[Short Story] Koloni 73


Setiap kerumunan perlu nama sebagai tanda pengenal, sementara hidup terlalu bergerombol sangatlah berat bagi para pemimpin. Untuk itu–atas kesepakatan bersama–dibentuklah kerumunan-kerumunan berdasarkan urutan angka yang dimulai dari satu, dimana masing-masing kerumunan terdiri dari tak lebih tiga ratus keluarga acak untuk kemudian diikat dalam satu nama koloni dan hidup bersama. Kebetulan aku, keluargaku, dan keluarganya disini, di urutan koloni yang sama. Koloni tujuh tiga.
Pembagian wilayah dilakukan dengan kertas keadilan. Para pemimpin koloni diminta maju dari barisan sementara delapan puluh lima kertas bergulung yang mewakili jumlah seluruh koloni menunggu untuk dibuka. Peraturannya adalah semakin rendah nilai yang didapat, maka semakin tinggi jaminan kelangsungan hidup koloni. Dengan kata lain, jika kau mendapat angka satu, rumahmu akan sangat sempurna. Dan inilah jadinya. Rumah kami begitu dekat dengan kematian, hanya memerlukan beberapa menit sebelum akhirnya bisa menatap maut yang menjulang hitam ke bawah. Sudah terlalu banyak yang hilang dalam kehati-hatian dan menjadi korban, jatuh dan tenggelam, membuat sejejak ironi tersendiri bagi koloni kecil ini. Tapi bagaimana lagi, sudah tak ada tempat untuk memilih. Kami harus bertahan seadanya di area delapan lima.
“Tuhan tak mungkin membiarkan makhluknya seperti ini begitu saja, hidup di bawah kegelapan. Pasti ada sesuatu di bawah sana yang bisa diambil dan dinikmati buahnya.”
Begitu kata kakek yang sampai sekarang masih kuingat tiap untai hurufnya, yang telah menceramahi kami para cucu-cucunya sejak kami baru mengerti kejar-tangkap. Walau sekarang ia sudah tiada–semoga Tuhan memberkati–setidaknya aku bangga pada kakek yang tak sekedar sembarang mengucap. Ia menemukan sesuatu bagi koloni ini, yang bahkan karenanya telah menjadikan kakek tokoh inspirasi pertama di antara kedelapan puluh lima koloni yang ada, yang diciptakan patung kayu tiruannya dan dipajang tinggi di bukit pasir di utara.
Apa yang ditemukan kakek adalah yang lebih berharga dari emas dan berlian. Berkat penemuan ini para penduduk jadi tak perlu gusar kalau-kalau sang Maha Pencipta menginginkan mereka semua mati begitu saja di area delapan lima ini, karena di seberang sana, di balik jurang kematian, ada anugerah Tuhan yang melimpah ruah. Makanan.
Ayah, Ibu, Kakak, dan tentu saja aku, tinggal dalam satu rumah yang kubilang cukup besar dengan empat buah kamar tidur–satu masih kosong–sebuah ruang tamu yang luas dengan dua sofa turun-temurun, dapur, dan juga kamar mandi yang bersih di setiap sudutnya.
Perkenalkan, aku Jeremy. Tersosialisasi terbaik dengan kosa kata terbaik pula. Tidak disekolahkan karena memang merasa tidak perlu. Kau bertanya bagaimana mungkin? Dengar, bagiku hidup adalah masa yang kita pakai untuk memenuhi seluruh cita-cita, sementara aku–sejauh ini–hanya ingin menulis yang kurasa tidak perlu pendidikan tinggi. Aku hanya perlu banyak-banyak membaca artikel dengan sedikit bumbu komitmen menulis dan ‘boom’ sebuah buku. Walau aku belum punya satu karya resmi pun sekarang, aku akan menunjukkannya padamu suatu hari kelak.
Kakakku bernama Guorimo, dan dia laki-laki. Juga tidak bersekolah karena sehari-harinya hanya membantu Ayah mencari makan dari sarang asupan gizi kakek, yang terkadang perjalanannya tidak bisa dilakukan oleh orang tua seperti Ayah apalagi ketika sehabis hujan. Kau tahu, jembatan pipa penyeberangan akan begitu licin dan itu akan membuatmu mudah tergelincir dan hilang dalam lubang hitam. Dan kakakku–aku juga, jika mempunyai situasi yang sama–takkan membiarkan hal itu terjadi pada Ayah.
Ayah dan Ibu. Dua ciptaan Tuhan yang, well ... serasi. Bahan kataku akan terlalu cepat habis kalau menggambar detail seperti apa mereka dan kehidupannya yang penuh dengan cinta dan norma. Jadi aku persingkat saja, mereka itu serasi–sama-sama baik. Selesai.
Itu cukup tentang keluargaku, sekarang mari kita keluar sejenak menelusuri liang-liang lain di sepanjang area delapan lima, ke tenda para kehidupan. Di antara ratusan tenda kehidupan yang berdiri di luar sana, terdapat satu yang bagiku akan selalu menarik untuk dibuat cerita, dibahas, bahkan ditarik ke dalam mimpi-mimpi.
Elena. Gadis sederhana dari keluarga rumit. Bertubuh langsing dengan rambut kuning panjang yang ditekan sebuah penjepit rambut bunga agar lurus mengikuti arahnya. Penuh senyum dengan keceriaan tiada tara yang selalu terlihat bagaikan magnet penarik perhatian. Ia tinggal bersama dengan cukup banyak anggota keluarga di koloni tujuh tiga ini, yang sayangnya itu berarti ia juga harus hidup bersama dengan konflik keluarga yang bisa dibilang memusingkan. Jika kau bertanya bagaimana ia bisa bertahan di dalam sana dan terus tersenyum, entahlah, aku tak tahu. Tapi yang pasti, aku yakin ia adalah gadis tegar dan pantang menyerah.
Aku dan dia–Elena–sering bertemu di luar, di antara pasir-pasir keras area delapan lima ketika masing-masing kami sibuk berjalan jauh dari rumah, berjalan kesana kemari mencari apa yang kusebut ketenangan. Inspirasi.
Percakapan bodoh sangat singkat terjadi tak lama setelahnya, yang kemudian berakhir dengan berlalu begitu saja. Kali ini pun begitu, ketika aku memutuskan untuk berjalan-jalan di bawah mentari yang sedang tidak terik-teriknya kami kembali bertemu. Aku suka ini. Aku suka bagaimana setiap kali aku dan dia diharuskan untuk bertemu. Aku menyebutnya takdir.
Hari ini aku memergokinya sedang duduk di bawah bayang-bayang dedaunan panjang. Termenung dalam kelelahan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sedang apa dia? Aku begitu penasaran, lantas mendekatinya pelan.
"Hei," kataku dengan niat tak ingin mengejutkan tapi nyatanya itu terjadi. Elena memalingkan wajahnya padaku, begitu cepat saking kagetnya, sampai-sampai beberapa titik riasan lelah miliknya hilang seketika dalam kebingungan.
“Sedang apa?” Aku memposisikan tubuhku tepat di sebelah. Elena menatap depannya kembali, sedikit menunduk karena malu aku telah mendapatinya yang sedang lelah. Apa yang ada di kepalanya sekarang ini pastilah sangat berat, kau akan langsung setuju begitu kau melihatnya. Tapi seberapa pun beratnya itu ia tetap berusaha melakukannya. Elena si gadis tegar, tersenyum.
"Enggak," katanya dengan merdu. "Cuma sedang istirahat tenang." Dialah satu-satunya yang membuatku berpikir bahwa kata-kataku bukanlah yang terbaik di koloni tujuh tiga ini. Menurutku dia pandai sekali mengolah perasaan ke dalam kata-katanya, sampai-sampai aku ingin sekali percaya tak ada apa-apa yang sedang terjadi dengannya saat ini.
Aku menggangguk bersama dengan kata ‘oh’ yang urung kuucapkan sehingga hampir sama sekali tak terdengar keberadaannya. Kuikuti wajah Elena yang kembali menyoroti tanah gelap setelahnya.
"Kamu sendiri sedang apa disini?" Tanyanya membalas.
Demi Tuhan ini tidak seperti biasa. Selama ini yang kumaksud berjumpa Elena hanyalah sepintas, sekedar mengucapkan kata ‘hai’ dan kemudian berlalu. Tapi kalaupun memang sebelumnya kata-kataku sedikit bermakna berlebihan tentang perjumpaan kami mungkin kau harap maklum, itu tandanya kau sedang tenggelam dalam kata-kata terbaikku.
“Sedang jalan-jalan saja." Aku mengakhiri.
"Hari ini sungguh cerah." Katanya kemudian tanpa peduli jawabanku. Aku menoleh, berusaha mencerna maksud perkataannya yang kukira kiasan terbalik dari situasi dimana mungkin ia sedang jatuh sekarang. Sesaat angin datang padaku. Berbisik. Menerpa kecil-kecil ke depan wajah hingga aku terpaksa sedikit memicing. Dia benar dengan arti ‘cerah’ yang sebenarnya. Hari ini terasa begitu damai tanpa suara gaduh. Hanya suara alam yang saling bersahut-sahutan lewat angin dan gerak lambai rumput.
"Aku ingin sekali selalu menemukan ketenangan seperti ini setiap hari. Angin. Sunyi. Tak ada suara Mama yg mengomel dengan Papa, tak ada rengekan Adik yang terbangun karena kegaduhan, tak ada suara Bibi yang membantu Papa berdebat. Aku rindu hari-hari seperti itu. Hari yang bagiku hanya akan ada di dalam fiksi.”
Elena menjatuhkan segalanya padaku. Dia bersandar dengan segala beban masalah keluarganya di pundak yang kusayangkan terlalu kecil. Seketika jantungku merasa cemas namun seketika itu juga dia terasa menggema keras. Senang. Kemudian, entah karena dia mendengar detak jantungku yang terlalu keras atau tidak, ia tersentak dan terbangun dari sandaran. Diam, setengah mematung dengan wajah berpikirnya yang begitu aneh. Aku memandangi.
"Remy," Hanya dia yang memanggilku begitu, "tidakkah kau merasakannya?"
"Apa?"
Hening lalu kemudian, "Gempa." Suaranya rendah.
Dia segera berlari ke pemukiman, meninggalkanku yang masih saja diam di bawah bayang-bayang yang kini menggoyang tak karuan. Ternyata pemikiranku tentang degup jantung yang cemas sekaligus senang itu telah menutup semua palka kehidupanku seolah aku mati. Apa yang aku lakukan selanjutnya adalah berlari mengikuti Elena. Entah apa yang aku harapkan dengan itu aku pun tak tahu, aku hanya mengikuti.
Seluruh penduduk koloni tujuh tiga berhamburan keluar dari rumah. Berusaha berada jauh-jauh dari benda apapun yang mulai runtuh. Semua ketakutan, tak terkecuali. Debu-debu dari bahan bangunan yang roboh semakin beterbangan seiring bunyi ‘brak’, doa-doa tercermin dari para kepanikan, sementara aku terus berlari mengikuti Elena, seakan dialah kunci penghenti bencana yang mengerihkan ini.
Mama Elena, Nyonya Crub, terkurung di antara puing-puing rumah mereka. Badan yang tadinya ingin lari tapi tak sempat, tertahan oleh reruntuhan yang menimpa punggungnya. Si Adik kecil, Plop, terlihat di bawahnya, merengek, tapi kuyakin itu bukan karena takut kalau-kalau sang Ibu akan menimpanya melainkan takut sang Ibu mati karena melindunginya. Para penduduk–termasuk Tuan Crub–sedang berusaha mengeluarkan mereka dari sana tapi tampaknya mereka kewalahan, mereka perlu tenaga lain. Aku segera keluar dari kerumunan yang menonton dan turun tangan. Beberapa orang dari kami menahan atap yang roboh, sementara yang lain menarik si Adik kecil keluar lebih dulu lalu kemudian ibunya. ‘Brak’ reruntuhan yang dibiarkan terdengar jatuh setelahnya dan abu kembali beterbangan di belakang.
Nyonya Crub dan si kecil Plop tak apa-apa. Beruntung ternyata bahan rumah yang lain sempat menahan atap rumah yang runtuh hingga tak terlalu menjepit keduanya. Tuan Crub terduduk di tanah bersama istri dan juga bayinya. Bersyukur. Lalu kemudian datang Elena yang semenjak tadi dipegangi bibinya di pinggir kerumunan. Sesuatu terlintas di benakku kemudian. Tuan Crub peduli keluarganya jauh di atas pemikiran orang lain terhadap dirinya.
Aku tersentak. Aku teringat tentang jurang kematian. Aku teringat tentang orang yang sekarang mungkin sedang bekerja di atasnya. Ayah dan Gourimo..!!
Aku segera berlari dengan kaki-kakiku secepat yang aku bisa. Ini tentang waktu. Bagaimana jika hal buruk sedang terjadi pada mereka dan aku telat? Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku setelahnya.
Kerumunan sudah ramai membentuk namun tak ada satupun dari mereka yang berani mendekat ke pinggir untuk menolong ataupun untuk sekedar melihat situasi. Semuanya takut kalau-kalau goncangan ini nantinya akan membuat mereka jatuh ke bawah sana, membuat mereka hilang dan kemudian mati.
Ayahku ada di seberang. Aku melihatnya. Syukurlah ia tidak apa-apa. Ia memandangi kehadiranku dengan sepasang mata besar penuh kepanikan dan berkata, “Gourimo..!!” Tangannya menunjuk-nunjuk ke satu arah.
Sebuah akar bergerak-gerak menarik perhatian di tanah keras delapan lima. Membuat kepalaku langsung menggambarkan keadaan Guorimo yang mungkin tengah bergelantungan di bawah sana sambil berharap akar itu akan cukup kuat menahan tubuhnya lebih lama. Tapi sayangnya kerapuhan akar itu berkata lain. Aku bisa melihat serat-seratnya melonggar sebelumnya akhirnya nanti putus.
Segera kuterobos barisan mereka yang tak berguna demi melihat seberapa parah waktu yang kupunya.
Guorimo dengan semua sisa kekuatannya bertahan pada akar yang dipercayainya. Dia memandangiku yang memandanginya. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan bisa membaca matanya. Selamatkan aku, atau kau akan menangis sepanjang malam karena takkan ada lagi si kakak laki-laki baik hati yang akan mendengar hasil tulisanmu. Tanpa mengulur waktu segera kuambil akar yang menjadi penopangnya, kutarik dengan sekuat tenaga demi menunjukkan kepada alam apa yang dipunya anak laki-laki.
Aku mulai.
Akar itu terasa kasar di jari-jari tubuhku yang serba hitam. Seakan membakar tapi tak apa. Demi Guorimo. Kaki-kaki kuhentak dan kutanam pada tanah sementara tarikan otot berusaha memenangkan nasib baik.
Aku bisa. Aku meyakinkan diriku sendiri sementara aku terus menariknya ke atas. Tapi apa yang kemudian terjadi selanjutnya adalah yang tidak diharapkan. Gempa mengguncang lebih kuat, membuat satu-dua kakiku kehilangan pijakannya. Peganganku pun terlepas. Tali akar yang tadinya sudah naik beberapa senti kini mengulur lagi ke bawah di luar jangkauan tanganku. Jatuh pada titik terfatal. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain, “tidaaakkkk..!!” dengan tangan yang terus menggapai. Guorimo, maafkan aku.
Dia besar dengan tangan dan perut yang menghalangi datangnya sinar matahari. Membuat segalanya gelap dalam sesaat. Aku mendongak.
Tuan Crub menggantikan posisiku yang telah jatuh ke tanah. Ditariknya akar itu dengan sekuat-kuatnya. Tubuh dan tenaganya yang jelas lebih besar dariku membuatnya sedikit mudah dalam menangani hal ini. Perlahan tubuh Guorimo yang tak begitu besar dariku terlihat muncul di pinggiran. Dengan langkah yang tak bisa kujelaskan bagaimana tergopohnya, aku menjemput tubuhnya, menarik Guorimo ke atas untuk sama-sama terjungkal di atas tanah.
Dengan nafas terengah, aku melihat matahari yang masih saja bergoyang namun sudah memelan. Kuperhatikan Guorimo yang tergeletak di samping. Ia tersenyum bangga padaku sembari menepuk-nepuk kepala hitamku. Semua mendekat, penduduk-penduduk itu yang penasaran pada kejadian kami. Kelegaan keluar bersama sorak-sorai dari semua pemikiran yang memandang, termasuk Ayah yang tersenyum di seberang dan juga Ibu yang baru saja datang karena mendapat kabar dari seekor tetangga–mungkin.
Inilah akhirnya. Dimana gempa berhenti dan orang-orang di atas kami kembali ke rumah masing-masing sambil setengah berharap tak ada gempa susulan. Sementara kami, para semut hitam yang hidup di bawah depan rumah mereka bersama jurang kematian yang sering disebut selokan, menatapi puing-puing rumah yang harus disusun kembali.
Tiga minggu setelah gempa 7.9 skala ritcher itu–aku tahu istilah ini dari manusia yang sibuk bercerita tentangnya tak lama setelah kejadian kemarin–koloni telah membenahi segalanya. Bahkan untuk beberapa hal, koloni tujuh tiga telah menemukan yang terbaik.
Tuan Crub dan keluarga kini tak dikenal lagi dengan kegaduhan-kegaduhan mereka yang memusingkan, justru mereka dikenal sebagai keluarga ramah yang suka membantu sesama.
Guorimo dibantu Ayah dan juga penduduk lain, dengan segala traumanya menciptakan sebuah konsep tali pengaman yang memudahkan siapa saja untuk mengangkut makanan dari seberang selokan.
Sementara aku, Jeremy Gulp, sedang bekerja sedikit lebih keras dari biasanya bersama sebuah kacamata berbingkai besar di bawah lampu oranye kamar untuk mengedit naskah tambahan yang diberi kekasihku, Elena.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages