Perjalanan ini adalah
perjalanan ke sekian, dari banyak yang sudah kami lakukan agar semuanya tampak
baik-baik saja di luar. Aku bisa memandangi pepohonan dan orang-orang berlalu di
pinggir jalan dari dalam sini–dari balik kaca dan sandaran jok di sebelah sopir–kendaraan-kendaraan
yang terlewati ataupun sedang terparkir sejajar. Berharap semakin banyak hal terlihat,
semakin cepat pula aku melupakan permasalahan kami.
Aku dan Edi tak seharusnya
masih bersama, aku tahu itu, kami tahu. Sudah banyak hal terjadi,
pertengkaran-pertengkaran karena tidak lagi satu pemikiran. Edi menginginkanku
melepas pekerjaan, tinggal di rumah selama ia pergi bekerja dan anak-anak
mengunjungi sekolah, melakukan apa yang para istri kebanyakan lakukan; menjaga dan
merawat rumah. Aku tidak sependapat, aku berpikir sebaiknya aku tetap bekerja
dengan memanfaatkan pendidikanku yang jelas-jelas lebih tinggi darinya. Tanpa
bemaksud sombong, aku hanya ingin membantu. Aku mengatakan itu padanya.
Selain pemikiran
tentang orang-orang yang membicarakannya karena membiarkan seorang istri
bekerja kembali terungkit, yang menjadi pertimbangan keras untuknya adalah–menurutnya–sudah
saatnya bagiku untuk tinggal di rumah, menjaga anak-anak, menjaga Nanda. Ia menyebut-nyebut
tentang seorang ibu yang dibutuhkan oleh Nanda dan Bayu; seorang wanita yang
ada di saat anak-anak itu pulang, membantu mereka mengerjakan tugas. Bukannya
seseorang yang selalu pulang di sore hari dan malamnya terlalu kelelahan untuk
mendengarkan mereka. Mendengar itu aku spontan marah, aku tidak tahu mengapa.
Entah karena ini sudah terlalu rumit untuk diulang-ulang kembali setiap hari atau
perkataan Edi yang ada benarnya. Tanpa sengaja pemikiran itu masuk di antara
pemikiran kami yang kalut, lantas diutarakan untuk diperbincangkan dalam
suasana yang tiba-tiba saja hening. Aku yang pertama kali mengusulkan. Dan
entah kami harus bersyukur atau justru sebaliknya, saat itu juga kami
mengurungkan perceraian karena memikirkan satu hal: dua orang yang sekarang
saling duduk di pinggir menatapi jendela di bangku belakang. Sekarang, beginilah.
Kami tinggal bersama dalam sebuah mobil, hanya saja hidup terasa seperti
masing-masing dengan perasaan tak menyenangkan.
Hari ini tujuan perjalanan
kami adalah kebun binatang. Nanda, putriku yang berumur enam tahun, memintanya.
Ia begitu penasaran pada beberapa hewan yang ia baca kisah dongengnya di
pelajaran sekolah, pada kancil dan buaya, bangau, singa sang raja rimba, bahkan
landak. Ia ingin tahu bagaimana rupa asli dari mereka-mereka, apakah benar bisa
berbicara seperti yang dibacanya di dalam buku.
Kebun binatang itu
berjarak lebih dari satu jam (berkendara dengan sebuah mobil dan situasi ruas
jalan yang cukup padat) dari rumah kami. Di sepanjang perjalanan tidak ada yang
berbicara–aku dan Edi sudah membahasnya, tentang sikap sewajar mungkin di
hadapan anak-anak, hanya saja saat itu memang tidak ada hal di kepala kami yang
benar-benar ingin diutarakan–kecuali Nanda yang bertanya sesekali mengenai apa
yang dilihatnya dari balik jendela. Aku menyempatkan diri untuk menjawab dan
memperhatikan.
Parkiran kebun binatang
yang nyatanya adalah tepi badan jalan di seberang bangunan, telah disisipi
banyak mobil keluarga. Berbagai jenis mobil dari berbagai tahun berbaris (berusaha
untuk tetap berada di satu garis agar tidak mengganggu lalu lintas jalan)
sepanjang beberapa puluhan meter ke depan mulai dari simpang sebelum kebun
binatang itu ditemukan. Edi terpaksa melaju terus perlahan untuk melihat dimana
kami bisa menempatkan mobil. Dan itu berakhir cukup jauh dari pintu masuk.
Aku memegangi Nanda
saat kami ingin menyeberangi jalan. Sementara kakaknya, Bayu, melakukannya sendiri.
Anak pertamaku, Bayu,
ia pendiam tapi suka membangkang. Ia keras kepala seperti kedua orang tuanya
yang bahkan sampai sekarang belum bisa mengatasi masalah mereka. Tubuhnya
tinggi dan kurus. Suka mengenakan gabungan kaos dan juga celana ponggol (seperti
sekarang ini) yang dibelinya dengan uang sendiri. Umurnya lima belas.
Nanda adalah yang kedua
dan kupikir adalah yang terakhir–setidaknya jika hubungan ini terus berlanjut
dan tidak ada benar-benar solusi didapat. Banyak bertanya karena punya ingin
tahu yang tinggi. Berambut pendek keriting serta memiliki hidung pesek. Ia sedikit
tidak akur dengan kakaknya.
Selagi kami menunggu Edi
membeli tiket masuk, Nanda menunjuk-nunjuk pada penjual gulali; merah dan
lembut seperti kapas. Ia ingin satu, katanya. Tapi aku tidak memberinya,
mengingat mungkin saja ada sesuatu di merah-merah makanan itu yang tidak kami
pahami dan akan mengganggu kesehatan.
Untuk masuk ke dalam
bangunan kami dikenakan lima belas ribu rupiah per kepala, aku bisa mendengarnya
dari percakapan sepasang suami-istri muda yang baru saja melintas, dan Edi (aku
memperhatikannya, aku khawatir ia akan meninggalkan dompetnya di atas meja atau
tidak punya cukup uang di sana) tanpa ragu mengeluarkan dompet. Ia menerima
tiket dari sepasang tangan yang keluar dari balik kaca berongga, memasukkan
dompetnya kembali ke saku sementara tiket-tiket itu masih di genggaman, dan
mendorong bahu Bayu yang menemaninya agar mereka bergerak dari sana.
Para pengunjung masuk
dari sebuah pintu khusus yang dibedakan antara bagi yang pulang dengan yang
datang–jalan masuk adalah yang sebelah kanan. Satpam berseragam di depan pintu akan
memeriksa tiket, menghitung jumlahnya dan jumlah anggota kelompok yang dibawa apakah
sesuai. Setelahnya ia merobek sebagian tiket dan memberikan sisanya kepada
pemimpin kelompok. Liburan dimulai.
Sebuah aula menyambut
para pengunjung. Di dinding kiri-kanannya dipenuhi foto-foto dokumentasi
sementara ujung ruangan itu terbuka. Isinya–foto-foto dokumentasi itu–adalah
seorang pria berseragam cokelat muda lengkap dengan sepatu bot. Ia digambarkan
sedang melakukan berbagai aktivitas; menggendong seekor orang utan kecil, berdiri
dalam tempat dimana banyak burung-burung kecil berwarna, memberi makan seekor
kerbau, melilitkan seekor ular sawah di leher. Semua diabadikan dalam bingkai
kayu berukuran dua–atau bahkan tiga–jengkal jari orang dewasa.
Ujung aula yang tak
berdinding di utara seakan menjadi gerbang, sebuah perbatasan antara kehidupan
hiruk-pikuk kota dengan alam yang begitu santai di bawah kesejukan. Sesaat
suara-suara merdu kehidupan tenteram menyengat. Pemandangannya hijau dengan banyak
pohon besar kecil di pinggir-pinggir jalan setapak yang mereka bangun dengan
blok-blok bata.
Sebuah peta yang memuat
keseluruhan areal kebun binatang terpampang dalam sebuah tiang yang bisa ditemukan
siapapun yang masuk ke sana. Diletakkan cukup tinggi hingga membuatku–tinggi 174
cm–sedikit mendongak. Bentuk tempat itu digambarkan mirip persegi panjang
dengan beberapa garis di dalam yang membagi-baginya dalam beberapa area yang
lebih spesifik. Gambar aneka hewan berukuran kecil diletakkan di masing-masing
tempat sesuai aslinya sebagaimana seharusnya akan kita temukan di luar sini,
sebagai contoh, singa ada cukup jauh di arah pukul dua belas (ada beberapa
areal yang memisahkan tempat itu dengan kami, yaitu unggas dan ular), komodo di
pukul tiga dari ular, rusa di pukul enam komodo. Sebuah keterangan
gambar–diletakkan di bagian bawah peta–membantu pengunjung yang kesulitan untuk
mengenali mereka. Tapi tetap saja, peta itu tidak menggambarkan begitu detail
lingkungannya termasuk jalan tangga yang yang harus dilalui jika ingin menuju
kumpulan unggas di depan.
Dari tempat kami
sekarang (tepat di depan peta), sebenarnya ada tiga arah yang memungkinkan
untuk dilewati. Ada simpang kiri dan kanan yang sama-sama menuju pada sekumpulan
burung berwarna, dan sebuah jalan menurun di depan. Walau pada akhirnya kami
akan melihat semua kandang-kandang itu, aku tetap bertanya kepada Nanda mana
yang ingin ia lihat lebih dulu–sambil menjelaskan apa-apa saja yang akan
ditemuinya di setiap rute. Lalu ia memilih kiri.
Aku menatap Edi di
belakang sejenak. Sebenarnya ingin mengatakan bahwa kami berdua–aku dan
Nanda–akan pergi memandangi burung-burung di jalur kiri hingga mereka tahu
harus kemana nanti mencari. Tetapi saat ini ia tidak sedang menatap kami
melainkan ke arah orang-orang ataupun pepohonan di bawah dan aku terlalu enggan
mengganggunya, lantas memutuskan pergi tanpa permisi–tapi belakangan aku
melihat mereka mengikuti, entah karena Bayu yang menyadari kepergian kami atau justru dirinya sendiri.
Setelah cukup berlari-lari
(aku sudah memperingatkannya untuk berjalan saja, namun ia tidak mendengarkan) Nanda
berhenti di sebuah kandang besi berongga persegi panjang hampir di seluruh
sisinya. Ia sibuk memandangi burung-burung berwarna merah, hijau, ataupun
kuning dari tempatnya: mereka yang melompat-lompat dari sisi dahan yang satu ke
yang lain, menggigiti bulu-bulu badan mereka sendiri dengan paruh kecil.
Ia–anakku itu–mengitari kandang-kandang dengan cepat, seakan (hanya) ada satu
poin yang ingin dilihatnya di sana dan dalam sekejap saja bisa menentukan
apakah ia menemukannya atau tidak. Sebelum aku menyadarinya–burung-burung ini
terlalu indah–Nanda sudah beralih pada burung berwarna di kandang lain dan
banyak elang di kandang seberang.
Seekor kucing hutan tidur
di ujung dinding kandang yang terpisah dari para burung. Bulunya lebat, gelap,
dan tampak kasar dengan sepasang telinga lancip yang besar. Di sebelahnya ada
sebuah kandang yang dibiarkan kosong–mungkin pemiliknya belum tahu ingin
mengisi apa–sebelum akhirnya kita menemukan seekor sigung bersembunyi di rumahnya
(berupa semen yang dibentuk menyerupai atap) di dalam kandang. Ia sedang
bermalas-malasan. Beberapa unta, zebra, dan kerbau dibiarkan pada hamparan tanah
cokelat kemerahan yang keras di sisi kanan sebelum kita menemukan sudut pertama
dari persegi panjang kebun binatang ini. Mereka berjalan malas di areal
masing-masing yang setiap pinggirannya disekat besi-besi besar yang panjang dan
jarang, makan sayur pemberian pengunjung, ataupun hanya berdiam diri. Di
seberang lapangan (jika kau memang membayangkan tempat ini sebagai persegi
panjang, maka areal yang dimaksud berada di bagian ‘lebar’) terdapat sekumpulan
orang utan di banyak kandang. Suara mereka begitu riuh, teriakan mereka. Para
pendatang melempari mereka kacang rebus yang sebelumnya sempat dibeli di depan
gedung.
Aku menghampiri mereka,
orang utan itu. Penasaran mengapa ia begitu ribut tidak seperti banyak hewan di
balik kandang lain yang hanya bermalasan karena tidak suka dipandangi. Apakah
mereka senang atau apakah mereka menyuarakan kebebasan yang dituntut. Di antara
mereka, aku menemukan satu yang menggelantung berpegangan di depan kandang,
menatapiku, seakan mengharap sesuatu (banyak yang bertingkah seperti itu tapi
aku melihat ini sedikit berbeda). Seseorang melemparinya kacang, namun ia hanya
berkedip karena udara cepat yang melesat dekat matanya. Dia tidak menangkap,
atau setidaknya berusaha. Saat itu entah kenapa tiba-tiba saja aku seakan bisa
mendengarnya bersuara dari raut wajah yang melengkung muram–atau perasaanku saja
yang terlalu menginginkan seseorang mengatakannya, namun karena tidak ada satupun
aku menggantinya dengan sosok orang utan di hadapanku ini.
Kau
apa kabar? Aku harap kau baik-baik saja–karena aku tahu bagaimana rasanya. Kau
tak perlu malu mengakui (tidak akan ada orang mendengar), bahwa kita sama. Ada
sesuatu yang kita pikirkan ketika orang-orang ini tak lagi memperhatikan. Kebebasan,
melakukan hal-hal yang kita suka. Bedanya, kandangmu mungkin tak terlihat. Tidak,
tidak. Aku salah. Aku bisa melihat kandangmu, dengan jelas, anak-anak itu. Jangan
biarkan orang-orang itu mengurungmu, mengambil keputusan yang seharusnya
menjadi hakmu. Kau harus pergi dan keluar. Masalah anak-anak itu–yang selama
ini kau takutkan–kau bisa mengunjungi mereka setiap bulan atau mungkin minggu
untuk memberi pengertian. Yang kau butuhkan sekarang hanyalah keberanian untuk
melakukan, setelahnya akan mudah. Pikirkanlah ini–nasihatku. Jika kau tidak
melakukannya, kau akan sepertiku, seperti kami: terkurung di dalam kandang selamanya.
Aku berbalik (mengarah
ke jalan). Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kata-kata itu, aku tidak ingin dia
menyelesaikannya–siapapun itu. Tidak,
tidak boleh. Nanda. Bayu. Mereka membutuhkanku. Sesaat aku hilang kendali
akan berbuat apa. Kakiku melangkah seenaknya ke jalan dimana orang-orang ramai
menjejakkan tubuh mereka. Ketika itulah seseorang yang begitu terburu-buru dalam
berjalan menabrakku dari samping. Aku hampir saja jatuh ke jalanan bata jika
tidak ada Bayu yang memegangi.
“Hati-hati kalau
jalan!” Aku mendengar Bayu berteriak kepadanya, seorang pria (aku memutuskan
menyebutnya pria setelah melihat langkahnya yang tegas) berpakaian jaket
abu-abu bertudung. Ia tidak menanggapi walau sekadar menoleh. Bayu bergerak,
ingin melakukan sesuatu kepada sikap pria itu, tapi aku menahannya.
“Ibu tidak apa-apa.” Suaraku
terdengar pelan dan parau.
“Kau tidak apa-apa?” Edi.
Kurasa ia mendengar teriakan Bayu dan segera datang ke sana secepat yang ia
bisa. Ia memegangi dua tanganku dan membantu bangkit, seakan tahu aku sangat
memerlukannya kala itu.
“Dimana Nanda?” Aku
bertanya.
Ia tidak berkata-kata
apapun dalam waktu sekian detik, hanya memandangi dengan ekspresi yang kupikir
khawatir dengan kondisiku saat ini. Lalu kulihat kepalanya mulai bergerak,
menunjukkan satu arah yang langsung kuikuti. Aku menemukan Nanda sedang menatap
sebuah kandang di sana. Diam, cukup lama–tak seperti saat ia memandangi kandang-kandang
lain.
“Dia sedang melihat
zebra.”
Kulepas genggaman Edi
dari tanganku, lalu perlahan beranjak menuju Nanda untuk menemaninya. Langkahku
tak mulus. Aku hampir saja jatuh dan untuk kedua kali seseorang di sana; Edi menangkapku.
Aku meyakinkan diri untuk bangkit, lepas, dan pergi. Kali ini dengan langkah
lebih perlahan.
Saat aku tiba dan
bersandar ke kandang, anak itu bahkan tidak menoleh. Ia seakan terhipnotis oleh
belang hitam-putih yang ada di tubuh mamalia itu. Aku menatapnya.
Angin menerpa kami,
menggulung-gulung poni agar terbang ke belakang. Aku bisa merasakannya sambil
menyipitkan mata dari debu. Udara, kebebasan sejati. Edi menyusul kenyamanan,
ia berdiri di bagian pagar dimana menjadikan Nanda terapit oleh keberadaan kami
berdua. Aku bisa melihatnya.
“Kau ingin memegang
mereka?” Ia berkata untuk Nanda.
Nanda mengamati ayahnya,
cukup lama sebelum akhirnya ia menggelengkan kepala dan kembali pada sang zebra.
Edi tak ingin kalah, lantas mengelus punggung hewan itu sambil tersenyum
menatapi agar anak itu merasa iri. Ia juga mengatakan hal-hal tentang mereka, zebra-zebra
ini. Bahwa mereka adalah hal baik yang takkan melakukan sesuatu yang buruk
kepadanya–aku bisa melihat usahanya, ia bersungguh-sungguh. Tapi kelihatannya
anak perempuan kami memang tidak ingin melakukannya.
Sebelum menemui sudut kebun
binatang yang menggiring kita pada bagian ‘panjang’ kedua (ada dua ‘panjang’
pada suatu persegi panjang, dan jika bagian ‘panjang’ pertama adalah bagian
dimana burung-burung berwarna-warni ditempatkan, maka bagian ‘panjang’ kedua yang
terdapat anoa–jika digambarkan–akan berada tepat di seberangnya sementara
‘lebar’ pertama adalah tempat dimana para orang utan memekik), terdapat sebuah
jalur memotong di antara sudut pertama dan kedua. Di jalur memotong itu kami
menemukan beberapa merak. Sebagian dari mereka dengan bangga membuka layar di
ekornya–terlihat seperti kipas besar–hingga terlihat begitu megah dengan semacam
‘mata’ tergambar di ujungnya. Bulu-bulu mereka berwarna begitu menakjubkan.
Bayu kami temukan
sedang berhenti di sebuah kandang. Saat aku dan Nanda memutuskan melongok ke
dalam ternyata itu adalah sebuah kubangan. Buaya. Bayu diam memperhatikan
mereka yang berendam di dalam air tanah sementara hanya sedikit bagian dari
mereka yang terlihat: ujung punggung yang berkulit keras, moncong dengan
sederetan gigi besar menganga ke atas, ekor yang memanjang ke bagian kandang
yang tidak terendam air. Mereka terlihat mati, buaya-buaya itu. Tak bergerak
sama sekali. Edi menghampiri anak lelakinya, menepuk punggungnya, dan bercakap-cakap
entah mengenai apa di pinggiran. Tawa mengikuti mereka.
Selanjutnya ada sepetak
areal landak. Tubuh mereka segenggam atau dua dengan bulu duri yang sedang
tidak menaik. Mereka berlari dengan kaki-kaki kecil di atas lantai semen,
bersembunyi–dari para pengunjung–di balik pipa-pipa besar yang sengaja
diletakkan untuk mereka. Pelikan-pelikan hidup di kandang sebelah kanan yang berisi
air, sebuah pohon bercabang besar, dan juga ‘pulau’. Cukup besar untuk memuat
lebih dari delapan ekor pelikan sekaligus. Mereka berdiri-diri dengan kaki kurus,
berenang, bahkan terbang di dalam sangkar, merenggut perhatian. Sesekali mulut pelikan-pelikan
berkantong yang lapar masuk ke dalam air dan meraup apa yang bisa mereka telan.
Tak jauh di depan ada
sebuah taman kosong tanpa kandang (hanya halaman bata dan juga beberapa pohon
besar serta patung hewan di sebagian sisi) dimana orang-orang bisa duduk di atas
tikar yang mereka sewa–kuperkirakan taman ini terletak di tengah kebun
binatang, di tengah persegi panjang. Memperhatikan jalan setapak yang dilalui
orang-orang di depan, belakang, kiri, ataupun kanan. Beristirahat. Aku
menghampiri sebuah dudukan semen tinggi di dekat setapak yang kami lewati.
Tak lama, Edi dan dua
anakku menyusul. Nanda menarik lenganku dan mengajak untuk kembali berjalan. Ia
merengek ingin melihat sisa binatang lain yang belum dikunjunginya hari itu.
Aku ingin menolaknya dengan lembut, tapi kuurungkan. Edi telah angkat bicara,
mewakili. Ia berkata sebaiknya ia–anak kami itu–pergi bersama kakaknya
sementara ia menjagaku beristirahat.
“Kami sudah tua,”
candanya.
Nanda ragu apakah
mereka bisa melakukannya berdua–ia dan Bayu–melihat ketidakakuran mereka selama
ini. Ia dengan nada lebih pelan mengajakku berulang kali untuk bangkit. Bayu
berkata, ia mengajak adiknya untuk pergi melihat-lihat. Nanda hening, lalu mulai
melepaskan ajakannya dari lenganku dan mengikuti kakak yang menuntun bahunya. Perlahan
mereka berlalu dalam jalan setapak, tampak akrab.
Ada hawa kosong singgah
di antara aku dan Edi setelah anak-anak kami hilang di antara gerombolan orang–kami
duduk berdampingan. Jejak di bata, tawa, kekaguman pengunjung, dan aneka suara
penghuni areal terdengar mengisi ruang tanpa kami. Aku bisa merasakannya,
benar-benar. Gelisah. Aku mengalihkan pandangan pada orang-orang yang berlalu
di atas, di tempat burung-burung berwarna berkicau dari balik sangkar.
Menghitung dalam hati jika ini terlalu lama (keheningan ini) aku akan pergi.
Tapi dia, Edi, menyadari itu. Ada hal yang harus dibicarakan.
---
Next
On ‘In Cage (Part 2)’ in January:
“Aku minta maaf jika
selama ini terlalu memaksa dan keras kepala.”
“Seharusnya aku,”
kataku menjawab. “Aku tidak seharusnya egois dan mendengarkanmu sejak dulu.
Jika dipikir-pikir tidak ada buruknya berhenti bekerja untuk alasan yang jelas
baik–menjaga anak-anak.”
Nanda sedang mengamati
sekumpulan komodo yang berjalan lambat di kandang ujung jalan yang nantinya
menghubungkan jalan ini dengan bagian ‘lebar’ kedua kebun binatang–tubuhnya
menyampingiku. Sendirian. Saat kuhampiri dan kutanya tentang kakaknya, Nanda
menunjuk pada deretan ruang kecil berpintu biru di seberang kolam. Kamar mandi.
Bayu keluar dari sana. Ia tidak menatap kami, ia berhenti di samping depan
ruangan itu dengan sesuatu yang baru saja didapatnya dari saku. Telepon
genggam. Aku bisa melihat benda itu kemudian jatuh–mungkin tangannya masih
terlalu basah atau ia terlalu buru-buru melakukannya, membalas pesan. Bayu
menunduk untuk mengambilnya, dan hal itu terjadi.
Di antara banyak
manusia, aku bisa melihatnya yang mencolok di seberang kolam. Kebuasan.
Hewan-hewan keluar dari kandangnya.
“Bayu, lari!”
Saat aku dan Nanda
melintas ingin keluar, tanpa sengaja aku mendengar dua orang petugas bercakap.
Tentang seorang pria yang mereka temukan di bangku taman. Tercabik-cabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar