[Short Story] Help

          Seorang pria membuka mata, namun gelap masih saja mengotorinya. Pria itu tidak buta, ia bisa menatap langit-langit kamar yang jarang dibersihkan beberapa waktu sebelum ini. Ia membuka-tutup kelopaknya berulang kali, mencoba meyakinkan diri bahwa ia benar melakukannya–membuka mata. Tapi tetap, yang ia lihat saat itu hanyalah samar-samar di kegelapan seakan tempatnya berada adalah partikel cincin Neptunus yang sangat hitam. Tubuhnya diam tak bergerak, tak tahu pasti apa yang ada di sana dan terjadi–selain udara beku dan belakang tubuhnya yang mulai terasa dingin. Kepalanya hanya bisa mengingat tentang bagaimana malam itu ia akhiri dengan tidur setelah bertelepon. Dan jika memang ini masih kamar miliknya, seharusnya ...
Kepalanya terbentur ketika mencoba bangun. Kerangka-kerangka besi berdenting di atasnya diikuti rasa sakit yang menempel di kening. Ia mengumpat, sementara tubuhnya kembali direbahkan dan tangannya mengelus-elus rasa sakit. Perlahan dengungan besi terdengar pelan.
Pria itu meraba benda yang menyakitinya dengan satu tangan–satu tangan lagi masih tinggal di kepala. Besi-besi dipasang horizontal di atasnya. Di antara setiap besi terdapat celah yang cukup lebar untuk merentangkan sebuah telapak tangan. Pria itu berpikir, bertanya-tanya itu apa dan dimana ia. Namun, tempat itu masih menutup identitas.
Mungkin ia bisa saja menunggu di bawah besi-besi itu tanpa melakukan apa-apa, tetapi sampai kapan? Ia menyeret tubuhnya ke satu sisi di samping. Berharap besi-besi ini memiliki ujung dan tidak mengurungnya seperti mayat yang dikubur. Kali ini pria itu menggunakan dua tangannya untuk keluar; meraba besi-besi di atas lalu menyeret tubuh ke samping.
Akhirnya ia bebas–setidaknya ia pikir begitu. Tak ada lagi besi-besi yang teraba oleh tangannya melainkan satu buah sisi dinding yang kasar dan lembab di samping. Tanpa menunggu, ia merapatkan tubuhnya ke sana, berdiri dengan berpegangan. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha membuatnya terbiasa dengan gelap. Tangannya meraba-raba ke depan–mungkin ia bisa menangkap sesuatu. Tidak ada apa-apa. Pria itu berjalan melalui dinding. Diikutinya permukaan aneh di belakangnya hingga tangannya mencapai sebuah lubang. Udara merembes.
Pemandangan hitam dengan beberapa bintik cahaya dari lampu-lampu rumah di kejauhan terlihat. Menerangi hanya beberapa bagian dekat mereka tanpa mengikutkan bangunan ini sebagai cakupannya. Bulan terbit setengah bundar malam itu.
Ini bukan kamarnya–ia memikirkan hal itu dalam kepala. Tetapi walaupun begitu, ia tetap akan mengenali bangunan ini. Berlantai dua, permukaan dinding yang kasar dan lembab, kerangka tempat tidur kosong yang mengurungnya–ia tahu itu sekarang–jendela tak bertirai tempat sekarang ia menatap, ilalang yang samar-samar bertiup dari bawah. Tidak salah lagi.
Pria itu memutar tubuhnya menghadap ruangan. Berjalan meraba (kakinya sekali tersandung ujung ranjang) menuju sebuah lemari kayu di samping tempat tidur yang ia yakin ada. Ia ingat sesuatu ada di sana setiap kali ia naik ke atas. Yang saat itu ingin ia bawa pulang namun diurungkan. Dan semoga saja orang lain melakukan hal sama.
Lentera membara. Ia menemukannya–lengkap dengan korek–persis dimana ia biasa melihat.
Pria itu menarik lenteranya ke atas kepala, membuat dirinya tanpa sengaja dikenali. Ia berambut lebat dengan satu hidung mancung. Tulang wajahnya tegas memanjang ke bawah dengan mata cokelat tua yang relatif kecil.
Kamar itu kosong. Tidak ada apa-apa kecuali kerangka tempat tidur dan lemari tua di sampingnya yang terlihat dalam remang kemerahan. Dinding-dinding mengelupas bersama lumut. Ia semakin yakin ia sedang berada di rumah itu. Di rumah yang ditinggal delapan belas bulan lalu oleh penghuninya untuk alasan pekerjaan. Letaknya cukup jauh dari rumah-rumah lain hingga kurang mendapat perhatian untuk sekadar tahu bagaimana keadaan tempat ini sekarang. Alhasil rumput-rumput tumbuh tinggi hampir di seluruh sudut lantai bawah rumah dan membuatnya layak dijadikan tempat pengasingan bagi mereka yang ingin bolos belajar, seperti dirinya. Tempat itu tenang–bagaimanapun.
Sinar bergerak. Melewati ambang pintu yang mengarah pada anak-anak tangga ke lantai bawah. Pria itu, bersama dengan pemikiran ‘bagaimana-ia-bisa-sampai-ke-sana-malam-ini’ memperhatikan langkah pulangnya. Ia turun.
Satu per satu ia meninggalkan jejaknya di belakang. Saat ia sibuk menatapi ujung tangga dan kakinya, ia merasakan sesuatu. Ia merasa ada seseorang yang mengawasinya di balik kegelapan entah dimana di bawah sana. Membuatnya terpaksa terhenti dan mengalihkan lenteranya menyeberangi pinggiran tangga dan membiaskan cukup cahaya.
Sebuah meja dan kursi-kursi makan terbengkalai. Satu di antara empat kursi jatuh ke lantai tanpa ada yang menaikkannya lagi. Beberapa binatang kecil berbulu terlihat menggerogoti sesuatu di sekitar meja. Pria itu menggeser lenteranya, dan satu sosok kecil tertangkap berlari menuju kegelapan lain agar tak terlihat. Ia mencoba memanggilnya namun tak ada jawaban, hanya ada gema dari ruang-ruang kosong.
Pria itu mengejar bocah kecil yang berlari menuju dapur rumah–mungkin ia tersesat. Namun tak menemukan apa-apa. Dapur itu kosong bersama dengan beberapa perlengkapan yang ditinggal oleh pemiliknya.
Ia ingin menyudahi pencarian ini, sebelum akhirnya sebuah lemari di bawah wastafel mengusik mata. Dengan ragu ia membungkuk, mengulurkan tangannya, dan membuka sebuah lemari yang mungkin saja ada seseorang di baliknya. Tapi kenyataannya kosong, hanya ada semak.
Pria itu berbalik. Berjaga-jaga mungkin anak kecil itu akan keluar sebentar lagi–entah dari mana–sembari tertawa karena sudah berhasil mengelabuinya, tapi itu hanya pemikirannya saja. Ia tidak menemukan apapun sampai sekembalinya ke ruang makan dan perlahan menuju satu ruang yang lebih besar.
Menurutnya ini adalah ruang keluarga. Ruang dimana keluarga sebelumnya berkumpul dan menonton acara bersama dengan televisi dan sofa yang diletakkan berseberangan. Saat pria itu meneranginya, satu sosok tertangkap di antara reman-remang. Seorang wanita tengah berdiri membelakangi, menghadap sudut rumah yang telah lama kosong dan mengelupas. Rambutnya hitam dan panjang berantakan. Pakaiannya kebaya dengan kaki yang ditutupi rumput-rumput liar.
Tak seperti bocah kecil di ruang makan, pria itu merasa tidak perlu mendekat kali ini. Orang-orang tersesat tidak mungkin seperti itu–diam menghadapi dinding. Ia menggiring lenteranya pergi, dan sesaat wanita itu terisak. Tangisan itu tidak keras, hanya kecil di kejauhan yang membuat bulu kuduk bergidik. Lirih. Sang pria menelan ludah, lalu menarik lenteranya kembali.
Wanita itu sudah pergi, namun tangisnya masih mengalun di antara ruang-ruang rumah yang ditinggalkan. Membisikkan ketakukan kepada siapapun yang mendengarkannya. Pria itu berubah panik, lenteranya bergoncang karena sibuk menerangi beberapa tempat dengan begitu cepat; mulai dari setiap sisi dinding-dinding yang kusam hingga langit-langit yang berlubang. Di sana! Di langit-langit! Wanita itu menatapinya dengan urat biru di wajah dan sepasang mata merah.
Di antara ketakutan, tanpa sengaja pria itu menyenggol sesuatu di kakinya. Sesuatu yang cukup besar untuk begitu saja diabaikan.
Seorang anak kecil sedang berjongkok membelakangi, sedang melakukan sesuatu yang mengeluarkan ngilu. Sempat terlintas bahwa ia mungkin bocah yang sebelumnya berlari tapi mungkin saja tidak. Tangannya menggaruk-garuk lantai dengan sebuah batu seakan dengannya ia ingin menciptakan satu pola. Saat pria itu memanggilnya, tangan anak itu seketika berhenti. Ia mengulurkan tangan–tanpa menoleh–dan menunjukkan batu itu padanya. Pria itu heran.
Bocah itu memalingkan wajahnya, menampakkan mata yang hilang satu dan darah yang mengalir lurus dari dalam. Pria itu terkejut, dan spontan mundur. Seketika batu di tangannya berubah menjadi biji mata.
Pria itu berlari. Menuju pintu utama yang tentu saja ia tahu dimana. Dicobanya untuk memutar-mutar knop tapi tidak bisa. Ia terkunci. Mereka tak akan membiarkannya keluar dari sana.
Ia menoleh ke belakang dengan ketakutan. Menerangi cakupan ruang tamu seluas yang ia bisa. Was-was karena mungkin saja mereka akan membuntuti. Tidak. Dua makhluk tadi tidak membuntutinya. Ini sesuatu yang lain. Sebuah tulisan HELP dari bahan darah kering tertera di dinding bata yang sudah hilang catnya. Menuntut rasa bersalah hari itu karena dia dengan begitu saja menghiraukan mereka.
Sesuatu bersuara, menyembul keluar dari ujung lain rumah yang bisa dilihatnya dengan mengalihkan lentera. Perlahan satu tubuh keluar dari kegelapan.
Ia seorang pria. Poninya hitam, luntur ke bawah. Mengenakan jas kelam yang tak lagi dikancing dengan kemeja putih di dalam. Sepatunya berdegup berat. Sang pria dan lentera membelalak.
Pria berjas hitam berlari dari tempatnya keluar, membuat pria ‘tak-bersalah’ segera berbalik dan mencoba memutar kembali knopnya–yang tentu saja masih tidak bisa. Seketika panik menghitamkan seluruh ruang jantung hingga semakin kuat berdetak. Selagi ketakutannya membayangkan setan yang semakin dekat, sesuatu bernafas di tengkuknya. Begitu dingin. Belum sempat ia melihat apa yang berlaku di belakang, kepalanya terputar. Lentera jatuh dan ruangan kembali gelap.

Pria itu tersentak. Kepalanya sedikit terangkat dari bantal saking terkejutnya sebelum akhirnya jatuh lagi. Matanya begitu saja membuka, menatap langit-langit kamar yang kusam karena jarang dibersihkan. Keringat keluar dari pori-pori keningnya bersama nafas sengal mulut.
Sekarang di kepalanya hanya ada mimpi buruk itu, tak peduli berapapun angka yang ditunjukkan kalendar atau jam dinding di hadapannya saat ini. ‘Mereka’ mendatanginya, ‘mereka’ memanggilnya.
Ia keluar dari kamarnya begitu bisa. Berlari melewati rumah-rumah penduduk lain di tengah malam hanya untuk mencapai sebuah kepastian.
Di halaman penuh ilalang milik bangunan tua yang hadir dalam mimpinya, pria itu tampak ragu sebelum akhirnya meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia harus masuk dan ini tinggal beberapa langkah lagi.
Mayat-mayat itu masih ada di dalam bangunan; di dapur dan di ruang keluarga. Mayat-mayat yang ia temukan tadi siang (seorang pengantin wanita yang tanpa sengaja dibunuh karena salah paham, seorang bocah kecil yang–tanpa diingini–menjadi saksi, dan sang pengantin pria yang menghabisi dirinya sendiri) namun tidak ia katakan pada siapapun. Ia berpikir dirinya akan mendapat banyak masalah jika mengatakannya pada orang-orang, terutama masalah membolos kelasnya selama ini. Lagi pula–pikirnya–kemungkinan orang lain akan datang tetap ada.
Lalu, tanpa membuang-buang waktu dengan menunggu salah seorang dari mereka bangkit dan mengejar, sang pria yang sebelumnya hidup bersama sebuah lentera di kegelapan keluar dari ruang bangunan yang lama ditinggalkan menuju ambang. Dan dengan bergetar, “Toloonggg!”
Suaranya menggema.

---

4 komentar:

  1. Dan ternyata itu sebuah mimpi. Huahaha

    BalasHapus
  2. deskripsinya terlalu banyak nih. gak apa apa sih, cuma tanpa dialog, rada bosan juga. terus berkarya ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau nulis emang jarang pakai dialog.. haha,
      oke. terima kasih mampir!

      Hapus

Pages