Directed by Guntur Soeharjanto
Hanum Salsabiela Rais (Acha Septriasa)
adalah seorang istri. Sedang berada di Wina, Austria untuk menemani suaminya,
Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya), melanjutkan kuliah. Berbeda ketika di
Indonesia, di sini Hanum adalah seorang pengangguran, tidak memiliki pekerjaan
selain menunggu suaminya pulang ke apartemen. Merasa bosan, ia berniat
menghabiskan kesehariannya dengan berjalan-jalan di sekitar Wina dan mencoba
mencari pekerjaan, hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang Turki, Fatma Pasha
(Raline Shah). Bersama dengan Fatma dan juga anaknya, Asye, kemudian Hanum
belajar beberapa hal mengenai Islam di langit Eropa.
---
‘99 Cahaya di Langit Eropa’ disutradarai
oleh Guntur Soeharjanto yang bekerja sama dengan rumah produksi Maxima Pictures. Merupakan sebuah
adaptasi novel laris berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra, yang menceritakan perjalanan religi seorang istri yang dilanda
kebosanan sepanjang hari di apartemennya, Hanum, bersama dengan orang-orang
baru yang ditemuinya di bumi Eropa.
Film dibuka dengan sejarah singkat Austria.
Memberitakan bagaimana dulunya tempat tersebut sempat diambil alih oleh Turki
dalam kepemimpinan Kara Mustafa Pasha. Setelahnya, film beralih (dengan sangat
mengejutkann) langsung kepada konflik dari seorang gadis kecil berkebangsaan
Turki bernama Asye. Ia diperolok karena mengenakan kerudung di sekolahnya.
‘99 Cahaya di Langit Eropa’ menawarkan
cerita yang ringan. Kita dapat dengan mudah mengikuti alurnya, menikmati dengan
puas pemandangan Wina dan Paris selagi mendengarkan dialog narasi yang
disampaikan dengan wajar bersama dengan scoring
yang coba dibuat sesuai dengan lingkungan mereka (kebarat-baratan, di
beberapa bagian) sehingga terasa lebih mengena, mempelajari bagaimana Islam
yang sesungguhnya, mendengar pertanyaan-pertanyaan awam serta jawaban yang
membuat kita terenguh. Ada sebuah bagian dalam film yang saya atau bahkan
seluruh penonton tidak akan menyangkanya akan terjadi–sama sekali, membuatnya
unik dan berbeda dari film (religi) kebanyakan. Belum lagi satu adegan flashback di akhir yang disisipkan
dengan cara yang benar hingga memberikan dampak kepada penonton.
Sebagai film religi, ’99 Cahaya di
Langit Eropa’ menyajikan sesuatu yang berbeda. Ia tidak menawarkan konsep
percintaan rumit seperti halnya ‘Ayat-Ayat Cinta’, ‘Ketika Cinta Bertasbih’,
ataupun ‘La Tahzan’. Melainkan pada kehidupan
sehari-hari beberapa orang di Eropa disertai dengan humor cerdas yang tidak
tampak dibuat-buat. Banyak sekali yang bisa kita ambil dari film ini; dari seorang
Fatma dan Marion yang berwawasan luas mengenai Islam di Eropa, Asye, Stefan seorang
Kristen yang serba ingin tahu, dan Rangga yang menjawab keraguannya.
Di penokohan, kita akan disuguhkan pada
beragam karakter unik. Baik dari tampilan luar, sifat, ataupun gaya bicara.
Yang mana masing-masing diperankan baik oleh para cast-nya seperti Acha Septriasa, Raline Shah, Abimana Aryasatya, Nino
Fernandez, dan lainnya. Rasa takjub, gembira, tegang, penasaran, dan simpati, akan
tersalurkan pada penonton yang menantikan.
Hal yang cukup mengganggu dari film ini
adalah subtitle-nya yang muncul di
saat sebelum seharusnya. Walau terjadi ketika hampir ke bagian terakhir film,
tapi itu cukup membuat mata risih. Selain itu, fakta bahwa orang-orang terdekat
Hanum ataupun Rangga yang bisa berbahasa Indonesia patut dipertanyakan. Padahal
dalam sebuah dialog Rangga pernah menyebutkan, ‘... di negara saya,’ yang
menandakan mereka tidak berada dalam satu negara, yaitu Indonesia, dan salah
seorang di antara mereka yang jelas-jelas adalah berkebangsaan Turki.
Sebagai film yang akan dibuat
kelanjutannya, ’99 Cahaya di Langit Eropa’ memberikan sebuah premis yang
menjanjikan di akhir film pertamanya. Banyak yang bisa dinantikan para penonton
untuk kembali membeli tiket. Mulai dari pemandangan baru di belahan Eropa lain
hingga konflik-konflik besar yang akan timbul.
Terakhir, ’99 Cahaya di Langit Eropa’
adalah sebuah film keluarga yang sangat layak untuk ditonton.
---
Tags : 99 cahaya di langit eropa, guntur soeharjanto, drama-religi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar