[Movie Review] Jailangkung: Sandekala



Judul: Jailangkung: Sandekala

Sutradara: Kimo Stamboel

Pemain: Titi Kamal, Syifa Hadju, Dwi Sasono, Muzakki Ramdhan, Giulio Parengkuan, Mike Lucock, Pipien Putri, Teuku Rifnu Wikana

Genre: Horror

Durasi: 92 menit

Tahun Rilis: 2022

Platform OTT: -



"Seorang anak hilang tanpa meninggalkan jejak apapun kecuali sebuah jelangkung."



Rasanya tahun 2022 adalah tahunnya sutradara kenamaan Kimo Stamboel (DreadOut, Ratu Ilmu Hitam). Setelah kembali kondang berkat perilisan Ivanna di bulan Juli kemarin yang mendapat predikat film terlaris di jagat horor Danur, kini Kimo Stamboel merilis film terbarunya berjudul Jailangkung: Sandekala spin-off dari franchise Jailangkung yang diceritakan ulang oleh duo Rizal Mantovani (Kuntilanak, Mati Suri) dan Jose Poernomo (Angkerbatu, 308) lima tahun silam.


Salah satu hal yang mencuri perhatian dari Jailangkung: Sandekala sejak perilisan trailer-nya adalah penampakan senja di pinggir danau yang menawan, tidak heran jika Kinan (Muzakki Ramdhan) di dalam film diceritakan rela berjalan jauh menembus hutan demi menangkap momen berdua bersama senja sebelum akhirnya dinyatakan hilang.


Selain panorama senja, hal lain yang cukup menarik dari Jailangkung: Sandekala adalah konflik antara karakter Sandra (Titi Kamal) dan Niki (Syifa Hadju). Sangat disayangkan konflik ini tidak bertahan lama, tidak digali lebih dalam dan diselesaikan begitu saja saat kasus hilangnya Kinan sangat bisa dijadikan pemicu baru yang mampu menambah kompleksitas penceritaan film yang sederhana. 


Alih-alih menceritakan konsep permainan jelangkung yang sama sekali tanpa pembaharuan, Jailangkung: Sandekala mengambil sudut pandang lain terkait permainan ini. Mungkin kita sudah tahu bahwa jelangkung dipergunakan untuk berkomunikasi ataupun memanggil arwah orang mati, tetapi Jailangkung: Sandekala berinisiatif mengulik sedikit bagaimana cara arwah itu hadir. Penghormatan yang diberikan film ini ke film klasik Jelangkung (Rizal Mantovani dan Jose Poernomo, 2000) dengan sekilas menyebut tahun 2000 dalam dialog salah satu karakternya merupakan poin tersendiri, belum lagi ternyata mantra jelangkung yang digunakan adalah mantra yang sama yang dialihbahasakan.


Namun, menonton Jailangkung: Sandekala setelah melihat film-film arahan Kimo Stamboel lainnya tak dipungkiri seperti menuruni lereng bukit. Nuansa mencekam yang dihadirkan tidak sekuat saat kita menyaksikan Ivanna (2020) yang sukses membuat kita bergidik di paruh awal. Eksekusi CGI-nya tidak sehalus Ratu Ilmu Hitam (2019) ataupun DreadOut (2019) bahkan untuk menampilkan debu atau partikel-partikel udara yang berterbangan. 


Dalam penuturannya Jailangkung: Sandekala pun tampak kesulitan menjaga konsistensi cerita terutama terkait kemunculan penampakan dan hubungannya dengan boneka jelangkung. Beberapa bagian tidak digarap dengan baik sehingga tampak tidak believable termasuk klimaksnya. Adanya pengadeganan serupa film Ivanna yang tayang hanya dua bulan sebelum film ini dirilis menjadikan Jailangkung: Sandekala terlihat seperti Ivanna versi extended. Padahal kenyataannya Ivanna sendiri sudah cukup menjenuhkan di paruh akhir filmnya dengan gaya membunuh yang itu-itu saja akibat kurangnya kreativitas penulisan. Hal-hal ini kemudian menghalangi Jailangkung: Sandekala melahirkan narasi memikat terlebih dengan kisah misterinya yang predictable.


Jailangkung: Sandekala mungkin tampil jauh lebih baik dibanding entri terakhir di franchise Jailangkung, namun dengan keberadaan film-film Kimo Stamboel yang sudah-sudah, Jailangkung: Sandekala akan mudah dilupakan. (🎬 2.5 / 5)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages