-orang dan para binatang. Aku berjalan pada areal menyerupai gang dimana ular-ular ditempatkan dalam kandang kaca di sebelah kiri dan para unggas di bagian kanan. Dua anakku tidak ada disana. Hanya ada ular dan unggas dari berbagai jenis sedang diam di tempat masing-masing dan anak-anak kecil–dibimbing orang tua mereka–serta pengunjung lain setengah berjongkok memperhatikan ke dalam.
Jalan itu mengarah pada sebuah kolam dimana sebuah pohon besar ditanam di salah satu pinggirnya. Di pohon itu, di sebagian besar dahannya yang ditutupi kandang oleh sang pemilik, seekor boa besar sedang melilit. Seorang pria berkaos merah dan bertopi di hadapanku menunjuk itu (dengan jarinya) untuk seorang kekasih yang tak bisa menemukan tubuh ular yang menyerupai batang. Perahu-perahu bebek mengapung di air kolam tanpa seorang pun disana. Bergoyang-goyang seiring dengan permukaan air yang tertiup hembusan angin.
Nanda sedang mengamati sekumpulan komodo yang berjalan lambat di kandang ujung jalan yang nantinya menghubungkan jalan ini dengan bagian ‘lebar’ kedua kebun binatang–tubuhnya menyampingiku. Sendirian. Aku tidak bisa menemukan Bayu di dekatnya, anak itu pergi. Saat kuhampiri dan kutanya tentang kakaknya, Nanda menunjuk pada deretan ruang kecil berpintu biru di seberang kolam: kamar mandi. Pintu itu begitu saja masuk ke dalam ketika Nanda mengarahkannya padaku, seakan di ujung telunjuk putriku ada semacam sihir. Bayu keluar dari sana. Ia tidak menatap kami, ia berhenti di samping depan ruangan dengan sesuatu yang baru saja didapatnya dari saku. Telepon genggam. Aku bisa melihat benda itu kemudian jatuh–mungkin tangannya masih terlalu basah atau ia terlalu buru-buru melakukannya, membalas pesan. Bayu menunduk untuk mengambilnya, dan hal itu terjadi.
Di seberang sana, orang-orang berlarian ke arahnya. Menutupinya dengan langkah-langkah tergesa hingga sesaat aku tak bisa melihatnya apakah sudah berdiri. Bersama-sama seakan menjauhi satu sumber yang sama, orang-orang itu ketakutan dengan teriakan histeris. Aku penasaran ada apa, lantas memperhatikan arah datang orang-orang ini. Di antara banyak manusia, aku bisa melihatnya yang mencolok di seberang kolam. Kebuasan. Hewan-hewan keluar dari kandangnya.
Yang pertama sekali kukhawatirkan saat kekacauan terjadi adalah Bayu. Ia yang berada pada satu garis bersama kematian. Aku dengan cepat memperhatikan di balik-balik kerumunan. Dimana dia? Selagi orang-orang berlarian dan ketegangan memuncak, aku berhasil melihatnya berdiri dari tanah tanpa tahu apa yang terjadi. Aku berteriak padanya, “Bayu, lari!”
Dia tidak mendengarku–tentu saja. Tempat itu seketika terlalu riuh. Hanya ada orang-orang berlari dan teriakan di telinga. Bayu kebingungan di tempatnya, lalu mencari apa yang membuat orang-orang ini melakukan itu sama seperti aku sebelumnya. Sekarang aku yakin ia bisa melihat harimau itu datang. Loreng dengan badan tegap. Bagaimana ia lapar dan akan menerkam sementara teman-temannya mengikuti di belakang atau malah sudah mencabik seseorang. Kulihat anak itu sempat terpaku dengan apa yang ditemukannya, sebelum akhirnya ia memandang ke seberang kolam, ke arah kami.
“Lari!” kataku.
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Ia memandangi harimau-harimau itu lagi lalu memandangi kami. Bayu tidak berlari mengikuti arah orang-orang pergi, ia menerobos larian mereka hingga berada di tepi kolam yang dibatasi pagar sepinggang. Ia melompat.
Aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Lalu menemukan bahwa mungkin ia pikir hewan-hewan itu takkan mencarinya ke dalam air–sedangkan banyak mangsa di luar sana–hingga memutuskan untuk melakukannya. Aku setuju, selagi berlari tidak menjamin kita akan sampai ke pintu keluar dengan selamat, kita bisa bersembunyi di balik-balik perahu bebek atau menyelam jika diperlukan.
Bayu keluar ke permukaan dan segera menghadap pada adik dan juga ibunya. Dengan tergesa, ia meneriakkan sesuatu. Aku tidak jelas mendengarnya, tapi itu terlihat seperti kata yang sama yang sebelumnya aku ucapkan untuknya: lari. Hewan-hewan itu tidak hanya datang dari satu arah. Dari sisi lain (dari tempat aku datang, di jalan menyerupai gang) seekor singa muncul dengan tegas di hadapan kami. Singa itu mendekat pelan. Punggungnya bergerak-gerak dengan mata mengawasi yang mengerihkan. Aku menggenggam tangan Nanda, menariknya hingga tubuh itu menggantung di atas tubuhku–akan lebih cepat jika aku menggendongnya. Kami berlari, segera meninggalkan bahaya di belakang dan juga Bayu. Kami mengikuti orang-orang ke atas dimana pintu masuk dan pintu keluar berada di ujung aula. Melintasi anak-anak tangga dari semen yang sesaat menjadi sesak. Beberapa orang terjatuh karena terdesak, tersandung. Aku melihat sebagian mereka (yang terjatuh) tak ada yang memperdulikan. Aku ingin menolong, menarik mereka–setidaknya satu saja. Tapi demi Tuhan, ada seorang anak kecil yang harus kuselamatkan hidupnya saat ini. Aku tidak ingin melihatnya tubuhnya dikoyak. Maafkan aku.
Aula yang saat kedatangan cukup lengang untuk melihat keseluruhan foto di dinding kanan-kiri, kini penuh dengan gemuruh ketakutan. Manusia saling berdesakan untuk bisa mencapai pintu (tak peduli pintu keluar ataupun masuk) yang jalan di luarnya seakan menuju surga tanpa sadar itu akan membutuhkan waktu cukup lama sementara hewan-hewan mulai bergerak ke atas mencari mangsa baru ataupun kebebasan. Atau mungkin, orang-orang ini, tahu kenyataannya–bahwa itu lama. Hanya saja berpikir bahwa tidak ada jalan keluar lain dari sana dan segera menenggelamkan diri pada keberuntungan. Aku memisahkan diri dari kerumunan, menuju kandang-kandang dimana burung berwarna-warni gelisah, melompat-lompat menabraki rumah mereka sendiri.
Jalanan setapak itu sepi, tidak ada siapa-siapa selain aku, Nanda, dan seorang pria yang berlari melewati kami dari arah berlawanan. Aku was-was, sedikit paranoid dengan pepohonan besar yang mungkin menyembunyikan sesuatu bersamanya. Pelikan-pelikan terbang, membunyikan suara kepakan di udara. Bertengger di dahan-dahan tinggi, berserak di setapak. Seekor berdiri di hadapan kami.
Seekor harimau putih terlihat berjalan lambat di ujung jalan, pada sudut jalan dimana terdapat orang utan dan juga lapangan bertanah cokelat kemerahan saat pelikan di setapak mendadak pergi. Ia berhenti sejenak, memandangi kami. Jantungku berdetak cepat. Berpikir bahwa kali ini tidak akan ada lagi jalan keluar ataupun kemungkinan orang lainlah yang dikerjarnya bukan kami. Aku mundur perlahan ke belakang sementara tanganku mengeras memegangi Nanda.
Kemudian–tanpa sengaja–aku bisa melihatnya. Kandang kosong di sebelah kucing hutan besar yang sebelumnya sedang tertidur pulas. Itulah yang memberiku harapan sekarang.
Aku menatapi harimau itu–yang masih diam saja–lalu pada kandang kosongnya. Lalu–dengan keyakinan–segera kubawa Nanda berlari mendekati kandang, membuka pintu yang ternyata sedikit macet (butuh beberapa detik untuk membukanya) dan kudorong kami masuk ke dalam. Pintu besi kutarik di belakangku. Begitu kencang, hingga suara dengungan terdengar menggema. Harimau itu menggedor-gedor pintu dengan cakarnya yang besar. Mengaum dengan cukup keras hingga membuat suasana begitu mengerihkan serta aku dan Nanda yang saling berpelukan. Kucing hutan di sebelah menggeram.
Harimau putih itu tergeletak di jalan setelah sebelumnya mengerang karena sesuatu. Sebuah peluru menyerupai anak panah kecil terlihat menusuk perut sampingnya. Seketika seseorang datang dari arah aula, menemukan kami. Ia seorang pemuda, mengenakan kaos dan juga celana panjang dengan sebatang lidi menyisip di bibirnya. Kakinya bertelanjang. Pria itu mengajakku dan Nanda keluar dari sana. Berkata bahwa kami tidak perlu khawatir karena semua akan baik-baik saja sekarang. Aku mempercayainya.
Seluruh hewan dalam sekejab di bawah kendali pihak kebun binatang. Mereka berhasil dibius sementara kami, para pengunjung yang masih tinggal, digiring keluar kandang besar yang sebelumnya menjadi mimpi buruk. Di aula, saat aku dan Nanda melintas ingin keluar, tanpa sengaja aku mendengar dua orang petugas bercakap. Tentang seorang pria yang mereka temukan di bangku taman. Tercabik-cabik. Aku membayangkan seseorang, yang sebelumnya duduk di sana bersamaku membicarakan masa depan keluarganya. Saat itu aku tidak berhenti untuk lebih jelas mendengarkan bagaimananya, hanya berlalu, pura-pura tidak pernah tahu.
Di luar, perkotaan menawarkan kelegaan dan kebebasan. Tidak seperti selama ini yang kita pikir hanya panas, sempit, dan lainnya yang buruk. Aku merasa aman di luar sana dengan beberapa orang yang sebelumnya ikut terkurung. Seakan aku baru saja menemukan udara bebas setelah sebelumnya tenggelam di kedalaman yang gelap. Bayu melihatku dan Nanda keluar dari pintu. Ia (mengenakan handuk) menghampiri kami dan mulai memeluk. Aku menciumi kepala mereka bergantian, anak-anakku. Bersyukur kami bertiga masih selamat. Mataku berkaca.
Aku teringat Edi, sedih sekaligus takut pada percakapan yang sempat kudengar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sikapku nanti ketika berita itu disebarkan, kematiannya. Apa yang harus kulakukan jika anak-anak ini menangis, mengerang, sementara aku sendiri tidak kuat menerima kenyataan. Tiba-tiba aku membayangkan senyum manisnya yang akan sering terlihat jika saja ia ada lebih lama, kenangan sebelum pertengkaran atau bahkan pertengkaran itu sendiri. Edi. Momen di taman hari itu begitu saja terulang, terngiang bagaimana tadinya kami saling mengalah agar keluarga ini tampak sempurna tak hanya dari luar. Aku menangis, memejam. Badanku bergetar membayangkan segalanya. Kejadian-kejadian yang sebentar lagi akan menyapa. Kabar duka.
“Kalian tidak apa-apa?”
Aku tercekat. Suara itu bukanlah suara asing yang baru kali ini kudengar. Itu bukan seorang petugas yang akan menyampaikan beritanya kepada keluarga korban (entah bagaimana cara mereka menemukannya), melainkan Edi. Aku mengangkat wajahku yang sebelumnya terbenam di atas kepala anak-anak, lalu berpaling pada suaranya yang ternyata benar. Aku memeluknya.

Sore hari itu juga, tragedi di kebun binatang tersiar di televisi. Sang pemilik, yang sebelumnya hanya terlihat dalam foto-foto di aula, ada di sana. Ia (dengan sangat menyesal) meminta maaf kepada seluruh pengunjung yang berada di lokasi saat kejadian, pada keluarga korban yang tak terselamatkan. Dalam kemunculannya, pria itu juga berjanji akan menanggung seluruh biaya pengunjung yang mengalami luka akibat kebuasan binatang-binatangnya, mengatakan akan menjaga lebih baik setiap kandang-kandang dan menindaklanjuti apa yang sebenarnya terjadi.
Edi menghampiriku ke atas sofa saat siaran tragedi kebun binatang itu belum selesai–seorang wanita kini mengambil alih acara. Tersenyum sambil memegangi sebelah tanganku tanpa menggumamkan sebarang kata pun. Aku balik tersenyum ke arahnya, lalu kami berciuman.
Kini kurasakan tanganya semakin erat memegangi. Seakan takkan membiarkan apapun terjadi hingga pertengkaran-pertengkaran itu tak ada lagi. Bayu dan Nanda datang berdua ke ruang TV. Duduk bersama kami membentuk sebuah keluarga sempurna seperti sebelumnya. Hanya saja, kali ini mereka berdua–Bayu dan Nanda–tampak lebih akrab dan aku tidak merasakan apapun perasaan yang tak enak, aku tidak merasa ini hanya sikap ‘seolah-baik-baik-saja’ di depan anak-anak. Untuk pemikiranku sebelumnya, tentang apakah aku dan Edi harusnya bersyukur atau justru sebaliknya dalam mengurungkan perceraian kami, aku rasa aku sudah tahu jawabannya. Hari itu, aku tersenyum karena aku memang ingin melakukannya.

---
Halaman Terkait: In Cage (Part 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages