[Short Story] Camping

Cerita ini ditulis berdasarkan kejadian sebenarnya. Jadi, apa pun yang anda baca di dalamnya, jangan sampai terlalu larut dan membuat anda lupa diri.

        Akhirnya tiba, aku dan ketiga temanku disini setelah sebelumnya kehilangan seorang karena kesibukannya. Suasana rumah yang ramai berubah sunyi. Tak ada lagi suara boneka beruang yang bernyanyi jika perutnya ditekan. Ini adalah yang pertama bagiku dan dua orang temanku yang lainnya. Sementara bagi dia, orang tertinggi diantara kami, Andika, ini sudah menjadi santapan sehari - harinya. Suasana gunung ternyata lebih gelap dari yang aku bayangkan. Hanya ada cahaya remang yang berpendar dari rumah penjaga hutan dari kejauhan.
         Terlalu heboh untuk membawa orang imut masuk ke dalam malam. Kami memutuskan untuk beristirahat dan berangkat esok ketika pagi masih belum bisa melihat. Keputusan yang bijaksana, mengingat kondisi kaki yang telah melangkah sepuluh meter ke titik ini. Andika dibantu para kurcaci amatir, mencoba untuk membangun sebuah .... istana. Istana yang tingginya sekitar satu meter setengah itu terlihat biru dan terlalu sempit untuk berempat. Namun setelah satu persatu masuk ke dalam, ternyata tidak terlalu sempit, paling hanya sedikit sesak nafas, pusing plus mual - mual dan saling berebut "aKu..." sang selimut berkata.
        Malam itu begitu dingin bagaikan sedang menginap di kaki gunung. Entah berapa kali diriku terbangun karena diganggu dingin malam itu. Kutarik secercah harapan melalui sebuah selimut setebal sampul kebanyakan novel. Dengan gigi merinding aku mencoba untuk kembali memejam.
Pagi sudah tidak buta lagi, tapi belum ada yang meninggalkan tenda untuk memasak spageti, laper.... . Mataku yang sempat melebar, kini tertutup kembali, menunggu ada yang masak and langsung makan deh, hehe. Aku bangun lagi kemudian, kali ini benar - benar bangun, penghuni tenda sudah tidak ada. Mereka telah pergi. Aku pun segera membuka gerbang istana.
"Brak.!!" Mereka menatapku. Aku merasa aneh, firasatku enggak enak. Aku segera menghindar, mencari lowongan pekerjaan yang tersisa, masak mie? Dibantu sang ahli yang pandai membuat kompor tiruan, aku membuka bungkus mie dan .... pergi. Beberapa kali foto sana foto sini, menjadi objek baru yang menyenangkan sambil menunggu. Tak lama, ia matang. Sambil makan, gosip pun dimulai, berbagi pengalaman tentang tadi malam. Ternyata sepanjang malam tidak ada yang benar - benar tidur, sibuk dengan aktivitas malam masing - masing.
Setelah bibir panas, bagian pencuci piring pun mengambil posisi. Awalnya Roy yang turun tangan, namun aku gantikan sekalian menyapa lembut air, habisnya udah sekitar empat puluh tiga ribu dua ratus detik atau lebih tepatnya sudah tujuh ratus dua puluh menit kulit tak bersentuhan dengan air, hehe.
"Gile, dingin banget airnya, macem di pegunungan aja." Kulitku tersipu malu.
Sebelum naik, semua perlengkapan di check, tenda, pancak, panci, busi dan lain - lain la. Tak lupa, aku, Irvan and Roy Nawawy mampir di toilet, menyempatkan diri 'mencicipi' apa yang tersedia disana. Sedikit lega, serasa tidak ada tekanan. Benar – benar bermanfaat. Luar biasa.
Akhirnya kami naik. Perlahan langkah kami jauh meninggalkan basecamp. Awalnya terlihat meyakinkan, namun perlahan penderitaan semakin mendekat dan mulai menyatu dengan bayang kami. Di depan ada sebuah persimpangan, yang satu menuju air terjun dan yang satu menuju pos peristirahatan. Sungguh menggoda iman. Namun setelah mengadakan rapat sebentar –atau lebih tepatnya setelah mengembalikan meja – meja yang digunakan kepada para penduduk-, kami memutuskan untuk berbelok ke pos.
Di sini begitu unik. Beda. Dimana - mana ada pohon. Amazing.!! Beberapa belokan telah dilalui dengan aku di paling belakang dengan Irvan. Ketika itu, tanah disana begitu lembut, sehingga siapapun yang beruntung bisa jatuh terpeleset. Dan itu adalah aku. Untungnya aku tak sempat menyentuh tanah mengingat badanku yang sangat flesibel. Hanya kaki yang tergelincir beberapa senti dari jarak yang seharusnya. Sialnya waktu seakan berhenti, merasa lebih tertarik untuk memperhatikanku dari pada mengatur jarum di jam. Mereka tertawa. Tapi, tak apa lah, setidaknya sedikit ada tawa di hutan yang sepi itu –mencoba mencari alasan agar tak terlihat memalukan.
Sekitar dua belokan setelah tragedi mencengangkan yang hampir dimasukkan dalam salah satu tv swasta itu, akhirnya kami tiba di puncak kelelahan. Pos peristirahatan terlihat menggoda dengan daun – daun nipahnya yang meliuk – liuk. Memanfaatkan tempat pos sebaik – baiknya, itulah yang kami lakukan. Pernafasan yang sempat kacau, perlahan mulai tenang, normal, namun tak sempat berhenti. Tidur - tiduran di bawah pondok beralaskan kayu yang tidak begitu rapat, tidaklah terlalu berlebihan menurut kami -walau terasa sedikit sakit sih -_- - sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Rute selanjutnya adalah air terjun yang sebelumnya kami lewati, namun melihat mentari yang sudah meninggi dan perut yang sudah menangis, kami melewati jalan 'pintas'. Begitu curam, aku serasa mati melihat fobiaku itu. Adegan lompat - lompatan pun berkembang di daerah curam ini. Lubang dimana – mana. Salah langkah, mati buuuk :( . Aku yang tidak memakai high heels, maksudnya sandal gunung seperti mereka atau paling tidak sandal yang mirip gunung, harus menerima kenyataan ini. Urat sandalku putus. Beugh, terpaksa berjalan tanpa alas ne. Kakiku terasa bergetar dari awal jalan pintas hingga akhir. Namun, tak apa lah, suara air terjun yang menjerit terdengar menggoda dan meningkatkan nafsu untuk melanjutkan semuanya. Setelah cukup lama meniti, akhirnya kami sampai di depan air terjun.
Cipratan - cipratan air terjun yang terbang ke wajah, membuat semuanya tak sabar. Kami pergi ke air, sedikit tak peduli dengan barang - barang yang kami tinggalkan, bermain - main sebentar, mengambil foto, lempar - lemparan batu-batu besar, buang air, dan akhirnya semuanya terbalaskan. Rasa lelah ini, akhirnya tidur, digantikan rasa kagum akan sang alam. Merasa cukup puas, kami berbagi tugas. Sebagian bangun istana lipat dan sebagian memasak. Kali ini, kami ingin sedikit mengganti menu, setidaknya ada sayur tambahan yang hendak dimasak Roy.
"We dont have 'korek' anymore.!!" Masalah selalu hinggap dimana - mana, di rumah, sekolah, bahkan di hutan sekali pun. Seseorang harus turun ke basecamp untuk belanja. Roy dan Irvan diutus pergi sementara aku dan Andika harus mengurus tenda. Sudah lima belas menit, namun mereka belum muncul. Aku dan Dika cemas, khawatir jika mereka 'diculik' harimau atau pun kesasar ke rumah penduduk 'lokal' alias keselip diantara pepohonan. Kami mencoba bertahan dari kelaparan yang melanda.
Sepuluh telah menambah angka jam di bagian menit, tapi mereka belum juga muncul. Aku dan Dika pun berniat menyusul. Namun, ketika hendak meninggalkan tenda, mereka tiba dengan anggun. Pertanyaan kami langsung menyerbu mereka, namun jawaban mereka sedikit mengacaukan hari.
KAMI HARUS PINDAH DARI AIR TERJUN ITU.!! Petir terdengar menyambar di bagian barat Amerika. Kami saling bertatapan, memikirkan kata - kata yang diucapkan penjaga dibawah yang disampaikan secara baik berikut dengan mimiknya oleh kedua rekan kami itu.
Kami berencana pergi dari sana setelah makan siang. Semua dilakukan serba ekspres, tak ada yang namanya mengunyah makanan menurut aturan dokter disini.
Kini saatnya kami pergi, namun kakiku terasa sakit untuk menyentuh tanah. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan". Wah... kakiku penuh duri, sekitar ada empat disana. Dokter dari luar negeri pun datang dengan alat seadanya. Jarum. I hate it. Sekitar dua puluh menit –ditambah tiga puluh menit lagi untuk membujukku agar mau dioperasi- semuanya telah berlalu, tak ada duri lagi. Thanks to Dika.
Irvan meminjamkan sandalnya. Awalnya aku menolak, tapi ya sudah la, aku menolaknya :). Terlihat burung gagak hitam bertengger di salah satu dahan dengan kedua kakinya yang terlihat lebih kecil dari badannya. Begitu mencekam, belum lagi mama Royren berkata, 'akan ada bencana'. Aku memandang takut dirinya, bertanya dalam hati, apakah ia masih Roy yang sama.
Dengan cepat, kami pergi. Kami pergi melalui arah yang berbeda, kali ini kami menembus persimpangan yang kami jumpai pertama kali. Selanjutnya rute yang kami lalui sama ketika hendak ke pos 1, namun bedanya tidak ada yang terpeleset, hehe.
Udara pos 1 masih terasa segar, aku langsung lari ke pondok, memeriksa duri yang asyik bermain petak umpet di kakiku, sementara mereka, memasang tenda untuk malam nanti.
Api unggun telah berkobar, manghangatkan malam yang begitu beku. Roy sakit. Aku memilih untuk tetap berada di tenda untuk menemaninya selain merasa sedikit ngantuk. Tak lama, Irvan menyusul kami di dalam, merasa sedikit bosan mungkin diluar sana. Teman kami yang sebelumnya 'hilang', Asril, menakuti kami dari sms yang dikirimnya.
'Klen g' tau kan hutan ntu gmn?" Suasana berubah drastis. Hening. Hanya ada penjual sate yang lewat. Dika masuk, memecah pikiran kami yang telah terbang entah kemana.
Sekitar pukul delapan malam, kami tidur, merasa tidak ada yang bisa dilakukan lagi, no tv, no computer, yang ada hanya suara pohon yang berayun – ayun dengan kostum merah lengkap dengan jaring yang keluar dari tangan.
Aku terbangun di tengah malam. Samar - samar terdengar suara seorang perempuan. Tak jelas menangis atau tertawa –sepertinya mbak itu harus belajar artikulasi lagi-, yang pasti itu terdengar jauuuh sekali. Sesuatu yang tak bagus pasti sedang menunggu di depan tenda. Berdiri dengan rambut panjang yang jatuh ke bawah dengan tangan yang mengadah ke atas. Aku tahu itu. Tapi aku tidak terlalu peduli, aku masih ngantuk dan masih butuh istirahat sekitar empat jam enam belas menit lima puluh dua detik lagi, dan kesadaranku pun hilang.
Pagi telah datang, saatnya beres - beres. Semua telah selesai, kemah - kemahan ini sudah berakhir. Kami kembali ke rumah Dika and nginap pastinya. Embun yang selalu menyapa di antara dedaunan kini tak ada lagi. Suara – suara pohon yang menangis di malam hari hanya menjadi catatan tersendiri.
Esoknya, kami hendak berangkat ke Medan. Namun masalah datang lagi. Sesuatu telah tertinggal, bagian penting dari istana kami kemarin telah hilang. Situasi menjadi miring. Kami merasa sudah memasukkannya ke dalam tas. Seluruh barang yang dikeluarkan dikumpulkan kembali, diabsen, namun dirinya memang tidak kelihatan. Mau tidak mau, aku dan Dika harus kembali ke jalan pintas itu untuk memastikan.
Jalan pintas?!! NOT AGAIN.!!

....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages