Lapangan olahraga penuh.
Orang-orang ramai mengerjakan masing-masing bidang kesukaannya ataupun sekadar
duduk tenang di tepian, memandangi. Mereka melakukan voli, futsal, basket, cheers, atau bahkan lari. Dan Dean, ia termasuk
bagian yang terakhir. Ia bolak-balik lintasan lari mereka–yang hanya lurus
saja–entah sudah berapa kali. Titik-titik keringat muncul di wajahnya.
Dean mengangkat sebelah
tangannya saat menyelesaikan satu finish
lagi, memberi tanda bahwa ia akan beristirahat sejenak di bangku pinggir
lapangan. Teman-temannya mengangkat tangan balik, mereka melihatnya.
Di sepanjang jalan
menuju ransel dan botol minumnya, Dean menggosok-gosok seluruh kepalanya yang
basah. Menjatuhkan rambut yang seharusnya berdiri-diri menghadap langit menjadi
luruh–menciptakan poni berjarang. Pria itu duduk memandangi lapangan. Masih
mengelap beberapa keringat lagi di bagian leher untuk sepersekian waktu. Saat
ia ingin mulai meneguk air minum yang ia ambil di dalam ransel–matanya tetap
memperhatikan lapangan–tanpa diduga seorang wanita duduk di sana bersamanya,
menghentikannya. Mereka cukup kenal baik, wanita itu adalah Meri. Dean dan Meri
mengambil jurusan yang sama di universitas (fisika) di kelas yang sama pula. Dean
menyapa dan tersenyum saat wajah mereka saling bertemu.
Meri mengambil sesuatu
dari tas miliknya–satu minuman dingin yang baru saja dibeli–dan memberikannya
pada pria itu. Dean menolak. Ia menunjukkan botol minumannya sendiri–berpikir mungkin
wanita itu tidak melihat benda itu sebelumnya. Meri berkata bahwa minuman yang
ia beli adalah sesuatu yang berbeda, tidak bisa dibandingkan dengan air putih
rumahan biasa.
“Ini minuman berion,” katanya.
“Mereka akan menggantikan ion-ion tubuhmu yang hilang selama beraktivitas.” Melihat
Dean yang masih tidak menunjukkan niat ingin mengambil minuman itu setelah apa
yang diusahakannya, wanita pun akhirnya berkata, “Sedikit saja.”
Kali ini Dean
mengiyakan–walau sedikit ragu. Ia meyakinkan diri bahwa ia hanya akan meneguk
minuman itu satu kali saja lalu memulangkannya, dan lanjut minum dari botol
minumnya sendiri. Apa salahnya meneguk
air itu sedikit saja? Ia mengambil minuman berionnya dari tangan Meri dan
meminumnya–botol minum rumahannya ia letakkan di dudukan sebelah.
“Bagaimana?” Tanya Meri
begitu satu tegukan selesai. Berharap minuman itu benar-benar memberi dampak.
Dean tidak segera menjawab.
Ia sibuk pada keadaan yang tiba-tiba menghampiri. Belakang kepalanya mendadak
sakit. Pandangannya mengabur bersama dengan denyut jantung yang semakin
kencang. Perlahan, orang-orang di sekitar mulai menghilang dari mata–termasuk
Meri yang sudah beralih ke hadapannya dengan ekspresi yang ia tidak tahu apa,
ini sudah terlalu parah–dan seketika ia tak sadarkan diri.
“Kemarin kamu kenapa–pingsan
seperti itu?” Tanya wanita itu cemas. Ia bahkan sengaja mengejar Dean begitu
kelas hari itu selesai saking khawatirnya. Bagaimanapun pria itu tak sadarkan
diri sesaat setelah meneguk minuman pemberian darinya.
Dean memandanginya yang
sekarang berjalan beriringan, “Aku enggak apa-apa. Dulu juga sering.” Meri
memperhatikan jalannya sejenak tanpa bersuara, lalu mendadak kembali lagi pada
Dean.
“Aku hanya tidak boleh
terlalu memaksakan diri.”
“Tapi aku belum pernah melihat
kamu pingsan seperti ini sebelumnya, enggak juga ketika kamu latihan selama
ini.” Pria itu memandanginya. Tatapan aneh yang keluar dari matanya membuat
wanita itu paham kesalahan perkataannya. Meri memalingkan wajah, ia ketahuan. Lalu
dengan nada yang lebih kecil, “A-aku kebetulan sering duduk di lapangan–untuk
sekadar melihat-lihat. Tidak ada maksud mengikutimu.”
Dean tidak begitu menghiraukan.
Ia beralih ke jalannya.
“Itu berakhir sudah lama
sekali–waktu aku masih di sekolah lanjutan pertama.” Meri kembali ke dirinya
lagi. “Aku sering bolak-balik ke unit kesehatan saat sedang latihan. Kata
mereka aku pingsan. Aku tidak begitu ingat kejadiannya, Ayah yang cerita dan
mengingatkanku agar tidak terlalu banyak beraktivitas–katanya badanku begitu
panas ketika itu. Beda sama sekarang, segalanya udah mulai dipikirkan
benar-benar; makan-minum teratur, berapa jam kegiatan boleh jalan, istirahat
cukup. Jadinya udah jarang.”
“Lalu sekarang kenapa
bisa kecolongan?”
“Entahlah–aku juga
heran. Aku yakin aku tidak melakukan apapun yang berlebihan belakangan ini.
Mungkin ‘penyakit’ ini saja yang merindukanku.” Keduanya tertawa. Angin segar mengisi
jarak mereka selama ini. Dean yang terlalu sibuk kuliah, latihan, dan segala urusan
lain dengan teman-teman lelakinya hingga tak bisa merasakan apa yang
memandanginya dari ujung jalan sana. Dan Meri, yang terlalu takut untuk
menyatakan dirinya ada.
Lalu dengan ragu-ragu
Meri berkata di sisa senyumnya yang tertinggal, “Oh, ya. Kemarin ketika kamu
pingsan–”
Dean terhenti di ujung
kalimat Meri. Kata-kata itu sungguh membingungkannya. Dipandanginya wanita itu
dengan penuh rasa penasaran. Benarkah?
Ia belum pernah tahu tentang hal ini.
Berbicara mengenai
hal-hal tak biasa di kehidupan Dean Hariadi–ia yang sering pingsan dan akhir
dari perkataan Meri–itu belum semuanya. Ia juga sering memimpikan hal-hal yang
nyaris serupa setiap malam. Ia melihat Pak Gondo, penjaga rumah mereka yang tua
dan berambut panjang kasar, menatapinya di dalam satu ruangan. Entah apa yang
ia lakukan di sana dan apa maksud yang ingin dikatakan, ia juga tak tahu. Yang
pasti itu terlihat seperti kau yang sedang menonton televisi dan layarmu
dipenuhi oleh wajahnya (Pak Gondo) yang semakin dekat. Dean juga tidak seperti
orang-orang kebanyakan. Ia tidak pernah terbangun–sekalipun–di tengah malam
untuk sekadar pergi ke kamar mandi, menenggak segelas air minum, atau bahkan
karena terganggu oleh mimpinya. Ia tidur seperti mayat. Pernah beberapa kali ia
menge-set weker untuk membangunkannya
di jam-jam pagi yang tak biasa karena ingin melakukan persiapan mid-test, tapi tetap ia tak mendengar
apapun dari tempat tidurnya dan kembali bangun pada pukul enam pagi dengan
jarum alarm–yang anehnya–juga kembali ke angka enam. Hingga sekarang Dean tak benar-benar
paham mengapa bisa seperti itu.
Beberapa hari setelah
percakapan dengan Meri, malam mendengar nafas pria itu masih berpikir di lewat
pukul satu dini hari. Dean tidak pernah mengerjakan tugas selarut ini sebelumnya,
tidak setelah Ayah mengingatkan tentang bagaimana mereka berulang kali membawanya
ke unit kesehatan sekolah. Ia melepas headset
dan juga kacamata berbingkai kotak yang selalu ia gunakan di saat kelas
berlangsung ataupun saat mengerjakan tugas-tugas seperti sekarang ini. Ia
bersandar di punggung kursi.
Ia bisa merasakan
kelelahan menjalar dari punggungnya yang sedari tadi tegak mengetik rumus
viskositas dan angka yang telah dikerjakannya serta beberapa lembar makalah
kewarganegaraan. Kepalanya berat–butuh istirahat. Mungkin sudah sebaiknya sekarang
ini ia meninggalkan segala pekerjaannya dan pergi tidur sebelum segalanya
benar-benar menggelap di matanya.
Dean keluar dari
sandaran. Menyimpan dokumen, mematikan browser
dan winamp, serta melakukan shut down. Tanpa berniat menunggu layar netbook-nya menjadi hitam seluruhya lebih
dulu–masih berwarna biru dengan tulisan shutting
down di layar–Dean bangkit dari kursi. Dipatahkannya lehernya ke kiri dan
ke kanan karena pegal. Ia beranjak ke tempat tidurnya.
Tak lama ia terlihat
berebah oleh malam. Wajahnya benar-benar lelah. Di antara pandangannya yang
kosong, Dean bisa mendengar suara-suara berisik kecil yang masuk, membunyikan
gendang telinganya pertanda sedang ada kehidupan lain di luar tubuhnya. Dean
bangun tak lama ia memejamkan mata, menatapi langit-langit yang tahu keresahan
saat itu.
Berisik itu terdengar.
Terbunyikan dari sesuatu yang berasal dari luar kamar namun–mungkin–masih di
dalam rumah. Dean menatapi pintu kamarnya yang kaku tak bergerak, menerka apa
yang mungkin ada di balik sana dari baringannya dan tak kunjung menemukan
apa-apa. Tak puas hanya terganggu tanpa tahu apa yang mengganggu, Dean keluar.
Suara-suara itu datang
dari kamar orang tuanya. Begitu berisik, seperti ada yang mengerjakan sesuatu. Ayah? Ia meletakkan sebelah telinganya
di atas badan pintu, mencari tahu apa yang bisa ia temukan dari balik sana.
Tapi kemudian segalanya hanya terasa semakin samar saat suara-suara kecil itu terdengar
semakin keras namun tak cukup jelas mengatakan apa keinginannya. Ia terlalu
penasaran untuk tidak masuk sekarang.
Pintu tidak terkunci,
Dean bisa langsung merasakannya begitu menarik gagangnya ke bawah. Ia
diperbolehkan untuk tahu–rahasia ini. Perlahan ia dorong pintu gerbangnya untuk
masuk, membuat celah di tepinya yang semakin lama semakin melebar.
Dean menemukan sesuatu
yang seharusnya tak di sana. Pak Gondo, dia di dalam. Sedang melakukan sesuatu
yang aneh kepada orang tuanya. Ibu terlihat didudukan di ranjang dan bersandar–tanpa
perlawanan–sementara penjaga rumah mereka itu mengerjai sesuatu di tubuhnya. Ayah,
ia tampak tidur pulas di samping kesibukan mereka.
“Apa yang kau lakukan?”
Pak Gondo memandangi suaranya.
Dean mendekat. Dari
tempatnya sekarang ia bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi. Orang tuanya
tak bergerak seperti boneka yang memang tidak diperuntukkan untuk itu. Mereka
diam dengan kelopak mata dan mulut yang membuka. Obat tidur? Ia bisa melihat bagaimana tubuh ibunya telah dibelah bagian
punggungnya–tanpa darah–hingga membentuk seperti sebuah pintu kecil yang
terbuka. Di sana, tangan Pak Gondo tengah memegangi ‘sesuatu’ yang sepertinya baru
saja dikeluarkan dari balik tulang belakangnya. Dean mengerutkan kening. Ia tak
asing dengan bentuk ‘sesuatu’ itu, hanya saja yang ini berukuran lebih besar
dari yang biasa mereka lihat; seng berukuran silindris dengan tinggi kurang
lebih 32 sentimeter dan dua kutub di ujungnya. Apa yang sedang ia lakukan di sana?
Tak cukup mengerti apa
yang ditemukannya malam itu, Dean mendongakkan kepalanya pada penjaga rumah
mereka, mencoba mencari jawaban, pada Ayah yang nyatanya di samping tubuhnya juga
telah berdiri dua buah benda serupa. Keduanya ditempatkan dalam satu kotak
hitam yang cukup besar dengan dua LED
menyala merah di atasnya–masih ada ruang kosong untuk empat lagi benda berjenis
serupa. Sepasang kabel merah-hitam menjulur dari ujung kotak hitam tersebut
menuju arus.
Dean tahu ini. Pemahamannya
tentang energi dan segala perangkatnya mempermudah nalar, hanya saja yang belum
menjadikan semua ini kebenaran absolut; bagaimana semua ini bisa terjadi.
Bagaimana benda-benda ini masuk ke dalam kehidupannya dan bergerak. Bagaimana mungkin?
Kepala Dean dipenuhi
banyak sekali pemikiran–tentangnya, tentang mereka, tentang Pak Gondo. Mencoba
memasukkan sisipan-sisipan rahasia malam itu pada setiap kejadian tak beralasan
di kehidupannya untuk menemukan jawaban. Bagaimana ia begitu saja pingsan ketika
sudah mencapai puncak kelelahan dan tubuhnya akan tetap panas untuk beberapa
saat–seperti pengakuan Ayah. Bagaimana ia yang–menurutnya saat itu–tidak
terlalu lelah namun tiba-tiba tak sadarkan diri di kedatangan Meri kemarin. Pak
Gondo yang datang ke dalam mimpinya hampir di setiap malam–yang sekarang ia
yakin itu bukan sekadar mimpi, melainkan ia yang benar-benar masuk ke kamarnya
untuk melakukan apapun itu seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Ia yang tak
bisa bangun selain pukul enam pagi. Bagaimana denyut nadinya tak terdeteksi saat
‘tak sadarkan diri’ seperti yang dikatakan Meri di ujung kalimatnya. Sekarang dengan
satu pemahaman baru semuanya tampak mengerihkan dan–sayangnya–masuk akal.
Energi-baterai.
Dean yakin sekarang
kepalanya sedang mengeluarkan asap–jika memang ia seperti yang dipikirkannya. Ia
bisa mencium bau gosong mengudara. Ia terpaku. Dan dengan ragu memasukkan
tangannya ke balik baju bagian belakang, mencoba mengecek apakah ia akan menemukan
semacam lekukan yang nantinya bisa dibuka-tutup seperti pintu kecil milik
Ibu–yang membuat punggungnya tak berdarah, padahal jelas-jelas itu membentuk
rongga masuk yang begitu dalam. Dan di saat setiap orang berharap akan bangun
dari segala mimpi buruk ini, ia menemukannya.
Dean bergetar. Ia segera
menarik tangannya kembali ke depan begitu terabanya satu penjelasan. Kakinya mencoba
kabur dari realita dengan keluar secepatnya dari sana tapi sayangnya hari itu sudah
terlalu berat untuk dilaluinya dengan apa-apa lagi–setelah ia belum lagi tidur.
Belakang kepalanya sakit. Ia tak bisa berhenti memegangi dan menahan apa yang
berdenyut di sana. Pandangannya buram. Jalannya tak beraturan. Dean seketika jatuh.
Mesinnya mati.
Begitu selesai dengan
sang Ibu, Pak Gondo beralih pada ciptaannya yang lain, pada robot peran-anak
yang tergeletak bersama dengan rasa tak percayanya di lantai. Ia menarik tubuh
robot itu bangun, lalu mencari satu lekukan yang seharusnya ada di setiap
punggung antara mereka. Satu tarikan dilakukan dan sebuah pintu kecil membuka.
Pak Gondo mengeluarkan dua buah baterai milik Dean, memasukkannya pada dua sisa
slot kotak hitam untuk segera diisi
dayanya hingga bisa kembali memompa jantung–dan nadinya terdeteksi. Kini enam
lampu LED menyala merah.
Pak Gondo menarik
rangkaian tubuh Dean ke atas kasur di kamarnya, membaringkannya seolah-olah
keluarga ini sedang menjalani tidur malam mereka. Ia memiringkan tubuhnya, membuka
kepala pemuda itu dengan sebuah obeng–tidak semua bagian kepalanya, hanya satu kotak
kecil tertimbun rambut yang mengarah ke otak belakang–dan menghapus beberapa
ingatan tentang malam itu di dalam chip
penggerak.
Tak lupa, sebelum pergi
Pak Gondo juga mengecek weker yang mungkin telah diputar jarum alarmnya oleh
Dean seperti beberapa waktu lalu untuk diputar kembali ke pukul enam agar
program ‘bangun-di-pukul-enam-pagi’-nya tak terlihat seperti diatur melainkan
dibangunkan oleh alarm.
Pak Gondo menutup
pintu. Menyimpan benar-benar rahasia ini agar aromanya tak tercium sampai ke
luar. Bagaimanapun ia yakin para ciptaannya belum siap untuk dikenal dengan
identitas selain manusia. Tidak untuk saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar