[Short Story] In Cage (Part 1)

Perjalanan ini adalah perjalanan ke sekian, dari banyak yang sudah kami lakukan agar semuanya tampak baik-baik saja di luar. Aku bisa memandangi pepohonan dan orang-orang berlalu di pinggir jalan dari dalam sini–dari balik kaca dan sandaran jok di sebelah sopir–kendaraan-kendaraan yang terlewati ataupun sedang terparkir sejajar. Berharap semakin banyak hal terlihat, semakin cepat pula aku melupakan permasalahan kami.
Aku dan Edi tak seharusnya masih bersama, aku tahu itu, kami tahu. Sudah banyak hal terjadi, pertengkaran-pertengkaran karena tidak lagi satu pemikiran. Edi menginginkanku melepas pekerjaan, tinggal di rumah selama ia pergi bekerja dan anak-anak mengunjungi sekolah, melakukan apa yang para istri kebanyakan lakukan; menjaga dan merawat rumah. Aku tidak sependapat, aku berpikir sebaiknya aku tetap bekerja dengan memanfaatkan pendidikanku yang jelas-jelas lebih tinggi darinya. Tanpa bemaksud sombong, aku hanya ingin membantu. Aku mengatakan itu padanya.
Selain pemikiran tentang orang-orang yang membicarakannya karena membiarkan seorang istri bekerja kembali terungkit, yang menjadi pertimbangan keras untuknya adalah–menurutnya–sudah saatnya bagiku untuk tinggal di rumah, menjaga anak-anak, menjaga Nanda. Ia menyebut-nyebut tentang seorang ibu yang dibutuhkan oleh Nanda dan Bayu; seorang wanita yang ada di saat anak-anak itu pulang, membantu mereka mengerjakan tugas. Bukannya seseorang yang selalu pulang di sore hari dan malamnya terlalu kelelahan untuk mendengarkan mereka. Mendengar itu aku spontan marah, aku tidak tahu mengapa. Entah karena ini sudah terlalu rumit untuk diulang-ulang kembali setiap hari atau perkataan Edi yang ada benarnya. Tanpa sengaja pemikiran itu masuk di antara pemikiran kami yang kalut, lantas diutarakan untuk diperbincangkan dalam suasana yang tiba-tiba saja hening. Aku yang pertama kali mengusulkan. Dan entah kami harus bersyukur atau justru sebaliknya, saat itu juga kami mengurungkan perceraian karena memikirkan satu hal: dua orang yang sekarang saling duduk di pinggir menatapi jendela di bangku belakang. Sekarang, beginilah. Kami tinggal bersama dalam sebuah mobil, hanya saja hidup terasa seperti masing-masing dengan perasaan tak menyenangkan.
Hari ini tujuan perjalanan kami adalah kebun binatang. Nanda, putriku yang berumur enam tahun, memintanya. Ia begitu penasaran pada beberapa hewan yang ia baca kisah dongengnya di pelajaran sekolah, pada kancil dan buaya, bangau, singa sang raja rimba, bahkan landak. Ia ingin tahu bagaimana rupa asli dari mereka-mereka, apakah benar bisa berbicara seperti yang dibacanya di dalam buku.
Kebun binatang itu berjarak lebih dari satu jam (berkendara dengan sebuah mobil dan situasi ruas jalan yang cukup padat) dari rumah kami. Di sepanjang perjalanan tidak ada yang berbicara–aku dan Edi sudah membahasnya, tentang sikap sewajar mungkin di hadapan anak-anak, hanya saja saat itu memang tidak ada hal di kepala kami yang benar-benar ingin diutarakan–kecuali Nanda yang bertanya sesekali mengenai apa yang dilihatnya dari balik jendela. Aku menyempatkan diri untuk menjawab dan memperhatikan.
Parkiran kebun binatang yang nyatanya adalah tepi badan jalan di seberang bangunan, telah disisipi banyak mobil keluarga. Berbagai jenis mobil dari berbagai tahun berbaris (berusaha untuk tetap berada di satu garis agar tidak mengganggu lalu lintas jalan) sepanjang beberapa puluhan meter ke depan mulai dari simpang sebelum kebun binatang itu ditemukan. Edi terpaksa melaju terus perlahan untuk melihat dimana kami bisa menempatkan mobil. Dan itu berakhir cukup jauh dari pintu masuk.
Aku memegangi Nanda saat kami ingin menyeberangi jalan. Sementara kakaknya, Bayu, melakukannya sendiri.
Anak pertamaku, Bayu, ia pendiam tapi suka membangkang. Ia keras kepala seperti kedua orang tuanya yang bahkan sampai sekarang belum bisa mengatasi masalah mereka. Tubuhnya tinggi dan kurus. Suka mengenakan gabungan kaos dan juga celana ponggol (seperti sekarang ini) yang dibelinya dengan uang sendiri. Umurnya lima belas.
Nanda adalah yang kedua dan kupikir adalah yang terakhir–setidaknya jika hubungan ini terus berlanjut dan tidak ada benar-benar solusi didapat. Banyak bertanya karena punya ingin tahu yang tinggi. Berambut pendek keriting serta memiliki hidung pesek. Ia sedikit tidak akur dengan kakaknya.
Selagi kami menunggu Edi membeli tiket masuk, Nanda menunjuk-nunjuk pada penjual gulali; merah dan lembut seperti kapas. Ia ingin satu, katanya. Tapi aku tidak memberinya, mengingat mungkin saja ada sesuatu di merah-merah makanan itu yang tidak kami pahami dan akan mengganggu kesehatan.
Untuk masuk ke dalam bangunan kami dikenakan lima belas ribu rupiah per kepala, aku bisa mendengarnya dari percakapan sepasang suami-istri muda yang baru saja melintas, dan Edi (aku memperhatikannya, aku khawatir ia akan meninggalkan dompetnya di atas meja atau tidak punya cukup uang di sana) tanpa ragu mengeluarkan dompet. Ia menerima tiket dari sepasang tangan yang keluar dari balik kaca berongga, memasukkan dompetnya kembali ke saku sementara tiket-tiket itu masih di genggaman, dan mendorong bahu Bayu yang menemaninya agar mereka bergerak dari sana.
Para pengunjung masuk dari sebuah pintu khusus yang dibedakan antara bagi yang pulang dengan yang datang–jalan masuk adalah yang sebelah kanan. Satpam berseragam di depan pintu akan memeriksa tiket, menghitung jumlahnya dan jumlah anggota kelompok yang dibawa apakah sesuai. Setelahnya ia merobek sebagian tiket dan memberikan sisanya kepada pemimpin kelompok. Liburan dimulai.
Sebuah aula menyambut para pengunjung. Di dinding kiri-kanannya dipenuhi foto-foto dokumentasi sementara ujung ruangan itu terbuka. Isinya–foto-foto dokumentasi itu–adalah seorang pria berseragam cokelat muda lengkap dengan sepatu bot. Ia digambarkan sedang melakukan berbagai aktivitas; menggendong seekor orang utan kecil, berdiri dalam tempat dimana banyak burung-burung kecil berwarna, memberi makan seekor kerbau, melilitkan seekor ular sawah di leher. Semua diabadikan dalam bingkai kayu berukuran dua–atau bahkan tiga–jengkal jari orang dewasa.
Ujung aula yang tak berdinding di utara seakan menjadi gerbang, sebuah perbatasan antara kehidupan hiruk-pikuk kota dengan alam yang begitu santai di bawah kesejukan. Sesaat suara-suara merdu kehidupan tenteram menyengat. Pemandangannya hijau dengan banyak pohon besar kecil di pinggir-pinggir jalan setapak yang mereka bangun dengan blok-blok bata.
Sebuah peta yang memuat keseluruhan areal kebun binatang terpampang dalam sebuah tiang yang bisa ditemukan siapapun yang masuk ke sana. Diletakkan cukup tinggi hingga membuatku–tinggi 174 cm–sedikit mendongak. Bentuk tempat itu digambarkan mirip persegi panjang dengan beberapa garis di dalam yang membagi-baginya dalam beberapa area yang lebih spesifik. Gambar aneka hewan berukuran kecil diletakkan di masing-masing tempat sesuai aslinya sebagaimana seharusnya akan kita temukan di luar sini, sebagai contoh, singa ada cukup jauh di arah pukul dua belas (ada beberapa areal yang memisahkan tempat itu dengan kami, yaitu unggas dan ular), komodo di pukul tiga dari ular, rusa di pukul enam komodo. Sebuah keterangan gambar–diletakkan di bagian bawah peta–membantu pengunjung yang kesulitan untuk mengenali mereka. Tapi tetap saja, peta itu tidak menggambarkan begitu detail lingkungannya termasuk jalan tangga yang yang harus dilalui jika ingin menuju kumpulan unggas di depan.
Dari tempat kami sekarang (tepat di depan peta), sebenarnya ada tiga arah yang memungkinkan untuk dilewati. Ada simpang kiri dan kanan yang sama-sama menuju pada sekumpulan burung berwarna, dan sebuah jalan menurun di depan. Walau pada akhirnya kami akan melihat semua kandang-kandang itu, aku tetap bertanya kepada Nanda mana yang ingin ia lihat lebih dulu–sambil menjelaskan apa-apa saja yang akan ditemuinya di setiap rute. Lalu ia memilih kiri.
Aku menatap Edi di belakang sejenak. Sebenarnya ingin mengatakan bahwa kami berdua–aku dan Nanda–akan pergi memandangi burung-burung di jalur kiri hingga mereka tahu harus kemana nanti mencari. Tetapi saat ini ia tidak sedang menatap kami melainkan ke arah orang-orang ataupun pepohonan di bawah dan aku terlalu enggan mengganggunya, lantas memutuskan pergi tanpa permisi–tapi belakangan aku melihat mereka mengikuti, entah karena Bayu yang menyadari kepergian kami atau  justru dirinya sendiri.
Setelah cukup berlari-lari (aku sudah memperingatkannya untuk berjalan saja, namun ia tidak mendengarkan) Nanda berhenti di sebuah kandang besi berongga persegi panjang hampir di seluruh sisinya. Ia sibuk memandangi burung-burung berwarna merah, hijau, ataupun kuning dari tempatnya: mereka yang melompat-lompat dari sisi dahan yang satu ke yang lain, menggigiti bulu-bulu badan mereka sendiri dengan paruh kecil. Ia–anakku itu–mengitari kandang-kandang dengan cepat, seakan (hanya) ada satu poin yang ingin dilihatnya di sana dan dalam sekejap saja bisa menentukan apakah ia menemukannya atau tidak. Sebelum aku menyadarinya–burung-burung ini terlalu indah–Nanda sudah beralih pada burung berwarna di kandang lain dan banyak elang di kandang seberang.
Seekor kucing hutan tidur di ujung dinding kandang yang terpisah dari para burung. Bulunya lebat, gelap, dan tampak kasar dengan sepasang telinga lancip yang besar. Di sebelahnya ada sebuah kandang yang dibiarkan kosong–mungkin pemiliknya belum tahu ingin mengisi apa–sebelum akhirnya kita menemukan seekor sigung bersembunyi di rumahnya (berupa semen yang dibentuk menyerupai atap) di dalam kandang. Ia sedang bermalas-malasan. Beberapa unta, zebra, dan kerbau dibiarkan pada hamparan tanah cokelat kemerahan yang keras di sisi kanan sebelum kita menemukan sudut pertama dari persegi panjang kebun binatang ini. Mereka berjalan malas di areal masing-masing yang setiap pinggirannya disekat besi-besi besar yang panjang dan jarang, makan sayur pemberian pengunjung, ataupun hanya berdiam diri. Di seberang lapangan (jika kau memang membayangkan tempat ini sebagai persegi panjang, maka areal yang dimaksud berada di bagian ‘lebar’) terdapat sekumpulan orang utan di banyak kandang. Suara mereka begitu riuh, teriakan mereka. Para pendatang melempari mereka kacang rebus yang sebelumnya sempat dibeli di depan gedung.
Aku menghampiri mereka, orang utan itu. Penasaran mengapa ia begitu ribut tidak seperti banyak hewan di balik kandang lain yang hanya bermalasan karena tidak suka dipandangi. Apakah mereka senang atau apakah mereka menyuarakan kebebasan yang dituntut. Di antara mereka, aku menemukan satu yang menggelantung berpegangan di depan kandang, menatapiku, seakan mengharap sesuatu (banyak yang bertingkah seperti itu tapi aku melihat ini sedikit berbeda). Seseorang melemparinya kacang, namun ia hanya berkedip karena udara cepat yang melesat dekat matanya. Dia tidak menangkap, atau setidaknya berusaha. Saat itu entah kenapa tiba-tiba saja aku seakan bisa mendengarnya bersuara dari raut wajah yang melengkung muram–atau perasaanku saja yang terlalu menginginkan seseorang mengatakannya, namun karena tidak ada satupun aku menggantinya dengan sosok orang utan di hadapanku ini.
Kau apa kabar? Aku harap kau baik-baik saja–karena aku tahu bagaimana rasanya. Kau tak perlu malu mengakui (tidak akan ada orang mendengar), bahwa kita sama. Ada sesuatu yang kita pikirkan ketika orang-orang ini tak lagi memperhatikan. Kebebasan, melakukan hal-hal yang kita suka. Bedanya, kandangmu mungkin tak terlihat. Tidak, tidak. Aku salah. Aku bisa melihat kandangmu, dengan jelas, anak-anak itu. Jangan biarkan orang-orang itu mengurungmu, mengambil keputusan yang seharusnya menjadi hakmu. Kau harus pergi dan keluar. Masalah anak-anak itu–yang selama ini kau takutkan–kau bisa mengunjungi mereka setiap bulan atau mungkin minggu untuk memberi pengertian. Yang kau butuhkan sekarang hanyalah keberanian untuk melakukan, setelahnya akan mudah. Pikirkanlah ini–nasihatku. Jika kau tidak melakukannya, kau akan sepertiku, seperti kami: terkurung di dalam kandang selamanya.
Aku berbalik (mengarah ke jalan). Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kata-kata itu, aku tidak ingin dia menyelesaikannya–siapapun itu. Tidak, tidak boleh. Nanda. Bayu. Mereka membutuhkanku. Sesaat aku hilang kendali akan berbuat apa. Kakiku melangkah seenaknya ke jalan dimana orang-orang ramai menjejakkan tubuh mereka. Ketika itulah seseorang yang begitu terburu-buru dalam berjalan menabrakku dari samping. Aku hampir saja jatuh ke jalanan bata jika tidak ada Bayu yang memegangi.
“Hati-hati kalau jalan!” Aku mendengar Bayu berteriak kepadanya, seorang pria (aku memutuskan menyebutnya pria setelah melihat langkahnya yang tegas) berpakaian jaket abu-abu bertudung. Ia tidak menanggapi walau sekadar menoleh. Bayu bergerak, ingin melakukan sesuatu kepada sikap pria itu, tapi aku menahannya.
“Ibu tidak apa-apa.” Suaraku terdengar pelan dan parau.
“Kau tidak apa-apa?” Edi. Kurasa ia mendengar teriakan Bayu dan segera datang ke sana secepat yang ia bisa. Ia memegangi dua tanganku dan membantu bangkit, seakan tahu aku sangat memerlukannya kala itu.
“Dimana Nanda?” Aku bertanya.
Ia tidak berkata-kata apapun dalam waktu sekian detik, hanya memandangi dengan ekspresi yang kupikir khawatir dengan kondisiku saat ini. Lalu kulihat kepalanya mulai bergerak, menunjukkan satu arah yang langsung kuikuti. Aku menemukan Nanda sedang menatap sebuah kandang di sana. Diam, cukup lama–tak seperti saat ia memandangi kandang-kandang lain.
“Dia sedang melihat zebra.”
Kulepas genggaman Edi dari tanganku, lalu perlahan beranjak menuju Nanda untuk menemaninya. Langkahku tak mulus. Aku hampir saja jatuh dan untuk kedua kali seseorang di sana; Edi menangkapku. Aku meyakinkan diri untuk bangkit, lepas, dan pergi. Kali ini dengan langkah lebih perlahan.
Saat aku tiba dan bersandar ke kandang, anak itu bahkan tidak menoleh. Ia seakan terhipnotis oleh belang hitam-putih yang ada di tubuh mamalia itu. Aku menatapnya.
Angin menerpa kami, menggulung-gulung poni agar terbang ke belakang. Aku bisa merasakannya sambil menyipitkan mata dari debu. Udara, kebebasan sejati. Edi menyusul kenyamanan, ia berdiri di bagian pagar dimana menjadikan Nanda terapit oleh keberadaan kami berdua. Aku bisa melihatnya.
“Kau ingin memegang mereka?” Ia berkata untuk Nanda.
Nanda mengamati ayahnya, cukup lama sebelum akhirnya ia menggelengkan kepala dan kembali pada sang zebra. Edi tak ingin kalah, lantas mengelus punggung hewan itu sambil tersenyum menatapi agar anak itu merasa iri. Ia juga mengatakan hal-hal tentang mereka, zebra-zebra ini. Bahwa mereka adalah hal baik yang takkan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya–aku bisa melihat usahanya, ia bersungguh-sungguh. Tapi kelihatannya anak perempuan kami memang tidak ingin melakukannya.
Sebelum menemui sudut kebun binatang yang menggiring kita pada bagian ‘panjang’ kedua (ada dua ‘panjang’ pada suatu persegi panjang, dan jika bagian ‘panjang’ pertama adalah bagian dimana burung-burung berwarna-warni ditempatkan, maka bagian ‘panjang’ kedua yang terdapat anoa–jika digambarkan–akan berada tepat di seberangnya sementara ‘lebar’ pertama adalah tempat dimana para orang utan memekik), terdapat sebuah jalur memotong di antara sudut pertama dan kedua. Di jalur memotong itu kami menemukan beberapa merak. Sebagian dari mereka dengan bangga membuka layar di ekornya–terlihat seperti kipas besar–hingga terlihat begitu megah dengan semacam ‘mata’ tergambar di ujungnya. Bulu-bulu mereka berwarna begitu menakjubkan.
Bayu kami temukan sedang berhenti di sebuah kandang. Saat aku dan Nanda memutuskan melongok ke dalam ternyata itu adalah sebuah kubangan. Buaya. Bayu diam memperhatikan mereka yang berendam di dalam air tanah sementara hanya sedikit bagian dari mereka yang terlihat: ujung punggung yang berkulit keras, moncong dengan sederetan gigi besar menganga ke atas, ekor yang memanjang ke bagian kandang yang tidak terendam air. Mereka terlihat mati, buaya-buaya itu. Tak bergerak sama sekali. Edi menghampiri anak lelakinya, menepuk punggungnya, dan bercakap-cakap entah mengenai apa di pinggiran. Tawa mengikuti mereka.
Selanjutnya ada sepetak areal landak. Tubuh mereka segenggam atau dua dengan bulu duri yang sedang tidak menaik. Mereka berlari dengan kaki-kaki kecil di atas lantai semen, bersembunyi–dari para pengunjung–di balik pipa-pipa besar yang sengaja diletakkan untuk mereka. Pelikan-pelikan hidup di kandang sebelah kanan yang berisi air, sebuah pohon bercabang besar, dan juga ‘pulau’. Cukup besar untuk memuat lebih dari delapan ekor pelikan sekaligus. Mereka berdiri-diri dengan kaki kurus, berenang, bahkan terbang di dalam sangkar, merenggut perhatian. Sesekali mulut pelikan-pelikan berkantong yang lapar masuk ke dalam air dan meraup apa yang bisa mereka telan.
Tak jauh di depan ada sebuah taman kosong tanpa kandang (hanya halaman bata dan juga beberapa pohon besar serta patung hewan di sebagian sisi) dimana orang-orang bisa duduk di atas tikar yang mereka sewa–kuperkirakan taman ini terletak di tengah kebun binatang, di tengah persegi panjang. Memperhatikan jalan setapak yang dilalui orang-orang di depan, belakang, kiri, ataupun kanan. Beristirahat. Aku menghampiri sebuah dudukan semen tinggi di dekat setapak yang kami lewati.
Tak lama, Edi dan dua anakku menyusul. Nanda menarik lenganku dan mengajak untuk kembali berjalan. Ia merengek ingin melihat sisa binatang lain yang belum dikunjunginya hari itu. Aku ingin menolaknya dengan lembut, tapi kuurungkan. Edi telah angkat bicara, mewakili. Ia berkata sebaiknya ia–anak kami itu–pergi bersama kakaknya sementara ia menjagaku beristirahat.
“Kami sudah tua,” candanya.
Nanda ragu apakah mereka bisa melakukannya berdua–ia dan Bayu–melihat ketidakakuran mereka selama ini. Ia dengan nada lebih pelan mengajakku berulang kali untuk bangkit. Bayu berkata, ia mengajak adiknya untuk pergi melihat-lihat. Nanda hening, lalu mulai melepaskan ajakannya dari lenganku dan mengikuti kakak yang menuntun bahunya. Perlahan mereka berlalu dalam jalan setapak, tampak akrab.
Ada hawa kosong singgah di antara aku dan Edi setelah anak-anak kami hilang di antara gerombolan orang–kami duduk berdampingan. Jejak di bata, tawa, kekaguman pengunjung, dan aneka suara penghuni areal terdengar mengisi ruang tanpa kami. Aku bisa merasakannya, benar-benar. Gelisah. Aku mengalihkan pandangan pada orang-orang yang berlalu di atas, di tempat burung-burung berwarna berkicau dari balik sangkar. Menghitung dalam hati jika ini terlalu lama (keheningan ini) aku akan pergi. Tapi dia, Edi, menyadari itu. Ada hal yang harus dibicarakan.

---

Next On ‘In Cage (Part 2)’ in January:

“Aku minta maaf jika selama ini terlalu memaksa dan keras kepala.”

“Seharusnya aku,” kataku menjawab. “Aku tidak seharusnya egois dan mendengarkanmu sejak dulu. Jika dipikir-pikir tidak ada buruknya berhenti bekerja untuk alasan yang jelas baik–menjaga anak-anak.”

Nanda sedang mengamati sekumpulan komodo yang berjalan lambat di kandang ujung jalan yang nantinya menghubungkan jalan ini dengan bagian ‘lebar’ kedua kebun binatang–tubuhnya menyampingiku. Sendirian. Saat kuhampiri dan kutanya tentang kakaknya, Nanda menunjuk pada deretan ruang kecil berpintu biru di seberang kolam. Kamar mandi. Bayu keluar dari sana. Ia tidak menatap kami, ia berhenti di samping depan ruangan itu dengan sesuatu yang baru saja didapatnya dari saku. Telepon genggam. Aku bisa melihat benda itu kemudian jatuh–mungkin tangannya masih terlalu basah atau ia terlalu buru-buru melakukannya, membalas pesan. Bayu menunduk untuk mengambilnya, dan hal itu terjadi.

Di antara banyak manusia, aku bisa melihatnya yang mencolok di seberang kolam. Kebuasan. Hewan-hewan keluar dari kandangnya.

“Bayu, lari!”

Saat aku dan Nanda melintas ingin keluar, tanpa sengaja aku mendengar dua orang petugas bercakap. Tentang seorang pria yang mereka temukan di bangku taman. Tercabik-cabik.


---
Halaman Terkait: In Cage (Part 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages