Setiap kerumunan perlu
nama sebagai tanda pengenal, sementara hidup terlalu bergerombol sangatlah
berat bagi para pemimpin. Untuk itu–atas kesepakatan bersama–dibentuklah
kerumunan-kerumunan berdasarkan urutan angka yang dimulai dari satu, dimana
masing-masing kerumunan terdiri dari tak lebih tiga ratus keluarga acak untuk kemudian
diikat dalam satu nama koloni dan hidup bersama. Kebetulan aku, keluargaku, dan
keluarganya disini, di urutan koloni yang sama. Koloni tujuh tiga.
Pembagian wilayah dilakukan
dengan kertas keadilan. Para pemimpin koloni diminta maju dari barisan
sementara delapan puluh lima kertas bergulung yang mewakili jumlah seluruh
koloni menunggu untuk dibuka. Peraturannya adalah semakin rendah nilai yang
didapat, maka semakin tinggi jaminan kelangsungan hidup koloni. Dengan kata
lain, jika kau mendapat angka satu, rumahmu akan sangat sempurna. Dan inilah
jadinya. Rumah kami begitu dekat dengan kematian, hanya memerlukan beberapa
menit sebelum akhirnya bisa menatap maut yang menjulang hitam ke bawah. Sudah terlalu
banyak yang hilang dalam kehati-hatian dan menjadi korban, jatuh dan tenggelam,
membuat sejejak ironi tersendiri bagi koloni kecil ini. Tapi bagaimana lagi, sudah
tak ada tempat untuk memilih. Kami harus bertahan seadanya di area delapan
lima.
“Tuhan tak mungkin
membiarkan makhluknya seperti ini begitu saja, hidup di bawah kegelapan. Pasti
ada sesuatu di bawah sana yang bisa diambil dan dinikmati buahnya.”
Begitu kata kakek yang
sampai sekarang masih kuingat tiap untai hurufnya, yang telah menceramahi kami
para cucu-cucunya sejak kami baru mengerti kejar-tangkap. Walau sekarang ia
sudah tiada–semoga Tuhan memberkati–setidaknya aku bangga pada kakek yang tak
sekedar sembarang mengucap. Ia menemukan sesuatu bagi koloni ini, yang bahkan
karenanya telah menjadikan kakek tokoh inspirasi pertama di antara kedelapan
puluh lima koloni yang ada, yang diciptakan patung kayu tiruannya dan dipajang
tinggi di bukit pasir di utara.
Apa yang ditemukan
kakek adalah yang lebih berharga dari emas dan berlian. Berkat penemuan ini para
penduduk jadi tak perlu gusar kalau-kalau sang Maha Pencipta menginginkan
mereka semua mati begitu saja di area delapan lima ini, karena di seberang sana,
di balik jurang kematian, ada anugerah Tuhan yang melimpah ruah. Makanan.
Ayah, Ibu, Kakak, dan
tentu saja aku, tinggal dalam satu rumah yang kubilang cukup besar dengan empat
buah kamar tidur–satu masih kosong–sebuah ruang tamu yang luas dengan dua sofa
turun-temurun, dapur, dan juga kamar mandi yang bersih di setiap sudutnya.
Perkenalkan, aku
Jeremy. Tersosialisasi terbaik dengan kosa kata terbaik pula. Tidak disekolahkan
karena memang merasa tidak perlu. Kau bertanya bagaimana mungkin? Dengar, bagiku
hidup adalah masa yang kita pakai untuk memenuhi seluruh cita-cita, sementara
aku–sejauh ini–hanya ingin menulis yang kurasa tidak perlu pendidikan tinggi.
Aku hanya perlu banyak-banyak membaca artikel dengan sedikit bumbu komitmen menulis
dan ‘boom’ sebuah buku. Walau aku
belum punya satu karya resmi pun sekarang, aku akan menunjukkannya padamu suatu
hari kelak.
Kakakku bernama
Guorimo, dan dia laki-laki. Juga tidak bersekolah karena sehari-harinya hanya
membantu Ayah mencari makan dari sarang asupan gizi kakek, yang terkadang
perjalanannya tidak bisa dilakukan oleh orang tua seperti Ayah apalagi ketika sehabis
hujan. Kau tahu, jembatan pipa penyeberangan akan begitu licin dan itu akan
membuatmu mudah tergelincir dan hilang dalam lubang hitam. Dan kakakku–aku
juga, jika mempunyai situasi yang sama–takkan membiarkan hal itu terjadi pada
Ayah.
Ayah dan Ibu. Dua
ciptaan Tuhan yang, well ... serasi.
Bahan kataku akan terlalu cepat habis kalau menggambar detail seperti apa
mereka dan kehidupannya yang penuh dengan cinta dan norma. Jadi aku persingkat
saja, mereka itu serasi–sama-sama baik. Selesai.
Itu cukup tentang
keluargaku, sekarang mari kita keluar sejenak menelusuri liang-liang lain di
sepanjang area delapan lima, ke tenda para kehidupan. Di antara ratusan tenda
kehidupan yang berdiri di luar sana, terdapat satu yang bagiku akan selalu
menarik untuk dibuat cerita, dibahas, bahkan ditarik ke dalam mimpi-mimpi.
Elena. Gadis sederhana
dari keluarga rumit. Bertubuh langsing dengan rambut kuning panjang yang
ditekan sebuah penjepit rambut bunga agar lurus mengikuti arahnya. Penuh senyum
dengan keceriaan tiada tara yang selalu terlihat bagaikan magnet penarik
perhatian. Ia tinggal bersama dengan cukup banyak anggota keluarga di koloni
tujuh tiga ini, yang sayangnya itu berarti ia juga harus hidup bersama dengan konflik
keluarga yang bisa dibilang memusingkan. Jika kau bertanya bagaimana ia bisa
bertahan di dalam sana dan terus tersenyum, entahlah, aku tak tahu. Tapi yang
pasti, aku yakin ia adalah gadis tegar dan pantang menyerah.
Aku dan dia–Elena–sering
bertemu di luar, di antara pasir-pasir keras area delapan lima ketika masing-masing
kami sibuk berjalan jauh dari rumah, berjalan kesana kemari mencari apa yang kusebut
ketenangan. Inspirasi.
Percakapan bodoh sangat
singkat terjadi tak lama setelahnya, yang kemudian berakhir dengan berlalu begitu
saja. Kali ini pun begitu, ketika aku memutuskan untuk berjalan-jalan di bawah
mentari yang sedang tidak terik-teriknya kami kembali bertemu. Aku suka ini.
Aku suka bagaimana setiap kali aku dan dia diharuskan untuk bertemu. Aku
menyebutnya takdir.
Hari ini aku
memergokinya sedang duduk di bawah bayang-bayang dedaunan panjang. Termenung
dalam kelelahan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sedang apa dia? Aku begitu penasaran, lantas mendekatinya pelan.
"Hei," kataku
dengan niat tak ingin mengejutkan tapi nyatanya itu terjadi. Elena memalingkan
wajahnya padaku, begitu cepat saking kagetnya, sampai-sampai beberapa titik riasan
lelah miliknya hilang seketika dalam kebingungan.
“Sedang apa?” Aku
memposisikan tubuhku tepat di sebelah. Elena menatap depannya kembali, sedikit menunduk
karena malu aku telah mendapatinya yang sedang lelah. Apa yang ada di kepalanya
sekarang ini pastilah sangat berat, kau akan langsung setuju begitu kau melihatnya.
Tapi seberapa pun beratnya itu ia tetap berusaha melakukannya. Elena si gadis
tegar, tersenyum.
"Enggak,"
katanya dengan merdu. "Cuma sedang istirahat tenang." Dialah satu-satunya
yang membuatku berpikir bahwa kata-kataku bukanlah yang terbaik di koloni tujuh
tiga ini. Menurutku dia pandai sekali mengolah perasaan ke dalam kata-katanya,
sampai-sampai aku ingin sekali percaya tak ada apa-apa yang sedang terjadi dengannya
saat ini.
Aku menggangguk bersama
dengan kata ‘oh’ yang urung kuucapkan sehingga hampir sama sekali tak terdengar
keberadaannya. Kuikuti wajah Elena yang kembali menyoroti tanah gelap
setelahnya.
"Kamu sendiri
sedang apa disini?" Tanyanya membalas.
Demi Tuhan ini tidak
seperti biasa. Selama ini yang kumaksud berjumpa Elena hanyalah sepintas,
sekedar mengucapkan kata ‘hai’ dan kemudian berlalu. Tapi kalaupun memang sebelumnya
kata-kataku sedikit bermakna berlebihan tentang perjumpaan kami mungkin kau
harap maklum, itu tandanya kau sedang tenggelam dalam kata-kata terbaikku.
“Sedang jalan-jalan
saja." Aku mengakhiri.
"Hari ini sungguh
cerah." Katanya kemudian tanpa peduli jawabanku. Aku menoleh, berusaha
mencerna maksud perkataannya yang kukira kiasan terbalik dari situasi dimana
mungkin ia sedang jatuh sekarang. Sesaat angin datang padaku. Berbisik. Menerpa
kecil-kecil ke depan wajah hingga aku terpaksa sedikit memicing. Dia benar
dengan arti ‘cerah’ yang sebenarnya. Hari ini terasa begitu damai tanpa suara
gaduh. Hanya suara alam yang saling bersahut-sahutan lewat angin dan gerak
lambai rumput.
"Aku ingin sekali
selalu menemukan ketenangan seperti ini setiap hari. Angin. Sunyi. Tak ada suara
Mama yg mengomel dengan Papa, tak ada rengekan Adik yang terbangun karena
kegaduhan, tak ada suara Bibi yang membantu Papa berdebat. Aku rindu hari-hari seperti
itu. Hari yang bagiku hanya akan ada di dalam fiksi.”
Elena menjatuhkan
segalanya padaku. Dia bersandar dengan segala beban masalah keluarganya di
pundak yang kusayangkan terlalu kecil. Seketika jantungku merasa cemas namun
seketika itu juga dia terasa menggema keras. Senang. Kemudian, entah karena dia
mendengar detak jantungku yang terlalu keras atau tidak, ia tersentak dan
terbangun dari sandaran. Diam, setengah mematung dengan wajah berpikirnya yang begitu
aneh. Aku memandangi.
"Remy," Hanya
dia yang memanggilku begitu, "tidakkah kau merasakannya?"
"Apa?"
Hening lalu kemudian, "Gempa."
Suaranya rendah.
Dia segera berlari ke
pemukiman, meninggalkanku yang masih saja diam di bawah bayang-bayang yang kini
menggoyang tak karuan. Ternyata pemikiranku tentang degup jantung yang cemas
sekaligus senang itu telah menutup semua palka kehidupanku seolah aku mati. Apa
yang aku lakukan selanjutnya adalah berlari mengikuti Elena. Entah apa yang aku
harapkan dengan itu aku pun tak tahu, aku hanya mengikuti.
Seluruh penduduk koloni
tujuh tiga berhamburan keluar dari rumah. Berusaha berada jauh-jauh dari benda
apapun yang mulai runtuh. Semua ketakutan, tak terkecuali. Debu-debu dari bahan
bangunan yang roboh semakin beterbangan seiring bunyi ‘brak’, doa-doa tercermin
dari para kepanikan, sementara aku terus berlari mengikuti Elena, seakan dialah
kunci penghenti bencana yang mengerihkan ini.
Mama Elena, Nyonya
Crub, terkurung di antara puing-puing rumah mereka. Badan yang tadinya ingin
lari tapi tak sempat, tertahan oleh reruntuhan yang menimpa punggungnya. Si Adik
kecil, Plop, terlihat di bawahnya, merengek, tapi kuyakin itu bukan karena
takut kalau-kalau sang Ibu akan menimpanya melainkan takut sang Ibu mati karena
melindunginya. Para penduduk–termasuk Tuan Crub–sedang berusaha mengeluarkan
mereka dari sana tapi tampaknya mereka kewalahan, mereka perlu tenaga lain. Aku
segera keluar dari kerumunan yang menonton dan turun tangan. Beberapa orang dari
kami menahan atap yang roboh, sementara yang lain menarik si Adik kecil keluar
lebih dulu lalu kemudian ibunya. ‘Brak’ reruntuhan yang dibiarkan terdengar jatuh
setelahnya dan abu kembali beterbangan di belakang.
Nyonya Crub dan si
kecil Plop tak apa-apa. Beruntung ternyata bahan rumah yang lain sempat menahan
atap rumah yang runtuh hingga tak terlalu menjepit keduanya. Tuan Crub terduduk
di tanah bersama istri dan juga bayinya. Bersyukur. Lalu kemudian datang Elena
yang semenjak tadi dipegangi bibinya di pinggir kerumunan. Sesuatu terlintas di
benakku kemudian. Tuan Crub peduli keluarganya jauh di atas pemikiran orang
lain terhadap dirinya.
Aku tersentak. Aku
teringat tentang jurang kematian. Aku teringat tentang orang yang sekarang
mungkin sedang bekerja di atasnya. Ayah dan Gourimo..!!
Aku segera berlari
dengan kaki-kakiku secepat yang aku bisa. Ini tentang waktu. Bagaimana jika hal
buruk sedang terjadi pada mereka dan aku telat? Aku tak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi padaku setelahnya.
Kerumunan sudah ramai membentuk
namun tak ada satupun dari mereka yang berani mendekat ke pinggir untuk
menolong ataupun untuk sekedar melihat situasi. Semuanya takut kalau-kalau goncangan
ini nantinya akan membuat mereka jatuh ke bawah sana, membuat mereka hilang dan
kemudian mati.
Ayahku ada di seberang.
Aku melihatnya. Syukurlah ia tidak apa-apa.
Ia memandangi kehadiranku dengan sepasang mata besar penuh kepanikan dan
berkata, “Gourimo..!!” Tangannya menunjuk-nunjuk ke satu arah.
Sebuah akar bergerak-gerak
menarik perhatian di tanah keras delapan lima. Membuat kepalaku langsung
menggambarkan keadaan Guorimo yang mungkin tengah bergelantungan di bawah sana
sambil berharap akar itu akan cukup kuat menahan tubuhnya lebih lama. Tapi
sayangnya kerapuhan akar itu berkata lain. Aku bisa melihat serat-seratnya
melonggar sebelumnya akhirnya nanti putus.
Segera kuterobos
barisan mereka yang tak berguna demi melihat seberapa parah waktu yang kupunya.
Guorimo dengan semua
sisa kekuatannya bertahan pada akar yang dipercayainya. Dia memandangiku yang
memandanginya. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan bisa membaca matanya. Selamatkan aku, atau kau akan menangis sepanjang
malam karena takkan ada lagi si kakak laki-laki baik hati yang akan mendengar
hasil tulisanmu. Tanpa mengulur waktu segera kuambil akar yang menjadi
penopangnya, kutarik dengan sekuat tenaga demi menunjukkan kepada alam apa yang
dipunya anak laki-laki.
Aku mulai.
Akar itu terasa kasar
di jari-jari tubuhku yang serba hitam. Seakan membakar tapi tak apa. Demi Guorimo. Kaki-kaki kuhentak dan
kutanam pada tanah sementara tarikan otot berusaha memenangkan nasib baik.
Aku
bisa. Aku meyakinkan diriku sendiri sementara aku terus menariknya
ke atas. Tapi apa yang kemudian terjadi selanjutnya adalah yang tidak
diharapkan. Gempa mengguncang lebih kuat, membuat satu-dua kakiku kehilangan
pijakannya. Peganganku pun terlepas. Tali akar yang tadinya sudah naik beberapa
senti kini mengulur lagi ke bawah di luar jangkauan tanganku. Jatuh pada titik
terfatal. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain, “tidaaakkkk..!!” dengan tangan yang
terus menggapai. Guorimo, maafkan aku.
Dia besar dengan tangan
dan perut yang menghalangi datangnya sinar matahari. Membuat segalanya gelap
dalam sesaat. Aku mendongak.
Tuan Crub menggantikan
posisiku yang telah jatuh ke tanah. Ditariknya akar itu dengan sekuat-kuatnya.
Tubuh dan tenaganya yang jelas lebih besar dariku membuatnya sedikit mudah
dalam menangani hal ini. Perlahan tubuh Guorimo yang tak begitu besar dariku
terlihat muncul di pinggiran. Dengan langkah yang tak bisa kujelaskan bagaimana
tergopohnya, aku menjemput tubuhnya, menarik Guorimo ke atas untuk sama-sama
terjungkal di atas tanah.
Dengan nafas terengah,
aku melihat matahari yang masih saja bergoyang namun sudah memelan. Kuperhatikan
Guorimo yang tergeletak di samping. Ia tersenyum bangga padaku sembari menepuk-nepuk
kepala hitamku. Semua mendekat, penduduk-penduduk itu yang penasaran pada
kejadian kami. Kelegaan keluar bersama sorak-sorai dari semua pemikiran yang
memandang, termasuk Ayah yang tersenyum di seberang dan juga Ibu yang baru saja
datang karena mendapat kabar dari seekor tetangga–mungkin.
Inilah akhirnya. Dimana
gempa berhenti dan orang-orang di atas kami kembali ke rumah masing-masing sambil
setengah berharap tak ada gempa susulan. Sementara kami, para semut hitam yang
hidup di bawah depan rumah mereka bersama jurang kematian yang sering disebut
selokan, menatapi puing-puing rumah yang harus disusun kembali.
Tiga minggu setelah gempa
7.9 skala ritcher itu–aku tahu istilah ini dari manusia yang sibuk bercerita
tentangnya tak lama setelah kejadian kemarin–koloni telah membenahi segalanya.
Bahkan untuk beberapa hal, koloni tujuh tiga telah menemukan yang terbaik.
Tuan Crub dan keluarga
kini tak dikenal lagi dengan kegaduhan-kegaduhan mereka yang memusingkan,
justru mereka dikenal sebagai keluarga ramah yang suka membantu sesama.
Guorimo dibantu Ayah
dan juga penduduk lain, dengan segala traumanya menciptakan sebuah konsep tali
pengaman yang memudahkan siapa saja untuk mengangkut makanan dari seberang
selokan.
Sementara aku, Jeremy
Gulp, sedang bekerja sedikit lebih keras dari biasanya bersama sebuah kacamata berbingkai
besar di bawah lampu oranye kamar untuk mengedit naskah tambahan yang diberi
kekasihku, Elena.
---
Tags : koloni 73, aditya prawira, drama, fabel, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar