Dengan sangat menyesal
aku membatalkan pertemuan dengan teman-temanku hari ini. Aku sedang tak enak
badan. Kepalaku sakit. Benda-benda di sekitar sini terasa bergoyang tak tentu
arah. Aku tak yakin aku sanggup–jika tetap keluar. Hal-hal mengenai jalan-jalan
bisa dipikirkan lagi lain kali. Hari ini aku perlu istirahat, tenang, sendiri.
Kuletakkan handphone yang tadinya kugunakan untuk
berkirim pesan dengan salah satu temanku di atas meja belajar sebelum akhirnya kuputuskan
untuk lanjut bergerak ke sebelahnya–ke ranjang–dan mulai membaringkan kepalaku
yang rasanya semakin berat saja. Tak perlu waktu lama bagiku untuk hilang, aku
sungguh sakit hari ini. Aku akan mudah terlelap.
Tubuhku terguncang.
Seseorang membangunkan dari luar sana. Itu ibuku, lengkap dengan pakaian
bepergiannya. Ia berdiri di samping ranjang, menungguku untuk bangun dan
mendengarkan.
“Ibu mau pergi undangan
sebentar sama Bapak. Kamu jaga rumah. Pintu depan jangan lupa dikunci–nanti masuk
orang.” Fokus mataku masih terlalu buruk untuk menangkap lama bayang Ibu dan
gerak mulutnya. Bahkan tak berselang beberapa detik setelah bayang itu selesai
dan mulai pergi aku kembali tertidur.
Tidak.
Kau tidak boleh tidur–lagi. Sudah cukup. Banyak hal yang harus diselesaikan–terkait tentang kuliah.
Aku membuka mata, menatap
lama langit-langit kamar tanpa bermaksud apa-apa. Segera aku bergerak duduk ke
pinggir ranjang, menatap jam dinding yang terpampang tepat di dinding atas
kepala tempat tidur. Enam belas tepat.
Aku pergi keluar kamar.
Pintu depan pasti masih belum terkunci–jika memang tidak ada seseorang yang
lain masuk dan semoga saja tidak. Kuturuni tangga dengan langkah yang
berbunyi-bunyi ringan di atasnya.
Walau sebenarnya setiap
kunci memungkinkan untuk diputar dua kali ke kanan tapi aku tidak melakukannya.
Aku sudah terbiasa untuk hanya memutarnya sekali. Begitu pun dengan pintu depan
ini, hanya sekali.
Begitu bunyi kuncinya
terdengar, aku membelakangi hendak ke dapur. Bergegas meneguk satu-dua gelas
air putih karena haus sebangun tidur. Tak lama derapku kembali terdengar di
atas para anak tangga.
Hal pertama yang aku
lakukan saat tiba di kamar adalah menghampiri meja belajar. Duduk disana sambil
menghidupkan lampu yang khusus menerangi sekitar wilayah itu dan mengambil
buku-buku ‘kebutuhan’ yang bersembunyi di dalam tas yang semenjak kemarin sore kubiarkan
berdiri di kaki meja.
Kini saatnya
konsentrasi.
Awalnya semua terasa
aman, tak ada apa-apa, hanya ada aku dan kertas buram yang semakin mengisi. Sampai
akhirnya ketika aku mulai menerjemahkan rumusan kalkulus ini ke dalam buku, aku
merasakan sesuatu di tengkuk. Aku merasa ada seseorang lain sedang bernafas
bersamaku disana. Aku bisa mendengarnya, sama-samar. Bahkan, aku sempat
menghentikan goretan penaku hanya untuk menyempatkan diri memperhatikan suara
itu, yang pada akhirnya membuatku gelisah sendiri dengan bulu kuduk yang
berdiri karena menemukan ruang kamar yang–tentu saja–kosong. Di dalam diri aku
berusaha menepis. Ini hanya ilusi.
Beberapa menit berlalu.
Aku mulai merasa bahwa aku benar-benar tidak sendiri. Ranjangku berderit-derit
seperti ada yang sedang meniduri. Aku berhenti mencatat, memperhatikan.
Sebenarnya aku iseng ketika memutuskan keluar dari lampu meja belajarku dan
menghampiri ranjang. Aku hanya ingin memastikan pada diriku sendiri bahwa semua
itu tidak ada. Tapi nyatanya yang kutemukan nanti adalah lain.
Tangan kanan kurentang
ke depan demi meraba apapun yang pastinya kupikir tidak akan ada. Perlahan
tanganku terus turun, terus hingga akhirnya semakin mendekati permukaan ranjang
yang halus. Aku tercekat. Sesuatu mengejutkanku. Aku menyentuh ‘mereka’ yang
tak terlihat! Seketika semua bayang menakutkan tentang ‘mereka’ berlomba-lomba
keluar dari kepala. Aku ketakutan.
Segera kutarik tanganku
mundur bersama dengan langkah spontan. Aku menjauh, pergi ke luar pintu untuk
memandangi ranjang yang terlihat kosong dan baik-baik saja dari kejauhan.
Dengan ketakukan yang semakin menjadi–pikiranku menyangka ‘dia’ sekarang
tengah bangun dan sedang menatapi–kututup pintu dengan bantingan.
“Brak!!”
Aku belum pernah
mengalami hal seperti itu sebelumnya. Sungguh mengerihkan. Aku masih bisa
merasakan bagaimana tubuh itu meringkuk di atas sana dengan tubuhnya yang kutebak
tinggi, sampai-sampai saat ini hanya itulah satu-satunya yang ada di kepalaku sebelum
akhirnya aku berpikir untuk menyalakan TV demi melupakan.
Beruntung, ada acara
musik di salah satu stasiun TV swasta yang tayang tiap sore, aku bisa mulai
dengan menaikkan volumenya hingga ikut bernyanyi dari atas sofa. Aku harap aku cepat
larut dan lupa. Di tengah kegiatanku itu, televisi yang tadinya riang dengan
lagu tiba-tiba mati. Hitam. Mati lampu?
Aku memastikannya dengan menekan tombol power
yang ada di remote, dan tebak ... itu
menyala.
Belum sempat habis
keherananku, aku mendapati televisi keluargaku mati untuk kedua kalinya. Aku
kebingungan dalam sofa. Kupandangi lekat seluruh hitam yang ada di layar dan
... astaga! Aku melihatnya! Ada sesuatu yang sedang berdiri di depan sana. Aku
melihat pantulannya di layar. Dia tidak cukup tinggi, hitam, dan samar. Tanpa
pikir panjang aku berlari ke atas, ke kamar dimana aku menemukan alam lain
sebelumnya.
Kuputar kunci kamarku
dua kali, lalu mundur untuk melihat apa yang terjadi dari luar sana. Gagang
pintu kamarku bergerak-gerak. ‘Dia’ ingin masuk ke dalam, bahkan sangat ingin
sampai-sampai pintu itu terdengar seperti didorong dan kemudian didobrak. Aku mundur.
Aku ketakutan. Sangat. Sampai-sampai aku memutuskan untuk bersembunyi dalam lemari
pakaianku sendiri.
Di dalam sini gelap.
Hanya ada satu celah tak berarti yang menghadap ke ranjang. Aku tak bisa
melihat apa-apa. Tapi sejauh yang kutahu suara pintu-pintu itu sudah hilang,
tak terdengar lagi. Kini tinggal suara ketakutanku yang hadir bersama dengan
degup jantung mengerihkan.
Samar aku mulai mendengar
suara lain. Itu seperti suara pintu balkonku yang bergeser. Aku mengintip dari
celah untuk melihat apa yang kudapat. Tidak ada. Aku hanya bisa ketakutan
sekarang.
Saat aku menunggu dan
berharap tidak akan terjadi apa-apa, sesuatu datang membuka pintu lemari ini
dengan hentakan. ‘Dia’ menemukanku!
“Ibu mau pergi undangan
sebentar sama Bapak. Kamu jaga rumah. Pintu depan jangan lupa dikunci–nanti
masuk orang.” Fokus mataku masih terlalu buruk untuk menangkap lama bayang Ibu
dan gerak mulutnya. Bahkan tak berselang beberapa detik setelah bayang itu
selesai dan mulai pergi aku kembali tertidur.
“Brak!!” Entah itu suara dari dalam mimpiku
ataukah di alam nyata, yang pasti itu sungguh mengejutkan. Aku terbangun–mau
tak mau. Kupandangi langit-langit kamar yang kosong sejenak, lalu pada pintu
kamar yang mungkin saja penyebab suara gaduhnya. Aku duduk di pinggir ranjang.
Sesaat pandanganku
menangkap pada buku-buku terbuka di bawah lampu menyala yang memenuhi meja
belajar. Aku ragu tentang ini. Aku lupa atau ... sudahlah. Lupakan. Kupandangi
jam dinding yang merapat di dinding sebelah kiriku. Enam belas tiga puluh.
Aku pergi keluar kamar.
Pintu depan pasti masih belum terkunci–jika memang tidak ada seseorang yang
lain masuk dan semoga saja tidak. Kuturuni tangga dengan langkah yang
berbunyi-bunyi ringan di atasnya.
Bisa kudengar bagaimana
suara salah satu penyanyi Indonesia sedang berlagu. Ini suara televisi. Ibu
pasti lupa mematikannya saat menonton acara infotainment
sebelum berangkat tadi. Begitu melewati ruang menonton kumatikan acara itu
dengan menekan tombol power yang ada
di badan TV. Lalu tanpa pikir panjang lagi aku bergegas pada pintu yang minta
diperhatikan.
Walau sebenarnya setiap
kunci memungkinkan untuk diputar dua kali ke kanan tapi aku tidak melakukannya.
Aku sudah terbiasa untuk hanya memutarnya sekali. Begitu pun dengan pintu depan
ini, hanya sekali.
Samar-samar aku
mendengarnya lagi. Televisi itu kembali menyala dengan siaran yang sama.
Penasaran, aku segera bergegas dari ruang depan. Tak ada yang salah dengan telingaku,
TV itu memang hidup. Kuperhatikan sekitar, hening, tak ada siapa-siapa. Untuk
kedua kalinya kumatikan TV dari badannya, tapi kali ini aku menunggu.
Barangkali ada yang sedang ingin bermain-main.
Tak lama aku merasakan
sesuatu yang berhembus di dekatku. Ada sesuatu yang lewat dengan begitu tergesa,
yang sekarang sedang menderapkan langkah-langkahnya di atas para anak tangga. Pintu
kamarku terbanting keras kemudian.
Aku terkejut sekaligus
penasaran dengan apa yang terjadi. Tanpa pikir banyak kuikuti jejak ‘dia’
hingga ke lantai atas. Kuputar gagang pintu kamarku beberapa kali. Tak bisa. Aku
bahkan sempat mendorong-dorongnya seperti memaksa mendobrak. Tapi ini
benar-benar terkunci.
Aku menjauh dari pintu,
berusaha mencari jalan masuk lain yang tentu saja aku dapat. Kamar adikku ada
di sebelah. Tidak pernah dikunci, dan yang paling penting: kami punya balkon.
Aku pikir mungkin aku bisa mulai dari sana.
Jaraknya tidak terlalu
jauh, sedikit melompat pasti bisa. Aku hanya perlu keluar dari besi penahan
kamar adikku, melompat dan berpegangan pada besi penahan di bagian kamarku,
lalu melangkahinya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dari balkon yang hanya
dibatasi kaca bening aku tidak menemukan apa-apa di dalam sana. Sampai akhirnya
aku masuk dan mulai mengedarkan pandangan. Entah kenapa aku tertuju padanya, pada
lemari pakaian yang aku pikir adalah tempat ketika aku ingin bersembunyi dari
seseorang yang mengejar. Dengan keragu-raguan aku membuka pintu lemari pakaianku
dan ... aku menemukan’nya’.
Begitu banyak sekali
orang berseragam putih di ruangan yang juga serba putih itu. Mereka semua sibuk
memegangi seorang pemuda sembilan belasan seperti dia seorang yang gila. Pemuda
itu meronta keras di ranjangnya.
“Aku melihatnya! Aku
melihat diriku yang lain! Kalian harus percaya!”
Setidaknya itulah yang
pernah ia coba sampaikan pada keluarganya tiga hari lalu yang sayangnya tak
percaya dan justru mengirimnya kemari, ke tempat dimana dirinya yang lain akan
semakin sering muncul untuk menemani. Karena ‘dia’–diri pemuda ini yang lain–hanya
akan datang ketika tuannya sendiri.
---
Tags : sendiri, aditya prawira, horror, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar