[Short Story] Terperangkap


Sudah tujuh tahun, dan Maya masih mengingat jelas, dimana api, dimana asap, saling beradu. Bagaimana dulu ia berjuang mati-matian untuk bertahan hingga akhirnya keluar, bagaimana suara teriakan bercampur dengan ledakan menggema dalam gendang, bagaimana takut menjelma dalam sesak di dada. Terperangkap.
Hari ini untuk alasan yang bukan karena dirinya, dia kembali. Ditatapinya gedung sembilan lantai ke atas dengan pandangan takjub sementara was-was tentang trauma terjaga seminim mungkin.
Tempat itu sama sekali berubah. Hall depan yang dulu hadir dengan kekosongan bercak-bercak kotor di dinding kini telah didesain jauh sedemikian rupa hingga tertata dua tanaman hijau dalam pot oranye tua masing-masing yang lumayan besar. Semen biasa yang tak jarang membekaskan basah karena hujan yang lolos dari atap bocor telah diganti keramik putih yang dilap setiap pagi dengan dua dudukan besi panjang bersandar di kanan-kiri–sekarang sedang tak ada siapa-siapa disana. Mereka benar-benar telah merubahnya. Tujuh tahun.

Sesuai prosedur, Maya yang hanya seorang pengunjung sehari harus melapor sebelum masuk, memberi data–sangat–singkat berupa nama untuk disalurkan melalui telepon lokal ke kamar yang hendak didatangi demi mendapatkan sebuah persetujuan bertemu–dengan begitu tingkat keamaan terjaga–dan ia tentu saja diterima. Penghuni tujuh kosong tiga sendirilah yang memintanya datang untuk membantu proses pindahan yang masih belum kelar; barang-barang di atas sana masih memerlukan perhatian.
Maya lebih memilih menghampiri elevator apartemen daripada tunggakan tangga beranak dan pinggiran yang mengilap cokelat. Ia teringat tentang lantai tujuhnya–akan perlu usaha sangat lebih jika ia memilih naik melalui anak-anak tangga mengilap itu–lantas hanya sekilas melihat tatanan lantai atas dari rongga persegi besar yang sengaja dibuat di tengah-tengah gedung dalam sekali perjalanan mata, sebelum akhirnya benar-benar dekat pada keberadaaan elevatornya dan mulai fokus. Maya menekan satu-satunya tombol yang tersedia–ia sedang berada di lantai paling dasar–dan menanti ‘panggilan’.
‘Panggilan’ datang dengan pintu yang membuka dua, menunjukkan siapa-siapa saja yang berada di dalam tanpa bermaksud memihak siapa. Di dalam sana ada seorang wanita yang ia tebak berumur sepuluh tahun lebih tua darinya dan seorang bocah berseragam putih merah digenggaman. Wanita itu menatap Maya sebentar, lalu mengarahkan anaknya agar mengikuti tangannya hingga sama sekali tidak ‘bersentuhan’ dengan mereka, orang yang tidak dikenal. Maya tahu itu, tatapannya, tapi ia tidak begitu peduli, hanya menatapnya sesaat, lalu masuk ke dalam lift yang telah dikosongkan untuk kemudian dengan tanpa sengaja menatap kembali mereka lewat punggungnya.
Pintu menutup.
Elevator berjalan naik sebelum akhirnya kembali berhenti dan membuka di lantai tiga, membiarkan dua bocah laki-laki yang saling berebut bola masuk. Seorang anak dari mereka, yang lebih gemuk dan memakai kaos berwarna kuning, sedikit mengalah dengan membiarkan lawannya memegang bola lebih lama tanpa diganggu demi menekan lima di deret. Elevator menutup. Perjalanan berlanjut.
Sesekali pandangan Maya mengarah pada mereka yang terus bergerak di samping, yang saling mengambil ketika bola berhasil direbut oleh yang satunya. Tak ada yang mau mengalah. Di lantai lima pintu kembali membuka. Kedua anak itu serentak keluar beriringan sambil masih menunjukkan sikap tak ingin kalah dan saling merebut. Maya tersenyum dari tempatnya, memandangi kedua bocah yang kemudian hilang dalam alur gelap yang entah datang dari mana.
Wanita itu menyadari sesuatu kemudian. Lift-nya tak kunjung menutup! Maya melangkah panjang sekali, maju untuk menekan sebuah tombol yang masih di dalam deret agar kembali naik. Begitu yakin jarinya kena, ia mundur. Beberapa detik berlalu dan tak terjadi apa-apa. Hampa dan udara dingin datang tiba-tiba, menghampiri dengan isyarat niat buruk.
Tanpa sengaja sesuatu tertangkap mata kemudian. Disana! Di balik kegelapan! Ada sesuatu yang tengah berdiri mengawasi. Tidak besar, seukuran salah seorang bocah yang baru saja keluar dengan bolanya.
Segalanya kemudian terasa salah ketika bocah berkaos kuning itu mulai menunjukkan wajah. Ia menatapi elevator–atau mungkin Maya–dengan pandangan yang sepertinya marah. Dengan bola yang ia peluk ke perut, ia diam. Maya menelan ludah, berusaha menerobos lantai atas dengan kembali maju dan menekan tombol ‘penutup’.
“Klik!”
Maya terlonjak ke belakang. Anak itu mengagetkannya dengan berdiri tepat di depan pintu tanpa sepengetahuan. Dia diam, tak bicara apa-apa, hanya menampilkan ekspresi yang sayangnya masih saja sama hingga terlihat seperti setan yang ingin membalaskan dendam tapi nyatanya bukan; tak ada pucat, tak ada kerutan urat yang muncrat keluar. Elevator menutup.
Di dalam, dengan menyisakan dua tingkat perjalanan, Maya tinggal bersama degup was-was, bersandar di bagian belakang lift dengan pandangan menyoroti pintu.
Lantai tujuh menyambut, memberikan pemandangan kosong tentang sebuah jalan yang berakhir pada sandaran kayu–kali ini tak bisa dipastikan apakah kayu itu selalu dilap setiap pagi atau tidak karena alur gelap yang entah dari mana masih saja menutupi. Di balik sandaran itu, terdapat sebuah lubang besar berbentuk petak yang dari sana para penetap di lantai ini dan di lantai lainnya dapat melihat situasi di lantai bawah dengan melongok. Untuk itu, bagi pengunjung yang akan keluar dari lift diharuskan berbelok ke kiri ataupun kanan untuk bisa meneruskan jalannya, tak terkecuali Maya.
Gemetar, Maya keluar dari persembunyian. Dilihatnya kiri dan kanan yang ternyata sama kosong. Tidak ada siapa-siapa. Pelan ia berjalan dengan degup yang semakin menjadi, berusaha menemukan sebuah kamar yang menurut kabar sebuah pesan singkat berada di lantai tujuh, urutan ketiga di sebelah kiri lift.
Langkah Maya takut, sangat. Bahkan karena saking takutnya ia menyempatkan diri sesekali menoleh ke belakang demi memastikan semua baik-baik saja, dan begitu merasa cukup dekat dengan kamar tujuh kosong tiganya, Maya mempercepat langkah hingga rambutnya yang terikat satu terguncang di belakang karena terburu. Sambil mengetuk–yang lebih mirip sebuah gedoran–ia memperhatikan sekitar, menunggu.
Tak lama pintu dibuka. Seorang wanita sebaya menunjukkan diri di ambang dengan rasa heran yang membumbung karena begitu merasakan kegelisahan ketukan dari tamunya. Dia Indri, teman lama yang baru saja pindah jauh, memandangi sekitar untuk melihat ada apa di belakang sana yang tentunya tak menemukan apa-apa selain Maya. Tak ada penjelasan untuk mereka yang tak punya trauma atau pengalaman sejenis.
Kamar itu jauh lebih besar dibanding ukuran kamar yang ia sewa bersama dengan ibunya tujuh tahun lalu–dan pastinya juga lebih mahal. Di dalamnya ada sebuah kamar tidur dan kamar mandi dengan dapur yang menyatu tanpa rongga dengan ruang televisi dan ruang tamu.
Maya berkeliling dengan matanya, menghampiri jendela kamar yang menghadap sungai selebar dua puluh meter.
“Seleraku tidak buruk kan?”
Maya menoleh sekilas, sekedar menampakkan wajah bagian sampingnya, dan kemudian kembali lagi pada sungainya, tersenyum.
“Aku setuju Ibu membeli apartemen ini tujuh tahun yang lalu, selain karena harganya yang saat itu masih murah–sesuai dengan selera Ibu–juga karena pemandangan sungai ini. Tenang.”
Indri menampakkan giginya sambil menggeleng kecil dalam senyum.
“Ini airnya, diminum.” Katanya, membuat Maya berputar memperhatikan. Sebuah gelas kaca telah diisi penuh air dingin hingga berkeringat berdiri tegap di permukaan meja. “Aku ke kamar sebentar.”
Mereka sama-sama tersenyum sebelum Indri hilang pada kesibukannya. Entah kenapa setelah itu, setelah Indri membiarkannya sendiri, Maya berniat kembali pada sungai dua puluh meter yang membentang jauh ke luar provinsi mereka, memandangi air tenangnya lama-lama dan mencoba menghirup dalam udara di ruangan itu seolah-olah angin yang menyeberang di satu sisi sungai mampu menembus ke sana. Ia memejam.
Di awal, Maya tak menemukan apa-apa yang mengganggunya memandangi lebar sungai, tapi kemudian ketika ia membuka mata, ia mendapati sebuah goretan di atas bening jendela yang ia yakin betul luka itu tak ada tadi. Mata Maya langsung terpaku pada titik kaca, pada luka yang terpampang tidak etis yang hampir ia lewatkan. Niat awal ingin mengambil tak acuh demi sebuah kemakluman setelahnya, namun sesuatu terjadi. Luka itu membesar, menghasilkan goretan-goretan yang semakin mengakar. Dahi Maya mengerut, takut, lantas mundur.
“In..” Perlahan ia berbalik demi menemukan temannya keluar dari kesibukan apapun di dalam sana sementara matanya kembali mengawasi gerak goretan.
Dua detik. Indri belum kunjung muncul sementara goretan-goretan semakin meretak dengan bunyinya yang menggesek. “Indri..”
“In..!!” Nadanya semakin tinggi ketika goretan-goretan itu hampir memenuhi frame. Ini tak bisa dibiarkan lagi, pikirnya. Mereka harus melakukan sesuatu pada kaca itu. Maya bergegas menghampiri ruangan di balik dinding untuk mengintip keberadaan temannya yang bagaimana mungkin tidak mendengar panggilan kerasnya. Belum sempat ia melangkah jauh, hal mengerihkan terjadi.
Jendela itu pecah, meledak dengan suara menggetarkan sampai-sampai membuat Maya terkejut dan tersentak merunduk sambil melindungi kepalanya. Keping-keping tak beraturan terserak di lantai. Angin menyeruak masuk, menggoyang-goyang gorden yang tidak berpendirian.
Merasa cukup memungkinkan untuk berbalik, Maya membetulkan posisinya, menatapi apa yang baru saja terjadi dengan wajah penuh keheranan.
Seketika ia mendapati ruangan memanas. Asap mengepul sesukanya tanpa permisi. Keringat keluar berlomba bersama sesak. Merah. Entah darimana asal abunya, tak ada yang mengira dan tentu saja sedang tak ada yang ingin berpikir sekarang. Maya segera pergi ke kamar untuk melihat teman tulinya dan menemukan kondisi ruang yang ternyata kosong.
Dimana Indri?
Pandangan diajak memeriksa seluruh ruangan kamar namun tetap saja hasilnya nihil. Tak ada siapapun disana kecuali dia yang pernah selamat. Dengan berbatuk, Maya mencoba keluar dari kamar yang kini berbahan dasar api. Ironis, kamar sialan itu tak bisa dibuka. Seseorang mengunci pintunya dari luar.
“Toloonggg..!!” Gagang pintu berbentuk bulat itu diputar-putar sebisa ruangnya. Gedoran-gedoran ingin selamat pun turun tangan.
Maya berbalik, menatap belakangnya dengan bersandar pada pintu yang sudah tak mungkin lagi untuk membuka. Matanya menerawang. Api sungguh menyiutkan kendalinya. Pikiran sudah tak sanggup berdiri sendiri, kebingungan, sampai-sampai ia ‘mampu’ melihat dan mendengar apa yang seharusnya tidak. Teriakan-teriakan dari masa lalu, tubuh gontai hangus yang tak selamat. Maya menangis di depan pintu, semakin menempelkan diri pada sisi yang sudah tidak dapat lagi dipaksakan mundur. Wajah-wajah yang sebenarnya tak asing, namun tak terlihat karena terkelupas bergerak semakin mendekat. Mengerumuninya hingga panas terasa semakin gerah dan bangun adalah satu-satunya cara. Di ujung pertahanannya, Maya menjerit dalam nyala.
Ia terbangun dari segalanya, mata yang awalnya menangkap kabur kini mulai menangkap Indri yang terlihat cemas di hadapan. Maya bangkit dari baringan, mengamati lekuk sekitar dan pada akhirnya menemukan kesimpulan; ia baru saja bangun dari mimpi terburuknya.
“Kamu enggak apa-apa?”
Maya tidak menjawab. Kepalanya masih terlalu sibuk berpikir aneh dengan pandangaan kosong ke depan. Kemudian tanpa tanda permisi, ia pergi dengan tergesa.
Jendela itu tak tergores, bahkan dari pandangan terdekat pun juga tak ada. Dia hanya diam, membatasi ruangan itu dan sebuah sungai selebar dua puluh meter dengan kebeningan yang tak datang dari masa lalu.
“Kamu kenapa? Kenapa tadi tiba-tiba pingsan?” Tanya Indri yang ternyata mengikuti geraknya di belakang.
Tak bermaksud menjawab, ia berkata, “Aku harus pulang.”
Maya pergi begitu saja, hilang dari tujuh kosong tiga tanpa berniat menutup kembali pintu pengunjungnya. Tak ada waktu. Ia terlalu lelah bahkan untuk sekedar melakukan hal semacam itu. Di balik punggungnya yang semakin menjauh, Indri berdiri di depan pintu kamar yang baru ditinggalkan, memandangi seorang tamu yang diundangnya sendiri dengan kehampaan.
Lift bergerak turun. Tujuh langkah ke bawah untuk menuruti tuannya ke lantai dasar. Tanpa sendatan pintu membuka dan Maya melangkahkan kakinya keluar tanpa harus berpikir banyak.
Seketika matanya membelalak menjumpai apa yang ada di bawah sana. Tidak mungkin! Seorang pria tua bergerak tak tentu arah dengan langkah sibuk jauh di depan. Dari punggung hingga kepala botaknya mengalir api menyala yang pastilah terasa sangat panas. Beberapa kali ia menabraki dinding dan akhirnya terjerembab ke lantai semen yang tak lagi terasa dingin. Dia sangat kesakitan, tangan dan kakinya tampak tak tenang menepuk-nepuk tubuhnya yang mulai hangus. Jeritnya membaur dengan yang lain.
“Brak..!!”
Balok kayu mengagetkan pandangan Maya, jatuh tepat di sampingnya dengan api yang menjulur di sepanjang tubuh. Maya bergegas, ia tahu bangunan itu tak akan bertahan lama. Ia berlari, ingin selamat lebih lama.
Sebuah jerit terdengar, menggema begitu dekat hingga enggan untuk dibiarkan. Maya menoleh. Itu salah seorang anak yang tadinya saling berebut bola, yang sempat bersamanya beberapa saat dalam lift di keheningan. Dia, anak berkaos kuning. Anak itu ada di ujung tangga. Menangis. Menunggu untuk ditolong oleh orang baik yang menyempatkan waktu untuknya yang sedang mati ketakutan. Maya dengan tanpa pikir panjang segera menghampiri naik, dengan hati-hati ia merambat. Ketika ia yakin dengan segala hal bahwa ia akan mendapatkan anak itu, sesuatu menimpanya, membuat kaos kuning itu hampir sama sekali tak terlihat karena dihalangi balok besar yang bersarang di punggung. Maya bergetar memandangi anak yang sekarang tengah mencium permukaan tangga yang tak rata. Dia mati mengenaskan, pikirnya. Ingin rasanya ia lari keluar secepat mungkin demi melupakan apa yang dilihatnya, tapi sesuatu menghalangi. Tangan anak itu bergerak!
Astaga..!! Maya buru-buru keluar dari sana. Mundur dengan langkah-langkah yang hampir saja membuatnya terjungkal ke belakang. Anak itu mengangkat kepalanya, memamerkan wajah miliknya yang tiba-tiba berubah hitam hangus dengan mata total merah tanpa menyematkan pupil cokelat. Sungguh, takkan ada seorang pun yang merasa nyaman dengan itu.
Ledakan terjadi tepat ketika Maya berhasil keluar. Memecahkan hampir seluruh jendela yang bertengger di ruangan menjadi keping-keping bebas.
Di luar apartemen, ia menemukan seseorang yang baru saja akan melintas. Seorang wanita paruh baya. Tanpa buang waktu, Maya menghampiri.
“Tolong, ada kebakaran.” Jari-jarinya menuduh sebuah bangunan sementara nafasnya tersengal.
Wanita itu memandanginya sekali, pada jari-jarinya yang menunjuk sebuah arah, dan kemudian kembali lagi. Ada sesuatu tersirat dalam raut itu, ketidakmengertian. Lama, Maya teringat akan wajah wanita itu, wanita yang melihatnya keluar dari api tujuh tahun lalu. Saksi ketika seorang Maya keluar dengan selamat.
Bukannya menerima pertolongan, Maya justru diberi sebuah keanehan yang memaksanya untuk memandang ulang belakang sebelum kembali mengatakan perkataan sebelumnya. Sayangnya, ia takkan pernah mengucapkan perkataan itu lagi, tidak ada apa-apa disana. Tak ada kebakaran yang sedang terjadi. Hanya ada reruntuhan kosong yang selama tujuh tahun ini belum pernah disentuh kembali. Pikirannya mengambang. Tubuhnya hampir saja oleng tak percaya. Ditatapnya kembali Ibu yang masih menunggunya dengan pikiran yang tak bisa dibaca apa. Sebelum dikata gila, ia memutuskan pergi tanpa kata-kata, membiarkan dirinya terus dipandangi tanpa penjelasan.
Maya beralih pada keramaian jalan yang memberikannya suara lain tanpa mengharuskan ada teriakan dan hawa panas. Wajahnya lelah dengan tubuh yang benar-benar telah terkuras tenaganya. Ia menyebrang dengan sebuah truk terkendara di sisi lain.
Ia tak tahu apa yang berlaku. Tapi, ia yakin betul melihat truk itu tepat di sebelahnya sebelum akhirnya menemukan dirinya tidak apa-apa. Tidak ada suara rem yang seharusnya terdengar, tidak ada langkah orang-orang berlarian untuk sekedar menghampiri tubuh yang sekarat. Ia, Maya, masih berdiri tegak, menatapi truk yang baru saja lewat dengan menembus. Dia bingung dalam hari.
Seakan menjawab apa yang baru saja ia pikirkan, sesuatu datang dari kepalanya. Ia terhujani, yang kali ini bukan dalam hujan ataupun keringat, melainkan sesuatu yang lebih pekat, lebih gelap, dan menakutkan. Maya menghampiri air di kepalanya dan tentu saja ia menemukan mereka. Dengan ketakutan terhadap fakta, semua berakhir disana. Darah.

---

Ia sedang berada di kamar ketika seseorang melakukan hal amatir dengan kompor gasnya, sedang menonton TV seorang diri–ibunya meninggal tujuh tahun setelah berpisah dengan sang Ayah yang berselingkuh–tentang sebuah kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa seorang gadis dua puluh tujuh tahun yang saat itu berperan sebagai sopir. Indri–tak lama nama itu mereka siarkan–menabrak sebuah tiang telepon. Entah apa penyebabnya Maya tidak begitu tahu, ledakan yang terjadi saat itu merenggutnya keluar menuju kegelapan api tanpa melanjutkan beritanya.
Di luar kamar, asap sudah berkelompok. Mengepul seperti kabut tebal yang mengacaukan jarak pandang. Maya yang tak tahu apa yang terjadi lantas mengikuti asap datang dari tangga–gedung ini dulunya tidak memiliki lift dan celah di tengah-tengah ruang sehingga para penghuni di lantai atas tidak bisa melihat kondisi lantai di bawahnya.
Tragedi itu terjadi di lantai dua, di ruang terujung yang jauh dari tangga. Ledakan supernya berhasil membuat celah di dinding hingga sinar luar tampak seperti harapan tipis dan bata hanyalah salah satu dari banyak apa yang harus ditinggalkan saat itu.
Api mengembang di pinggir-pinggir dinding, berusaha merambat semakin tinggi demi berjumpa langit bebas. Tanpa menunggu mereka menyebar ke seluruh gedung, Maya menghampiri tangga dan turun.
Di bawah, ia menemukan seorang bocah tak beruntung yang tertimpa reruntuhan dengan sedikit sisa kaos kuning di badannya. Seorang pria tua botak berlarian tak tentu arah, seakan dengan begitu ia bisa menghindari api di punggungnya. Dia terus-terusan mengeluh dengan teriakan-teriakan mengerihkan. Tanpa bermaksud mengindahkan, Maya terus keluar bersama ketakutannya–berpikir ia akan menemukan bantuan lebih untuk menolong pria itu sebentar lagi.
Orang begitu ramai. Berbondong-bondong menatapi api yang perlahan menghabisi apartemen sederhana bertingkat empat. Dengan perasaan lelah dan bau asap Maya menghampiri matahari cerah dan menatap salah seorang wanita di tengah kerumunan yang tampak berdoa karena ia berhasil selamat. Sebuah ledakan kemudian terjadi, memecah beberapa kepingan kaca pada orang yang seharusnya sudah selamat. Maya, kepalanya ditembus beling yang sedang bingung harus kemana, membuatnya harus membuang jauh-jauh usaha penyelamatan dirinya dengan begitu sia-sia.
Maya terjatuh, tergeletak di hadapan para ‘pengunjung’ termasuk dia, wanita yang bisa melihat arwah orang-orang yang ‘terperangkap’.

“Demi masa lalu dan masalah yang mungkin saja butuh penenangan diri, aku ingin kamar yang terbaik–menghadap sungai.”

---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages