Sepetak
pemukiman itu berhasil. Sudah dua minggu belakangan ini Kamis malam mereka
tidak lagi berlumuran darah seperti biasa. Ini semua berkat kerja sama penduduk
yang telah menjaga ‘miliknya’ masing-masing dari setan malam Jum’at yang
kelaparan. Kini tak ada terdengar lagi sesuatu yang menjelma menjadi sebuah
jeritan di esok harinya karena telah menemukan jalanan ataupun dinding-dinding
rumah dikotori sisa bagian tubuh manusia yang ‘dilumpuhkan’ sebelum dibawa
pulang.
“Setan-setan
itu akan pergi ke tempat lain begitu mereka tidak menemukan apa-apa disini.
Kita akan bebas–segera.” Angin berbisik kepada malam, menirukan suara seorang
tua di pagi tadi yang tampak bangga dengan teori–sangat–sederhananya. Saat itu
malam hanya bisa memicingkan mata mendengarnya, lagi-lagi punya pendapat
sendiri yang sanggup membuat kita memejam tak tenang dengan jari-jari gemetaran
di balik selimut yang sengaja ditarik menutupi wajah.
Malam mengeruh.
Tak ada tanda benda angkasa apapun lagi tersisa di langit. Seluruh bintang
telah kehabisan keyakinannya. Bulan begitu saja mati di balik awan mendung.
Kelam. Dan entah kenapa–saat itu–angin malam yang dingin semangat sekali
berbondong-bondong migrasi ke rumah 23A, seakan memberi kesan kepada kita yang
penasaran bahwa sang malam baru saja menceritakan apa yang menjadi pendapatnya.
Rumah
itu milik seorang pengusaha yang tidak terlalu sukses, Hendra Loreo, berlantai
dua dengan ornamen bergaya natural yang sangat diminati Nia Damayanti,
istrinya. Tak hanya berdua, rumah itu juga ditempati anak semata wayang mereka
yang kini baru beranjak delapan tahun, Candra Adipati. Di tengah nafas setan
Kamis malam yang mulai mereda, ketiganya mencoba hidup normal walau tiga minggu
sebelumnya adalah Ezty, tetangga sebelah mereka yang ‘hilang’ dari pandangan.
Delapan
lewat dua puluh menit. Nia sedang menemani Candra di kamar lantai duanya demi
sebuah pengantar tidur yang menenangkan.
“Ma,
hari ini aku nakal. Aku buat Ibu guru Vita kesal. Aku tidak mendengarkannya
sepanjang jam pelajaran karena aku sibuk dengan gambar-gambarku. Apakah mereka
akan datang? Setan-setan pemarah itu? Akankah mereka membawaku pergi bersama
mereka? Aku tidak mau dibawa pergi, Ma.” Candra mengaku sebelum terlelap. Ia
teringat akan cerita mamanya beberapa minggu ini, cerita tentang para setan
yang mendatangi mereka para anak tak penurut.
“Mereka
tidak akan datang. Mereka sudah pergi.” Nia menjawab lembut pertanyaan anaknya.
Dielus halusnya kening Candra yang dijatuhi banyak poni lalu lanjut berkata,
“Dan kalau mereka kembali lagi dan ingin mengambil kamu, biar Mama sama Papa
yang akan menghajar mereka.” Nia menaikkan selimut Candra sebatas bahu, lalu
mengecup keningnya hangat.
Sesaat
Candra menemukan keyakinannya malam itu tapi entah dengan bintang di luar
sana–apakah hidup atau masih mati. Ia mengangguk-ngangguk di ranjangnya sambil
tersenyum dan mulai tampak menjatuhkan kelopak matanya untuk segera terlelap.
Nia
bergerak berdiri dari pinggir ranjang, melangkah perlahan menghampiri ambang
pintu yang terbuka. Dipandangi Candra cukup lama dari sana, lalu tersenyum
sendiri. Saklar sebelah pintu ditekan, lampu mati sementara derit pintu
terdengar menutup. Nia pergi keluar kamar.
Dari
tempatnya sekarang, ketika ia sibuk memperhatikan langkahnya di atas anak
tangga, matanya bisa saja menangkap pintu rumah mereka yang berada tepat di
depan–walau sedikit jauh. Disana ada ruang tamu yang tidak terlalu besar dan
ruang TV yang juga sama–tidak terlalu besar. Kamarnya erletak di samping ruang
menonton yang akses masuknya sendiri tidak jauh dari ujung tangga. Ia hanya
perlu melangkah empat kali ke kiri begitu turun dan tibalah–sekarang ia sedang
melakukannya. Di depan pintu kamar mereka terdapat sebuah lorong pendek yang
lebarnya cukup memuat dua orang berbadan normal bersejajar di atasnya yang
mengarah ke dapur.
Di
kamarnya, Nia menempatkan diri di ranjang. Duduk menyandar ke dinding dengan
sebuah majalah fashion yang ia ambil dari meja rias. Tak lama,
suara deburan air yang tadinya ada sepanjang ia membaca, menghilang. Berganti
dengan derit pintu yang terbuka dan menutup kembali. Hendra selesai dari
mandinya, kini keluar dengan tubuh yang sebagiannya ditutupi handuk.
Pria
tinggi itu menghampiri lemari pakaian berduanya dengan Nia, berniat mengambil
sebuah celana pendek dan juga sebuah kaos rumahan untuk dipakai seperti
malam-malam biasa. Namun saat ia hendak memakai kaos putihnya terdengar suara
gaduh dari luar, suara-suara abstrak yang tak tertebak. Ia berhenti dengan kaos
yang baru setengah menutupi tubuhnya, beralih pada Nia yang juga berhenti
membaca. Bukannya mereda demi dianggap sebagai sebuah kesalahan halusinasi,
suara itu semakin berulah. Hendra cepat-cepat menarik kaosnya agar mengepas di
tubuh lalu bergegas keluar.
Seorang
pria berambut gondrong sudah ada di ambang saat Hendra tiba disana. Tidak
menatap, hingga tidak bisa dipastikan apakah keluarga ini mengenalnya atau
tidak. Badannya diam, kaku. Tak bergerak dengan satu benda yang sedari tadi ia
pegangi di sebelah tangan. Pisau.
Hendra
heran dengan keadaan ini. Bagaimana mungkin pria ini masuk dan mau apa.
Dipandanginya pekat malam yang ada di belakang punggung tamu tak
diduganya. Apakah terjadi sesuatu di luar sana? Hendra
mendekat dengan ragu. “Ada yang bisa dibantu?”
Pria
di ambang mengangkat kepalanya, meyakinkan Hendra bahwa mereka tidaklah pernah
memiliki pertemuan apa-apa sebelumnya. Dengan langkah besar pria itu segera
mendekat, bergegas. Baru sekaranglah Hendra tahu bahwa semuanya sedang tak
baik-baik saja, untuk itu ia mencoba berbalik dan berlari. Sayangnya pria ini
bukanlah makhluk yang diciptakan untuk sekadar berlari, ia lebih dari pada itu.
Pria itu menangkapnya bahkan saat ia belum sempat melihat pintu kamarnya yang
ada di balik dinding dan Hendra tanpa menunggu apa-apa lagi ditusuk
punggungnya. Keduanya terhenti.
Nia
keluar dengan sebuah stick golf yang digenggam keras di
tangan–dirinya merasa ada yang tidak pada tempatnya malam itu. Kedua matanya
langsung menangkap sang suami yang tengah jatuh di depan seorang pria tak
dikenal begitu tubuhnya sedikit berbelok ke depan. Belakang tubuh Hendra
terlihat memerah. Berdarah. Nia terkejut sesaat, yang kemudian dengan refleks
menghantam wajah pria yang tampak sedang menikmati tugas malamnya. Pria itu,
Khairil, terpental.
Nia
dengan tidak banyak waktu meninggalkan stick golf-nya di lantai,
berusaha mendirikan Hendra dari luka yang diterimanya. Dipapahnya tubuh itu
dengan susah payah menghampiri tangga.
Pukulan
Nia tak berarti banyak. Khairil kembali tak lama dan menarik Nia yang belum
berangkat jauh dengan suaminya. Nia diadu ke vas-vas di pinggir mulut tangga
yang pada tiga bulan lalu dibelinya sendiri. Sesuatu terdengar pecah kemudian,
ia berdarah. Nia terengah di atas permukaan lemarinya, berusaha sadar. Belum
sempat Nia mengatur pandangannya Khairil datang lagi mengambil rambutnya,
mendirikannya paksa untuk menenggelamkan kepalanya pada satu dinding rumah
mereka. Sesaat terdengar sebuah hantaman keras. Nia jatuh–kali ini menuju
lantai setelah menghantam lemari yang dibelinya sendiri.
Saat
itu Khairil berniat mengakhirinya. Kisah seorang istri yang setia pada suami
dan sayang pada anaknya akan segera selesai. Diinjaknya tubuh yang jatuh
sejajar pada kakinya itu, lalu tanpa menimbang-nimbang lagi diacungkannya pisau
tinggi-tinggi di atas kepalanya sendiri. Ia akan menekan sebuah tengkorak
hingga retak!
Pandangan
Hendra masih cukup jelas untuk melihat kekacauan yang mulai mengambil alih
kepemilikan rumah mereka, pada detik yang mulai menghitung mundur kematian
istrinya. Hendra takkan membiarkannya terjadi.
Hendra
bangkit dengan segala sisa yang ia punya–ketidakrelaan–datang mendorong tubuh
seorang pria asing yang tiba-tiba saja ingin membantai keluarganya menjauh dari
tubuh sang istri. Walau sempat mundur beberapa langkah tapi dengan cepat pria
itu bisa menanganinya. Ia menghentikan tubuh Hendra dengan dua tangan dan
segera menyandarkannya pada dinding. Satu hunusan lagi tenggelam dalam di
perut. Hendra mendelik, yang perlahan matanya mulai jatuh pada pisau yang hanya
tinggal terlihat gagang hitamnya. Darah termuntahkan dari mulut.
Khairil
melepas senjatanya, membiarkan tubuh itu berangsur-angsur jatuh dan mulai
meringkuk di lantai menjelang kematian. Bagaimanapun orang-orang asing
sepertinya ini tidak akan suka dengan akhir yang biasa. Mereka butuh ‘sentuhan’
lebih untuk menakuti malam. Diperhatikannya foto keluarga yang berjajar di
dinding tanpa komentar. Ia punya ide lain. Dicampakkannya satu foto terdekat dari
tempatnya, hingga menyisakan satu hal yang jika salah diartikan akan sangat
mematikan. Khairil menarik Hendra yang hampir menjadi mayat, lalu menghantam
belakang kepalanya dengan sebuah paku yang diam tersisa. Seketika benda kecil
itu menembus kening. Hendra tak bergerak lagi, sama sekali. Tangan, kaki, dan
lainnya melemas tak bisa diatur. Darah lain mulai berlumuran dari ujung benda
yang membunuhnya dan dia tanpa menunggu apa-apa lagi, mati disana.
Nia
harus melihat bagaimana Hendra saat ia berhasil bangkit. Suaminya mati dengan
tidak manusiawi, yang kini diam menggantikan foto mereka bertiga yang telah
terlepas keluar dari frame. Ia bergetar dan menangis.
Tak
ada ide lain yang terotak di kepala Nia saat ini selain pergi menjemput anaknya
di atas yang mungkin sekarang sedang terbangun karena kegaduhan ini. Segera
derap tergesanya terdengar.
Pintu
kamar membuka dengan membentak. Membuat orang lain di dalam sana langsung
menatap menuju ambang. Dia seorang wanita, berambut panjang dengan wajah dalam
yang tak terlihat karena lampu kamar yang dipadamkan. Apa yang menjadi
perhatian selanjutnya bukanlah utuh wanita tersebut ataupun gerak-gerik tirai
kamar yang ditiup angin dari jendela yang terbuka melainkan pada apa yang kini
ada di tangan wanita itu, yang berputar-putar pelan karena hanya dipegangi
rambut hitamnya. Candra telah kehilangan kepala.
Nia
menutup nganga mulutnya dengan tangan, memperhatikan bercak hitam yang telah
menyembur di dinding dan sekitar tempat tidur, juga pada tubuh Candra yang
telah diputus di pangkal leher. Seketika Nia menangis–lagi. Anaknya telah
direnggut dengan mengenaskan seperti papanya. Mimpi buruk ini terlalu kelam.
Nia
mundur keluar dari ambang, menjauh. Hendak lari dari gambarannya sendiri yang
menjadikannya korban selanjutnya.
Khairil
telah menginjakkan kakinya di anak tangga ketika Nia menyentuh kayu penahan
tangga rumah mereka. Dengan sebuah pisau dan ketenangan dingin dari seorang
pemakan ‘daging’ ia terus menaik. Nia tak punya jalan keluar.
Tubuh
Nia terlempar kuat ke samping. Kayu penahan tangga mereka terdengar patah yang
kemudian diikuti suara benturan tubuh ke dinding lorong yang sempit. Fera,
wanita yang melepas kepala Candra, telah lari dari dalam sana tanpa
sepengetahuan dan mendorongnya keluar area. Nia terjerembab di lantai.
Ia
bisa merasakan bagaimana ia–sangat–berusaha menggerakkan buku-buku jarinya yang
hampir mati, bagaimana ia berusaha membuka matanya yang sudah menyerah untuk
tinggal menunggu giliran. Tak ada harapan.
Nia
bergerak–dengan sangat lamban–kemana satu-satunya lorong ini mengarah.
Merangkak pada lantai yang bisa merasakan betapa bergetar tubuhnya setiap ia
melakukan gerakan.
Khairil
dan Fera membiarkannya begitu saja. Menatapnya lama dari atas sana sebelum
akhirnya mulai mengikuti turun dengan langkah biasa. Mereka ingin ia merasakan
sakit lebih dulu.
Khairil
menarik kuat rambut Nia yang hampir menggapai dapur ke belakang. Menjadikannya
tak bisa berbuat banyak selain mengikuti kepalanya yang tertarik. Ia terhenti.
Sesaat pisau pria asing itu kembali menunjukkan gunanya pada malam. Ia berjalan
dengan ujungnya yang lancip di sebuah wajah atas perintah tuannya.
Bermain-main. Nia menahan nafas. Ketakutan.
Pisau
itu ditancapkan pasti pada belakang pundak korbannya, yang tanpa sengaja justru
mengundang gerak spontan yang menyerang wajah. Khairil disikut. Nia tahu itu
hanya akan sebentar saja sebelum akhirnya nanti pria itu menangkap kakinya yang
tertinggal di belakang dan menghabisinya. Ia menendang wajah Khairil yang belum
tahu situasi. Membuatnya setidaknya ada sedikit tambahan waktu baginya untuk
bergerak. Dengan cepat Nia berusaha berdiri, tergopoh sambil memegangi dinding
dengan sebelah tangan untuk segera masuk ke dapur.
Kini
ia sudah tiba di dalam, sekarang apa yang akan ia lakukan? Matanya
mencari-mencari apa yang mungkin bisa ia lakukan, gunakan, atau apapun itu agar
ia bisa keluar dari situasi mematikan ini. Belum sempat matanya menangkap
banyak, Fera sudah menggapainya dari belakang. Nia dihantam di bagian wajah
dengan sebuah tinju, yang membuatnya jatuh menimpah sebuah meja makan yang saat
itu sudah dibersihkan. Nia memandang Fera yang menatapnya tanpa ekspresi, lalu
mengedarkan pandangan pada sebelahnya yang ternyata terdapat sebuah
keberuntungan. Ada sebuah tempat alat makan disana!
Fera
mengangkat gunting rumputnya, menunjukkan kepada malam dan juga korban
selanjutnya betapa ia berkuasa dengan senjatanya. Nia mendelik. Kepalanya
membayangkan tentang Candra yang diputuskan kepalanya dengan benda itu. Kau
melakukan itu kepada anakku dengan ini? Ia menendang perut Fera yang
kosong tanpa pertahanan lalu tanpa membuang waktu segera mengambil sebuah garpu
di tempat alat makan mereka yang tadinya sudah direncakan kepalanya dan
menancapkannya pada kening Fera. Garpu itu diam disana.
Nia
mundur dari tempatnya, membuat jarak dengan mengelilingi meja sementara matanya
merekam bagaimana lawannya mencabut alat makan itu dari kepalanya dan darah
mulai mengalir dari tiga lubang yang tersisa. Fera mengangkat kepala, marah
sejadi-jadinya dengan sorot mata tajam yang lantas mulai bergegas menuju Nia
sementara Khairil mulai terlihat di mulut lorong.
Nia
panik. Ia harus bergegas jika tidak ingin mati konyol. Badannya yang tergesa
tanpa sengaja menyentuh badan kompor yang sedari tadi menonton di belakang.
Membuatnya sedikit berbalik dan kemudian menatap sebuah kesempatan, pilihan.
Sebuah pemantik yang tergeletak tak jauh di bagian dapur lainnya membuat segala
hal di malam itu semakin jelas. Ia menatap Fera yang sudah dekat perjalanannya
dan tanpa berpikir tentang apapun lagi ia memutar kompornya, membiarkan gas-gas
itu menguap dan memenuhi ruangan. Ia menghampiri pemantiknya.
Dilihatnya
lagi Fera dan Khairil. Ia perlu keyakinan sebelum melakukan ini. Kedua pembunuh
itu terlihat ingin mengepungnya dari dua sisi, hingga bagaimanapun juga ia
tidak bisa lari dan tetap harus melakukannya. Ini sudah takdirnya.
Nia
dengan tangan yang bergetar berusaha menyalakan pemantik itu. Sekali ibu
jarinya bergerak dan itu tidak berhasil.
Sekarang
jantungnya takut ia tak punya cukup waktu untuk meledakkan diri, yang tengah
berdegup keras sementara matanya menatap Fera yang sudah ada di hadapan dengan
gunting rumput besarnya. Ia harus bergegas.
Fera
menjerit dari tempatnya, menandakan sebuah aba-aba ingin menyerang lawan yang
tersudutkan dengan sebuah senjata besar teracung dan kaki yang bergegas berlari
sementara lawannya terus mencoba keberuntungan pada sebuah pemantik. Nia gugup
dengan situasi ini, pada suara setan Kamis malam yang membuatnya semakin
menahan nafas. Dan pemantik api itu, yang padanyalah akhir kisah ini
bergantung, baru mulai menciptakan api di kali keempatnya.
Ia
memandang sekali pada Fera yang berjarak hanya satu meter di depan lalu pada
kompor yang seakan memanggil-manggil tergesa karena ikut panik dan tak sabar
ingin menghabisi. Kini sebuah tusukan hebat dan sebuah lemparan saling
berlomba, siapa yang akan digerakkan oleh tuannya terlebih dulu.
Nia
bisa melihat bagaimana Fera dan ujung gunting itu mendekati wajahnya. Saat itu
ia hanya bisa memalingkan wajah sambil berharap pemantik itu terlempar tepat
dan masih menyala. Lalu sebelum wajahnya terkoyak oleh sebuah gunting yang
terlalu besar untuk sekadar melukai sedikit dirinya, sebuah ledakan terdengar.
Rumah
itu pecah. Langsung terbakar hebat dengan api yang sangat berkobar di atas
langit malam yang dingin. Seluruh orang-orang terkejut karena getaran dan suara
menggemanya yang keras, yang lantas berhenti dari apapun yang sedang dikerjakan
dan segera keluar demi tahu apa yang sedang terjadi.
Malam
tak bisa berkata apa-apa. Hanya turut memandangi kesimpulan yang diambil oleh
seorang Ibu rumah tangga tanpa mengatakan pendapat sisanya tentang yang akan
menjadi selanjutnya. Angin bertiup menjauh, tak ingin ikut hangus, yang tanpa
sengaja menghampiri sebuah mobil hitam yang diberhentikan di simpang terdekat.
Sosok
pria besar di mobil itu terlihat kesal. Merasa pemikirannya dahulu benar namun
tak pernah dihiraukan. Bahwa rencana mendatangi rumah penduduk adalah sebuah
ide gila. Tapi bagaimana lagi, kedua orang itu–terlebih sang perempuan–terlalu
keras kepala dengan terus-terusan berkata bahwa stock di
apartemen adalah urusan lain dan mau tak mau ia harus menemani mereka malam ini
untuk berjaga-jaga. Tanpa menunggu apa-apa lagi, pria itu mulai menjejalkan tangannya
pada tuas mobil dan berkendara pergi. Operasi kali ini gagal.
Setelah
mobil hitam itu berkendara pergi meninggalkan asap yang semakin meninggi, dari
balik api yang masih saja berkorbar, jauh dari pandangan penduduk yang semakin
memadati bagian depan rumah tetangga mereka dengan masih tak tahu apa yang
sedang terjadi, sesuatu bergerak dari tempatnya.
Sepasang
tangan keluar dari sela-sela benda yang sudah hilang utuhnya, menyingkirkan
apapun di atasnya yang bermaksud menghalanginya untuk berdiri. Fera bangkit
dengan luka-luka yang tercoreng parah. Lengannya entah bagaimana bisa memanjang
sebelah–hingga melebihi lutut. Satu kakinya tertekuk patah karena tertimpah
atap yang runtuh, membuat badannya terlihat berat sebelah ke kanan.
Perlahan
ia bergerak, menjauh dari reruntuhan dengan langkah terseok-seok–tanpa menarik
perhatian penduduk yang terhalangi api–mengarah pulang menuju rumah, menuju
apartemen kelompok mereka. Untuk pada akhirnya tidak mengurusi segala hal
seperti ini lagi dan beristirahat layaknya seorang Ibu.
Tags : pendapat malam 2, aditya prawira, thriller, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar