[Short Story] The Owner


"Untuk mereka yang hilang entah kemana,"


          Memelihara tujuh kucing sekaligus bukanlah perkara yang mudah, ditambah lagi kau bukanlah seorang pekerja yang nantinya akan menjual mereka –dimana kau memang harus melakukan itu demi mendapatkan sepeser uang- ataupun seorang berkemampuan khusus yang bisa berbicara dengan hewan berbulu menggemaskan untuk bertanya tentang apa yang sedang mereka pikirkan saat itu, dan kasus ini David sedang merasakannya. Dengan mengandalkan cinta teramatnya David mulai menyebut dirinya pemilik.
        Sampai saat ini David merupakan pemilik kucing terbanyak di komplek, dengan empat ekor hitam putih dan tiga yang lain belang abu – abu dia tinggal bersama orang tua angkat dan seorang adik perempuan di sebuah rumah tahun yang dibangun tahun 90-an –saat ini sudah mengalami empat kali renovasi.
          Hal ini tentu tak diterima mulus oleh kedua orang tua yang telah mengadopsi dia dan adiknya semenjak mereka berumur delapan dan enam tahun, yang tak jarang menemukan kotoran – kotoran menggulung dan ceceran menjijikkan di berbagai sudut rumah. Tapi David tidak mengindahkan itu, setidaknya tidak terlalu, pendapat mereka ya pendapat mereka –biarkan saja.

          Berawal dari ia yang menemukan seekor –hitam putih kurus- yang berlalu lalang tanpa tujuan di depan rumah. David yang melihat dari ambang pintu, segera berlari mengambil sepotong sayap di dapur. Ia ingat betul bagaimana kucing itu dulu masih –sangat- takut terhadap dirinya, sampai – sampai ia harus terus menjulurkan ayam di tangannya agar kucing itu tergiur dan akhirnya dekat –masih dengan takut- dan makan –kucing itu membawa ayamnya pergi. Begitu seterusnya beberapa hari hingga keduanya terbiasa dan sang kucing betah dan tinggal.
          Waktu berjalan cepat, kini David –sudah bersama enam lainnya- keluar di titik tujuh pagi dengan dua piring penuh whiskas –tak lagi sepotong ayam. Serentak ketujuh peliharaannya mengeong pertanda ingin. Piring diletakkan di halaman rumah dan langsung mereka berhamburan mengelilingi celah piring yang belum diisi saudaranya. Mereka makan. Lahap. Beberapa di antaranya menggeram sambil mengunyah seakan berkata pada yang lain, ‘aku sedang makan, jangan ganggu aku!’ dan sisanya tenang tak ingin berdebat demi sebuah sarapan pagi.
          Mereka –kucing – kucing David- begitu takut dengan Tuan Flirt yang berperawakan tinggi dan berisi, yang selalu menendangkan kakinya ke lemari terdekat demi mengusir mereka yang sedang sibuk menjilati tubuhnya di atas karpet. Bagaimanapun, bagi David, seberapa buruk mood-nya ketika mereka hadir dengan bulu – bulunya yang terkadang terasa lengket di kaki, ia tidak pernah melakukan itu, David selalu mengurungkan. Kau tahu, betapa ia menyukai kucing – kucing ini.
          Suatu ketika, guci kecil Nyonya Flirt pecah, jatuh dari lemari karena disenggol tubuh kucing gendut hitam putih yang sibuk menggelung di rongga lemari. Nyonya Flirt tidak marah ketika itu, berusaha memaklumi. Tapi kemudian, ketika kotoran menggulung dan makanan yang dikeluarkan kembali itu (kau bisa menyebutnya muntah) tidak kunjung turun frekuensinya –justru bertambah-, datang sebuah masalah pemikiran.
          “Kak, yang dua –abu – abu- kecil mana? Enggak ada kelihatan dari kemarin.”
Mona –adik kandung David- adalah orang kedua yang menyadari hilangnya dua kucing kecil tersebut, yang kemudian diikuti Ayah dan Ibu –angkat- mereka yang turut tahu dikarenakan Mona yang menanyakan hal tersebut pada mereka -yang mungkin saja tahu. Tak ada petunjuk saat itu. Mereka berdua –Ayah dan Ibu angkat- hanya saling bertatapan tanpa komentar berarti saat adik kandung perempuan David bertanya pada mereka di meja makan. Mata keempatnya heran sambil bertanya – tanya.
Dari tempat duduknya, David memandangi mereka dengan cara yang lain.

          Malam menjelang, rasa penasaran David membesar. Ia tidak bisa tidur di balik selimutnya yang tidak lagi terasa nyaman. Matanya tidak bisa memejam, hanya memandang pendar lampu yang cahayanya tak terasa apapun –dia mengkhayal. Dia berpikir tentang orang tua angkatnya yang membuang dua kucing itu ke jalanan, tentang bagaimana dua kucing itu menghindari klakson di jalan besar. Pikirannya sudah memiliki konsep, ia hanya perlu gulungan bukti sebelum akhirnya bertanya ‘kenapa’ untuk sebuah alasan walau mungkin ia sudah tahu apa yang nantinya akan mereka katakan.
David keluar dari kamar, diam – diam melangkah ke kamar kedua orang tuanya yang dari sana samar – samar ia dengar sesuatu. Bisikan kamar. Ia tahu itu bukanlah hal yang ia cari, dan juga ia tahu bahwa ia harus menunggu sebelum mereka –jika mereka memang melakukannya- berkata sendiri pada percakapan mereka dengan cara tak sengaja.

          Esok adalah hal paling tak diduga, ketika ia sedang sibuk memberi whiskas pada lima kucingnya –empat hitam putih dan satu abu – abu- ia mendengar sesuatu. Ia sangat yakin tetangganya yang tidak sopan itu tidak sadar bahwa dia, David, sedang ada disana. Dia, si wanita gemuk berkulit hitam dengan suara yang menggema kemana – mana ketika bergosip dengan tamunya yang –selalu- datang, lagi – lagi sedang bicara.
          “Ih, banyak kali. Dimana – mana!” katanya dengan penuh semangat. “ Ya udah. Capek aku bersihkannya setiap hari, kubuang ajalah kucing itu. Orang itu kan suka juga datang kemari, kutangkap aja terus kubawa ke simpang sana. Kubuang.”
          Di simpang sana?
          Kepala David menerawang. Pikirannya bermain.

          Ruangan besar itu gelap. Si wanita gemuk telah mematikan lampu kamarnya sedang ia tidur tanpa bersuara. Dalam lelap sebuah tangan –tanpa diundang- keras menutup mulutnya yang tentu saja terkejut dan ingin berteriak. Matanya menerka – nerka di dalam gelap, orang gila mana yang masuk ke dalam rumahnya malam – malam begini. Tanpa menghidupkan lampu di sebelah ranjang yang menawarkan sinar redup berwarna oranye, David memulai.
          “Selamat malam, Nyonya Phil.” Wanita itu ketakutan, mencoba menangkap sosok yang sedang menawannya dengan melirik. Kegelisahan datang bersama dengan runcing pisau yang dialirkan David ke wajahnya, yang perlahan turun dari kening ke dagu. Mematikan. “Kau pasti bertanya – tanya siapa aku dan ada urusan apa datang kemari.”
          Nyonya Phil tak bisa apa – apa. Ia hanya bisa berusaha mengatur jarak nafasnya agar tak tersengal. Jantungnya sungguh tak bersahabat kali ini.
          “Aku David tetangga sebelah, dan aku datang kesini cuma ingin tanya satu hal,” dia berhenti sesaat. “dimana kau membuang kucing – kucingku Nyonya Phil?”  David melepas tangannya yang semenjak tadi menggenggam segumpal bibir dengan pelan, membiarkan gigi – gigi itu saling terdengar beradu karena ketakutan. Nyonya Phil yang sangat takut –tentu saja- belum menyiapkan mental angkat bicaranya. Belum lagi memikirkan David yang –baru saja kemarin- terlihat manis kekanak – kanakan bermain dengan kucing – kucing kesayangannya sekarang berubah menjadi seorang psikopat. Sungguh Nyonya Phil telah kehilangan dirinya.
          “Kau akan bilang, atau kutusuk tepat di leher.” Ia tahu ini satu – satunya cara, bagaimana ia menciptakan suasana semakin ngeri dengan ujung pisau yang sekarang ia ajak berjalan di kulit berdenyut nadi. Sebentar lagi ia akan mendapatkan jawaban. Ia yakin itu.
          Nyona Phil menjawab dalam air mata yang entah sejak kapan sudah menetes di gundukan pipinya yang besar, “Me-mereka d-di  sim-ppang Ggre-eenn Pal-lm.”
          “Green Palm? Kau yakin?” Wanita gemuk itu menggangguk. “Oke, kalau begitu. Terima kasih atas kerja samanya Nyonya Phil. Senang bisa sedekat ini dengan Anda.” David menjauhkan ancamannya dari leher, bergerak mundur pada sprei hingga nantinya akan semakin kusut dan hilang dalam gelap yang semakin pekat di belakang.
         
          David pulang dari SMA-nya ketika matahari terik di pukul tiga. Di antara dua lengannya yang ia satukan di perut, terlihat dua yang tak asing. Abu – abu. Mereka tersenyum karena pulang. Dari jauh, David bisa menemukan rumahnya telah dipenuhi banyak orang, tapi kemudian begitu dekat beberapa jarak ia tahu itu bukanlah rumah milik mereka melainkan rumah si gemuk hitam di sebelah. Disana, hadir pula ambulance, yang oleh dua orang petugas berpakaian seragam dimasukkan sesuatu yang sebelumnya didorong di atas ranjang beroda ke belakangnya. Apapun itu yang ada di atas ranjang, yang pasti sangatlah mengerihkan. Kain penutup putihnya yang telah dirembes darah mengatakannya jelas – jelas pada angin yang tercemar amis.
David memandangi tubuh itu masuk ke punggung ambulance bersama dua kucingnya yang kemudian mendesak keluar dari pelukan. Lima yang lain keluar dari celah pagar setelahnya, bergabung dengan mereka yang sudah dipisah seolah mengucapkan ‘selamat datang kembali’. Ketujuhnya berbaris di depan sang pemilik, membentuk barisan berjumlah empat, dua, dan satu di belakang kumpulan orang ramai. Tersenyum dengan riasan masing – masing sembari mengingat apa yang selanjutnya terjadi kemarin.

          “Kau yakin?” Tanya David di akhir interogasinya. “Oke, kalau begitu. Terima kasih atas kerja samanya Nyonya Phil. Senang bisa sedekat ini dengan Anda.”
Ia menjauhkan dirinya. Memberikan ruang bagi Nyonya Phil yang sudah hampir mati ketakutan dengan getaran hebat di giginya dengan melakukan gerak mundur ke kegelapan lebih sebelum ia kembali berbalik dengan acungan pisau tanpa kilat yang tak terbayangkan. Agar tak menuai jerit yang bisa membuat kacau, ia langsung menancapkan pisaunya di kening, begitu dalam hingga hanya terlihat gagang hitamnya. Sesuatu turun, mengalir di antara mata yang masih saja tak percaya.
David menarik gagangnya ke samping. Dengan tenaga yang sangat, ia berhasil mengoyak sebuah tengkorak. Darah mengucur deras menutupi kulit hitam wajahnya. Mengalir bersama dengan apa yang disebut pembalasan. Nyonya Phil mati dalam keadaan terkejut, dimana mata dan mulutnya menganga. Saat malam menyangka segalanya telah berakhir, lima kucing kesayangan David hadir menaiki ranjang. Duduk memandangi dia yang sudah tak berdaya, menunggu.
No Mercy.”
Kata David pada kucing – kucingnya sementara ia berlalu dari ruang yang sudah dipenuhi amis, membiarkan para prajurit mencakar dan menggeram dengan taring sekasar yang mereka suka.

---


Tags : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages