Previously
On ‘In Cage (Part 1)’:
Aku dan Edi tak seharusnya
masih bersama, aku tahu itu, kami tahu. Sudah banyak hal terjadi,
pertengkaran-pertengkaran karena tidak lagi satu pemikiran. Edi menginginkanku
melepas pekerjaan, tinggal di rumah selama ia pergi bekerja dan anak-anak
mengunjungi sekolah, melakukan apa yang para istri kebanyakan lakukan; menjaga dan
merawat rumah.
Dan entah kami harus bersyukur
atau justru sebaliknya, saat itu juga kami mengurungkan perceraian karena memikirkan
satu hal: dua orang yang sekarang saling duduk di pinggir menatapi jendela di
bangku belakang.
Anak pertamaku, Bayu,
ia pendiam tapi suka membangkang. Ia keras kepala seperti kedua orang tuanya
yang bahkan sampai sekarang belum bisa mengatasi masalah mereka.
Nanda adalah yang kedua
dan kupikir adalah yang terakhir–setidaknya jika hubungan ini terus berlanjut
dan tidak ada benar-benar solusi didapat. Ia sedikit tidak akur dengan kakaknya.
Hari ini tujuan perjalanan
kami adalah kebun binatang. Nanda, putriku yang berumur enam tahun, memintanya.
Sebuah aula menyambut
para pengunjung. Di dinding kiri-kanannya dipenuhi foto-foto dokumentasi
sementara ujung ruangan itu terbuka. Isinya–foto-foto dokumentasi itu–adalah
seorang pria berseragam cokelat muda lengkap dengan sepatu bot.
Seekor kucing hutan tidur
di ujung dinding kandang yang terpisah dari para burung. Bulunya lebat, gelap,
dan tampak kasar dengan sepasang telinga lancip yang besar. Di sebelahnya ada
sebuah kandang yang dibiarkan kosong–mungkin pemiliknya belum tahu ingin
mengisi apa–sebelum akhirnya kita menemukan seekor sigung bersembunyi di rumahnya
(berupa semen yang dibentuk menyerupai atap) di dalam kandang. Ia sedang
bermalas-malasan.
Jangan
biarkan orang-orang itu mengurungmu, mengambil keputusan yang seharusnya
menjadi hakmu. Kau harus pergi dan keluar. Jika kau tidak melakukannya, kau
akan sepertiku, seperti kami: terkurung di dalam kandang selamanya.
Sesaat aku hilang
kendali akan berbuat apa. Kakiku melangkah seenaknya ke jalan dimana
orang-orang ramai menjejakkan tubuh mereka. Ketika itulah seseorang yang begitu
terburu-buru dalam berjalan menabrakku dari samping. Aku hampir saja jatuh ke
jalanan bata jika tidak ada Bayu yang memegangi.
“Hati-hati kalau
jalan!”
Aku menghampiri sebuah
dudukan semen tinggi di dekat setapak yang kami lewati.
Tak lama, Edi dan dua
anakku menyusul. Nanda menarik lenganku dan mengajak untuk kembali berjalan.
Bayu berkata, ia
mengajak adiknya untuk pergi melihat-lihat. Nanda hening, lalu mulai melepaskan
ajakannya dari lenganku dan mengikuti kakak yang menuntun bahunya. Perlahan
mereka berlalu dalam jalan setapak, tampak akrab.
Ada hawa kosong singgah
di antara aku dan Edi setelah anak-anak kami hilang di antara gerombolan orang–kami
duduk berdampingan. Jejak di bata, tawa, kekaguman pengunjung, dan aneka suara
penghuni areal terdengar mengisi ruang tanpa kami. Aku bisa merasakannya,
benar-benar. Gelisah. Aku mengalihkan pandangan pada orang-orang yang berlalu
di atas, di tempat burung-burung berwarna berkicau dari balik sangkar.
Menghitung dalam hati jika ini terlalu lama (keheningan ini) aku akan pergi.
Tapi dia, Edi, menyadari itu. Ada hal yang harus dibicarakan.
---
Part
2
“Aku minta maaf,” Aku
terkejut. Ini pertama kalinya aku mendengar Edi mengatakan itu, tidak setelah Nanda
berumur tiga dan segala pertengkaran-pertengkaran ini dimulai. Kepalaku begitu
saja menatapinya, mendengarkan bibirnya bergerak. “Aku minta maaf jika selama
ini terlalu memaksamu dan begitu keras kepala.”
Dia menatapku, dan
sebelum mata kami benar-benar saling terlihat aku mengalihkan pandangan pada
jalan setapak yang sedang lengang di hadapan. Edi tak lagi terdengar bicara, ia
diam menunggu sesuatu.
Lantas aku memejamkan
mata, memberanikan diri mengatakan hal yang sebenarnya sudah ada di kepala ini sejak
lama. Berputar-putar hingga menyebabkan rasa tak enak setiap kali kami
berjumpa. Aku tahu semuanya bukanlah murni kesalahannya. Kami berdua (sekali
lagi, kami berdua) terlalu keras kepala untuk diri masing-masing, terlalu
mengumbar keegoisan. Tapi aku malu untuk mengatakannya lebih dulu, bagaimanapun
aku wanita yang menginginkan seorang pria mengalah–terlebih ia adalah suamiku.
Dan sekarang, aku pikir tidak adil jika hanya dia yang menyelesaikan semua ini.
“Seharusnya aku,”
kataku menjawab. “Aku tidak seharusnya egois dan mendengarkanmu sejak dulu.
Jika dipikir-pikir tidak ada buruknya berhenti bekerja untuk alasan yang jelas
baik–menjaga anak-anak.”
“Aku tidak ingin kau
melakukan itu karena terpaksa. Kau boleh bekerja jika kau memang masih ingin.
Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Biarkan orang mengatakan apa–asal kita
memang tidak buruk. Dan untuk Nanda dan juga Bayu, mungkin aku akan memperkerjakan
seseorang atau dua untuk menjaga mereka.”
Aku ingin memeluknya,
mengatakan banyak terima kasih karena dia begitu memahamiku soal ini. Tapi
kuurungkan. Kenyataannya, di kehidupan ini bukanlah selalu tentang kita. Ada
hal-hal yang perlu direlakan agar hal yang lebih baik dapat tumbuh dan
menyebar, yang perlahan akan menyembuhkan rasa sakit dalam diri saat kita berat
memutuskan.
“Tidak, Ed. Mungkin aku
yang akan mendengarkanmu kali ini. Keras kepalamu benar. Kau bekerja, aku
menjaga rumah dan juga anak-anak. Tampak seperti keluarga yang selalu diimpikan
orang-orang.”
Walau aku masih menatap
pada setapak, aku bisa merasakan Edi memandangiku sekarang–setelah sekali
berpaling. Kami sama-sama menyadari bahwa setelah ini ada awal mula untuk segalanya.
Tidak akan ada lagi perdebatan besar–jika pun ada aku akan mengingat bagaimana
momen ini mengatasi masalah sekarang. Satu keluarga baru akan lahir setibanya keluar
dari liburan Minggu ini. Aku sudah tidak sabar melihatnya.
“Aku akan melihat
anak-anak,” kataku berdiri. Aku merasa aku tidak bisa lagi berlama-lama duduk
di sana menahan pipiku yang mungkin saja memerah karena ucapan terakhirku
sendiri–dan Edi sedang menatapinya. Kakiku mengetuk setapak, mulai melangkah. Dalam
pencarian kedua anakku, aku tersenyum pada dunia.
Kebun binatang itu semakin
ramai. Akan cukup sulit bagi siapapun untuk menemukan seseorang dalam waktu singkat
di antara banyak yang harus diperhatikan; orang-orang dan para binatang. Aku berjalan
pada areal menyerupai gang dimana ular-ular ditempatkan dalam kandang kaca di
sebelah kiri dan para unggas di bagian kanan. Dua anakku tidak ada disana.
Hanya ada ular dan unggas dari berbagai jenis sedang diam di tempat
masing-masing dan anak-anak kecil–dibimbing orang tua mereka–serta pengunjung
lain setengah berjongkok memperhatikan ke dalam.
Jalan itu mengarah pada
sebuah kolam dimana sebuah pohon besar ditanam di salah satu pinggirnya. Di
pohon itu, di sebagian besar dahannya yang ditutupi kandang oleh sang pemilik, seekor
boa besar sedang melilit. Seorang pria berkaos merah dan bertopi di hadapanku
menunjuk itu (dengan jarinya) untuk seorang kekasih yang tak bisa menemukan
tubuh ular yang menyerupai batang. Perahu-perahu bebek mengapung di air kolam
tanpa seorang pun disana. Bergoyang-goyang seiring dengan permukaan air yang
tertiup hembusan angin.
Nanda sedang mengamati
sekumpulan komodo yang berjalan lambat di kandang ujung jalan yang nantinya menghubungkan
jalan ini dengan bagian ‘lebar’ kedua kebun binatang–tubuhnya menyampingiku. Sendirian.
Aku tidak bisa menemukan Bayu di dekatnya, anak itu pergi. Saat kuhampiri dan
kutanya tentang kakaknya, Nanda menunjuk pada deretan ruang kecil berpintu biru
di seberang kolam: kamar mandi. Pintu itu begitu saja masuk ke dalam ketika
Nanda mengarahkannya padaku, seakan di ujung telunjuk putriku ada semacam
sihir. Bayu keluar dari sana. Ia tidak menatap kami, ia berhenti di samping depan
ruangan dengan sesuatu yang baru saja didapatnya dari saku. Telepon genggam.
Aku bisa melihat benda itu kemudian jatuh–mungkin tangannya masih terlalu basah
atau ia terlalu buru-buru melakukannya, membalas pesan. Bayu menunduk untuk
mengambilnya, dan hal itu terjadi.
Di seberang sana, orang-orang
berlarian ke arahnya. Menutupinya dengan langkah-langkah tergesa hingga sesaat
aku tak bisa melihatnya apakah sudah berdiri. Bersama-sama seakan menjauhi satu
sumber yang sama, orang-orang itu ketakutan dengan teriakan histeris. Aku
penasaran ada apa, lantas memperhatikan arah datang orang-orang ini. Di antara
banyak manusia, aku bisa melihatnya yang mencolok di seberang kolam. Kebuasan.
Hewan-hewan keluar dari kandangnya.
Yang pertama sekali
kukhawatirkan saat kekacauan terjadi adalah Bayu. Ia yang berada pada satu
garis bersama kematian. Aku dengan cepat memperhatikan di balik-balik
kerumunan. Dimana dia? Selagi
orang-orang berlarian dan ketegangan memuncak, aku berhasil melihatnya berdiri
dari tanah tanpa tahu apa yang terjadi. Aku berteriak padanya, “Bayu, lari!”
Dia tidak mendengarku–tentu
saja. Tempat itu seketika terlalu riuh. Hanya ada orang-orang berlari dan
teriakan di telinga. Bayu kebingungan di tempatnya, lalu mencari apa yang
membuat orang-orang ini melakukan itu sama seperti aku sebelumnya. Sekarang aku
yakin ia bisa melihat harimau itu datang. Loreng dengan badan tegap. Bagaimana
ia lapar dan akan menerkam sementara teman-temannya mengikuti di belakang atau malah
sudah mencabik seseorang. Kulihat anak itu sempat terpaku dengan apa yang
ditemukannya, sebelum akhirnya ia memandang ke seberang kolam, ke arah kami.
“Lari!” kataku.
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
Ia memandangi harimau-harimau itu lagi lalu memandangi kami. Bayu tidak berlari
mengikuti arah orang-orang pergi, ia menerobos larian mereka hingga berada di
tepi kolam yang dibatasi pagar sepinggang. Ia melompat.
Aku bertanya-tanya apa
yang ia lakukan. Lalu menemukan bahwa mungkin ia pikir hewan-hewan itu takkan
mencarinya ke dalam air–sedangkan banyak mangsa di luar sana–hingga memutuskan
untuk melakukannya. Aku setuju, selagi berlari tidak menjamin kita akan sampai
ke pintu keluar dengan selamat, kita bisa bersembunyi di balik-balik perahu
bebek atau menyelam jika diperlukan.
Bayu keluar ke permukaan
dan segera menghadap pada adik dan juga ibunya. Dengan tergesa, ia meneriakkan
sesuatu. Aku tidak jelas mendengarnya, tapi itu terlihat seperti kata yang sama
yang sebelumnya aku ucapkan untuknya: lari. Hewan-hewan itu tidak hanya datang
dari satu arah. Dari sisi lain (dari tempat aku datang, di jalan menyerupai
gang) seekor singa muncul dengan tegas di hadapan kami. Singa itu mendekat
pelan. Punggungnya bergerak-gerak dengan mata mengawasi yang mengerihkan. Aku menggenggam
tangan Nanda, menariknya hingga tubuh itu menggantung di atas tubuhku–akan lebih
cepat jika aku menggendongnya. Kami berlari, segera meninggalkan bahaya di
belakang dan juga Bayu. Kami mengikuti orang-orang ke atas dimana pintu masuk
dan pintu keluar berada di ujung aula. Melintasi anak-anak tangga dari semen yang
sesaat menjadi sesak. Beberapa orang terjatuh karena terdesak, tersandung. Aku
melihat sebagian mereka (yang terjatuh) tak ada yang memperdulikan. Aku ingin
menolong, menarik mereka–setidaknya satu saja. Tapi demi Tuhan, ada seorang anak
kecil yang harus kuselamatkan hidupnya saat ini. Aku tidak ingin melihatnya
tubuhnya dikoyak. Maafkan aku.
Aula yang saat
kedatangan cukup lengang untuk melihat keseluruhan foto di dinding kanan-kiri,
kini penuh dengan gemuruh ketakutan. Manusia saling berdesakan untuk bisa
mencapai pintu (tak peduli pintu keluar ataupun masuk) yang jalan di luarnya
seakan menuju surga tanpa sadar itu akan membutuhkan waktu cukup lama sementara
hewan-hewan mulai bergerak ke atas mencari mangsa baru ataupun kebebasan. Atau
mungkin, orang-orang ini, tahu kenyataannya–bahwa itu lama. Hanya saja berpikir
bahwa tidak ada jalan keluar lain dari sana dan segera menenggelamkan diri pada
keberuntungan. Aku memisahkan diri dari kerumunan, menuju kandang-kandang
dimana burung berwarna-warni gelisah, melompat-lompat menabraki rumah mereka
sendiri.
Jalanan setapak itu
sepi, tidak ada siapa-siapa selain aku, Nanda, dan seorang pria yang berlari
melewati kami dari arah berlawanan. Aku was-was, sedikit paranoid dengan
pepohonan besar yang mungkin menyembunyikan sesuatu bersamanya. Pelikan-pelikan
terbang, membunyikan suara kepakan di udara. Bertengger di dahan-dahan tinggi,
berserak di setapak. Seekor berdiri di hadapan kami.
Seekor harimau putih
terlihat berjalan lambat di ujung jalan, pada sudut jalan dimana terdapat orang
utan dan juga lapangan bertanah cokelat kemerahan saat pelikan di setapak mendadak
pergi. Ia berhenti sejenak, memandangi kami. Jantungku berdetak cepat. Berpikir
bahwa kali ini tidak akan ada lagi jalan keluar ataupun kemungkinan orang
lainlah yang dikerjarnya bukan kami. Aku mundur perlahan ke belakang sementara
tanganku mengeras memegangi Nanda.
Kemudian–tanpa sengaja–aku
bisa melihatnya. Kandang kosong di sebelah kucing hutan besar yang sebelumnya
sedang tertidur pulas. Itulah yang memberiku harapan sekarang.
Aku menatapi harimau
itu–yang masih diam saja–lalu pada kandang kosongnya. Lalu–dengan keyakinan–segera
kubawa Nanda berlari mendekati kandang, membuka pintu yang ternyata sedikit
macet (butuh beberapa detik untuk membukanya) dan kudorong kami masuk ke dalam.
Pintu besi kutarik di belakangku. Begitu kencang, hingga suara dengungan
terdengar menggema. Harimau itu menggedor-gedor pintu dengan cakarnya yang
besar. Mengaum dengan cukup keras hingga membuat suasana begitu mengerihkan
serta aku dan Nanda yang saling berpelukan. Kucing hutan di sebelah menggeram.
Harimau putih itu
tergeletak di jalan setelah sebelumnya mengerang karena sesuatu. Sebuah peluru
menyerupai anak panah kecil terlihat menusuk perut sampingnya. Seketika
seseorang datang dari arah aula, menemukan kami. Ia seorang pemuda, mengenakan
kaos dan juga celana panjang dengan sebatang lidi menyisip di bibirnya. Kakinya
bertelanjang. Pria itu mengajakku dan Nanda keluar dari sana. Berkata bahwa kami
tidak perlu khawatir karena semua akan baik-baik saja sekarang. Aku
mempercayainya.
Seluruh hewan dalam
sekejab di bawah kendali pihak kebun binatang. Mereka berhasil dibius sementara
kami, para pengunjung yang masih tinggal, digiring keluar kandang besar yang
sebelumnya menjadi mimpi buruk. Di aula, saat aku dan Nanda melintas ingin keluar,
tanpa sengaja aku mendengar dua orang petugas bercakap. Tentang seorang pria
yang mereka temukan di bangku taman. Tercabik-cabik. Aku membayangkan
seseorang, yang sebelumnya duduk di sana bersamaku membicarakan masa depan
keluarganya. Saat itu aku tidak berhenti untuk lebih jelas mendengarkan
bagaimananya, hanya berlalu, pura-pura tidak pernah tahu.
Di luar, perkotaan menawarkan
kelegaan dan kebebasan. Tidak seperti selama ini yang kita pikir hanya panas,
sempit, dan lainnya yang buruk. Aku merasa aman di luar sana dengan beberapa
orang yang sebelumnya ikut terkurung. Seakan aku baru saja menemukan udara
bebas setelah sebelumnya tenggelam di kedalaman yang gelap. Bayu melihatku dan
Nanda keluar dari pintu. Ia (mengenakan handuk) menghampiri kami dan mulai
memeluk. Aku menciumi kepala mereka bergantian, anak-anakku. Bersyukur kami
bertiga masih selamat. Mataku berkaca.
Aku teringat Edi, sedih
sekaligus takut pada percakapan yang sempat kudengar. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana sikapku nanti ketika berita itu disebarkan, kematiannya.
Apa yang harus kulakukan jika anak-anak ini menangis, mengerang, sementara aku
sendiri tidak kuat menerima kenyataan. Tiba-tiba aku membayangkan senyum
manisnya yang akan sering terlihat jika saja ia ada lebih lama, kenangan
sebelum pertengkaran atau bahkan pertengkaran itu sendiri. Edi. Momen di taman
hari itu begitu saja terulang, terngiang bagaimana tadinya kami saling mengalah
agar keluarga ini tampak sempurna tak hanya dari luar. Aku menangis, memejam.
Badanku bergetar membayangkan segalanya. Kejadian-kejadian yang sebentar lagi
akan menyapa. Kabar duka.
“Kalian tidak apa-apa?”
Aku tercekat. Suara itu
bukanlah suara asing yang baru kali ini kudengar. Itu bukan seorang petugas
yang akan menyampaikan beritanya kepada keluarga korban (entah bagaimana cara
mereka menemukannya), melainkan Edi. Aku mengangkat wajahku yang sebelumnya terbenam
di atas kepala anak-anak, lalu berpaling pada suaranya yang ternyata benar. Aku
memeluknya.
Sore hari itu juga,
tragedi di kebun binatang tersiar di televisi. Sang pemilik, yang sebelumnya
hanya terlihat dalam foto-foto di aula, ada di sana. Ia (dengan sangat
menyesal) meminta maaf kepada seluruh pengunjung yang berada di lokasi saat
kejadian, pada keluarga korban yang tak terselamatkan. Dalam kemunculannya,
pria itu juga berjanji akan menanggung seluruh biaya pengunjung yang mengalami
luka akibat kebuasan binatang-binatangnya, mengatakan akan menjaga lebih baik
setiap kandang-kandang dan menindaklanjuti apa yang sebenarnya terjadi.
Edi menghampiriku ke
atas sofa saat siaran tragedi kebun binatang itu belum selesai–seorang wanita
kini mengambil alih acara. Tersenyum sambil memegangi sebelah tanganku tanpa
menggumamkan sebarang kata pun. Aku balik tersenyum ke arahnya, lalu kami berciuman.
Kini kurasakan tanganya
semakin erat memegangi. Seakan takkan membiarkan apapun terjadi hingga
pertengkaran-pertengkaran itu tak ada lagi. Bayu dan Nanda datang berdua ke
ruang TV. Duduk bersama kami membentuk sebuah keluarga sempurna seperti
sebelumnya. Hanya saja, kali ini mereka berdua–Bayu dan Nanda–tampak lebih
akrab dan aku tidak merasakan apapun perasaan yang tak enak, aku tidak merasa
ini hanya sikap ‘seolah-baik-baik-saja’ di depan anak-anak. Untuk pemikiranku
sebelumnya, tentang apakah aku dan Edi harusnya bersyukur atau justru
sebaliknya dalam mengurungkan perceraian kami, aku rasa aku sudah tahu
jawabannya. Hari itu, aku tersenyum karena aku memang ingin melakukannya.
---
Halaman Terkait: In Cage (Part 1)
Tags : in cage, aditya prawira, drama, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar