[Short Story] Isyarat

Medan, 2 April 2011

“Andai aku tahu maksud isyarat Tuhan itu, pasti tidak akan terjadi seperti ini. Terombang – ambing dalam rasa sakit yang beberapa kali telah menemukan puncak, bahkan ini lebih perih.”

Berulang kali hatiku terus mengucapkan kata – kata itu. Penyesalan. Bau obat tercium di sekelilingku, bau bius yang merasuk ke hidung. Kini pandanganku mengabur karena mereka telah melepas kacamataku yang mungkin sebelumnya telah pecah karena kejadian itu. Di ruangan ini tidak ada siapa pun yang menunggu. Tak ada seorang pun yang berusaha berkata, ‘Mereka akan segera sembuh dan kembali bergerak. Cepat atau lambat.’.

Telah kupustuskan untuk menulis, bercerita, karena saat ini tak ada yang bisa mendengarkanku dan kuputuskan untuk mengambil sebuah buku yang tergeletak di atas sebuah rak aluminium -tak tahu apakah seseorang memang sengaja meninggalkannya untukku- yang tak jauh disebelah sehingga tak perlu bagiku untuk mengeluarkan rintihan untuk menggapainya dan aku pun memulai.

Aku memang sakit sebelumnya, aku perlu menekankan hal itu. Tapi setidaknya dulu hanya satu bagian yang meringis dan sekarang telah menjadi dua, atau bahkan tiga jika kau menghitung dua bagian yang yang satu itu.

Berawal dari sehari yang lalu. Satu April, yang dimulai dengan bangkitnya aku dari ranjang kurang lebih pada pukul dua tiga puluh dini hari. Selain tahajud dan fisika yang memaksaku untuk menegakkan kembali tubuhku, dahaga juga menyerang kritis aku. Kepalaku goyang, aku tidak heran. Hal yang sudah biasa apalagi ditambah aku semalam yang baru beranjak tidur ketika dua belas berdentang.

Mencoba untuk menghapal rumus fisika di tengah kekacauan yang merusak konsentrasi. Alhasil hanya dua – tiga halaman yang berhasil diterima mata dan setelah itu mata menjadi kabur kelelahan. Ketika tidur aku melipat tanganku di dada seperti mayat dan dapat merasakan detak jantung yang kukira terasa pelan. Mungkin karena terlalu banyaknya obat yang kukonsumsi membuat kondisiku semakin ‘lemah’. Sebuah bendera merah sebentar lagi mungkin dipasang. Tak terasa air jatuh dari pelupuk. Menggores lembut pipi yang tak tahu apa – apa. Pikiranku memburuk, menarik diriku ke hal – hal yang seharusnya tidak dipikirkan. Mereka. Aku memikirkan mereka, senyum dan amarahnya. Aku ingin bertemu mereka untuk terakhir kalinya jikalau tidurku ini akan menghantarkanku ke peristirahatan kekal. Air semakin menggenang ketika otak menggambar diriku yang dibungkus kafan dengan mereka yang menangis di sekeliling. Begitu bodohnya aku.

Nafsu hausku sudah diam, tahajud sudah mengantarkan pedihku. Kini aku tinggal membaca rumus – rumus fisika yang mematikan hingga subuh datang. Seekor kucing kecil belang datang menemani. Ia tampak meluruskan tubuhnya yang sepanjang malam ia tekuk melengkung sehingga tampak panjang bagiku. Suara mengeongnya merenggutku. Ia terlihat perlu ssesuatu dariku. Entah kenapa ketika aku hendak beranjak dari duduk tiba – tiba rasa yang seharusnya tidak datang, ketika mereka mengajakku mengobrol atau setidaknya berada di dekat mereka atau salah satu kucingku, kini justru datang mengguncang kepala.

Aku kehilangan keseimbangan badan. Tidak bisa berdiri tegak seperti yang seharusnya. Aku sengaja menubrukkan badanku ke dinding. Menahan badanku disana dan kemudian lanjut bergerak. Segera kucari – cari tablet putih di keranjang obat. Masih ada. Aku harap ini bekerja. Kutinggalkan buku catatanku bersama dengan si belang di luar. Tanpa memerlukan waktu lama aku terlelap.

Mataku tersentak. Seakan sudah saatnya ia terbangun. Enam empat puluh. Aku tidak bersentuhan dengan subuh. Ampuni aku. Begitu aku bangkit, kepalaku sudah tak bisa di ajak kompromi. Aku memegangi dinding di pinggiran agar aku tidak jatuh. Di luar kamar aku berusaha tegak. Berusaha tak memegang apapun ketika berjalan sebagai penopang. Aku tak mau mereka memandangku.

Aku tidak punya banyak waktu mengingat ujian fisika dasar memulai aksinya pukul delapan tepat. Rumahku yang jauh –memakan kurang lebih lima puluh di perjalanan- membuatku harus pergi lebih cepat dari siapapun. Aku langsung terbang ke kamar mandi tanpa memikirkan kondisi kepalaku yang masih goyang dan tanpa sarapan aku lanjut bergerak.

Seharusnya aku menyadari ini lebih awal. Sebuah isyarat. Aku disuruh untuk tetap tinggal. Sakit yang didera, kucing yang beberapa menit sempat menyita perhatianku di depan pintu. Semua terlewat begitu saja. Isyarat itu. Terlalu memikirkan dunia, mungkin itulah aku. Seharusnya aku tidak memaksakan kondisi badanku sebagaimana aku sering berlaku begitu terhadap ibadahku. Betapa aku menyedihkan.

Sakit itu perlahan hilang. Goncangan di angkutan sama sekali tidak membunuhku. Teman – temanku. Mungkin itu karena aku berada di sekitar mereka –setidaknya sebentar lagi. Angkutan berjalan semakin pelan. Terjadi kekacauan di jalan. Badan jalan tak terlihat lagi. Hanya ada genangan air yang lumayan tinggi disana. Bulannya Medan tenggelam.

Sudah pukul delapan, namun aku masih dikelilingi kendaraan yang berderu pelan dan air yang bergoyang. Keringat mulai bercucuran. Aku hilang kendali tubuhku. Sebuah pesan membuat getaran kecil di saku. Ujian dibatalkan.

Seharusnya aku senang tapi entah kenapa itu membuat sebagian diriku mengumpat. Tak tahukah mereka beban yang kubawa dari rumah hingga sejauh ini?

Kau belum punya apa – apa. Tak ada persiapan. Setidaknya bagian diriku yang lain membuatku tenang. Kepalaku kembali bergoyang entah kenapa. Aku sadar aku mabuk darat. Tapi pada pagi hari aku jarang –bahkan mungkin tidak pernah- jatuh. Aku tidak berani menunggu hingga angkutan ini menemukan titik tepi hingga akhirnya menurunkanku dalam keadaan kering. Aku memandang kakiku dan mulai melepas sepatu.

Dingin. Setidaknya sepuluh senti kakiku tenggelam. Tidak terlalu buruk bagiku. Kupegangi pinggiran badan angkutan berusaha tidak jatuh dan menjadi perhatian. Aku segera berlalu dan menyebrang. Jalan dua arah itu ternyata kering di satu sisinya sehingga aku tak perlu takut basah ketika aku tak tahan menahan sakit kepalaku dan akhirnya jatuh. Perlahan kakiku mulai menyentuh aspal dan kemudian itu terjadi begitu saja. Sebuah mobil yang tampaknya sedang terburu – buru menabrakku. Aku tercampak beberapa meter ke depan. Kepalaku membentur hebat di aspal. Aku berusaha bertahan, memegangi pandanganku yang goyang dan berbayang. Kumerasakan kakiku kaku. Kuperkirakan banyak darah yang mengalir. Hal terakhir yang aku ingat adalah: sepatuku terlepas dari pegangan dan kerumunan orang mulai berdatangan. Setelah itu pandanganku mulai mengabur dan menghitam.

Aku perlahan sadar. Sebuah lampu panjang mengabur di atas atap. Cahaya putih menyilaukan. Aku memegangi kepalaku yang masih saja terus bergoyang. Aku bergetar. Aku melihatnya. Aku tidak suka infus. Badanku lemas. Tanganku yang satunya tak dapat digerakkan. Aku sangat ketakutan.

Aku berusaha mengalihkan pandanganku ke arah yang lain. Berusaha membangkitkan otot – otot yang melembek. Aku mengatur nafas naik turun dengan rapi. Menghirupnya dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut.

Kini kupandangi lagi infus di tanganku. Tanganku yang satunya kuperintahkan untuk memegangnnya. Dia gemetar. Aku memejamkan mata. Meyakinkan semua akan baik – baik saja. Perlahan aku menariknya keluar berusaha dan tidak memikirkan rasa jarumnya. Tidak akan sakit walau sedikit aku meyakinkan. Aku berhasil. Aku menatap langit – langit lagi dengan nafas terengah. Aku tak ingin mengingatnya. Aku bisa – bisa mati begitu saja dalam gemetar.

Aku harus keluar. Kutegakkan badanku dan aku terpaku. Sesuatu menahanku. Sesuatu tidak ingin aku pergi dari sini. Kakiku tak bisa bergerak. Seseorang pasti telah mengekang kakiku dengan rantai atau besi di balik selimut ini. Aku mulai berpikir bahwa aku telah dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.

Aku membongkarnya. Selimut telah tersibak. Namun tak ada apa – apa disana. Hanya sepasang kaki. Aku berusaha mengangkatnya atau paling tidak berusaha untuk menggesernya. Aku tidak melihatnya bergerak atau bergerak sedikit pun. Kali aku berusaha lebih keras. Mengerahkan segala otot yang membentuk kakiku. Tapi hasilnya tetap nihil. Aku mulai merengek ketika aku tahu itu takkan pernah berhasil. Kupukul – pukul kakiku yang terlalu bodoh karena tidak mengikuti perintah tuannya. Tanpa sadar aku mulai menjerit diikuti tangis yang begitu mengerihkan. Menghadirkan mereka orang – orang berpakaian putih.


Sekarang inilah aku. Terbaring di rumah sakit dengan selang infus yang benar – benar aku tidak suka dan harus menerima bahwa aku telah kehilangan kedua kakiku.

Kini setelah menyelesaikan cerita yang sebenarnya tak perlu dikatakan –yang bagiku hanya sebuah penghilang rasa bosan- aku meletakkan buku dan penanya kembali ke atas rak dan balik memejam. Menanti waktu.


Penahan perih,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages