Pertengahan Oktober.
Tanah dan aspal menggelap,
abu hilang jejak. Udara melembap. Orang-orang bersepeda motor dan pejalan kaki
menghindar dari badan jalan, berbondong-bondong mencari kanopi terdekat demi
bergumam tentang cuaca hari ini. Hujan. Ruas jalan seketika hanya diisi oleh
mobil-mobil kaya yang mengkilap, angkutan umum dalam berbagai warna dan angka
yang semakin gencar saja mencari penumpang, beberapa orang yang nekat menembus
lebat dengan sedikit berlari, dan air yang mengisi sisa kekosongan di tengah-tengah
alam. Sementara lainnya hanya bisa menunggu kemurahan Tuhan di balik hujan.
Di bawah kanopi sebuah
kedai burger yang belum buka, Mutya melipat tangannya. Bersama dengan beberapa
orang tak dikenal ia berdiri. Tubuhnya tidak basah. Ia sudah berada di dekat
sana ketika hujan mulai mengguyur, hingga hanya beberapa titik hujan yang
berhasil jatuh di sweater birunya
yang kemudian hilang dalam resapan. Mutya mengelus-ngelus kedua lengannya yang
terasa tertiup di balik sweater yang
dibelinya dengan uang sendiri. Dingin. Matanya mengamati jalan yang masih saja
ditindih deras hujan, menunggu angkutan berkulit merah dengan angka puluhan di
wajahnya. Enam tiga.
Hujan hampir kosong
ketika ia menemukan angkutan miliknya telah dipenuhi orang-orang yang naik
sebelum tiba di kanopinya, membuatnya harus menunggu lebih lama untuk sebuah
lagi yang lain. Menyebalkan.
Sebuah langkah tiba-tiba
menghalangi pandangannya kemudian. Berhenti–hampir tepat di depan dirinya–dan
berbaur dengan dunia kanopi mereka yang semakin sepi. Dia seorang pria, putih
dengan tidak terlalu, tinggi, mengenakan jeans yang menggantung hingga lutut
dan kaos putih yang dilapisi jaket hitam yang terlihat hangat. Senyumnya manis,
kau akan setuju begitu kau melihat bagaimana cara ia menggoda seorang bocah laki-laki
berseragam merah putih tak jauh di samping. Tampaknya mereka tak saling kenal.
Hanya pria itu saja yang sedang senang dengan paginya. Wajah anak itu heran menatap
dia yang berani-beraninya merusak tatanan rambut yang ia ukir sendiri tanpa
permisi.
Pria itu tak lama disana,
hanya sesaat, lalu pergi berlawanan arah dari datangnya.
Mutya memperhatikan
pria itu hingga selesai tanpa putus. Dari awal hingga hanya terlihat punggungnya
yang dilapisi jaket ia melakukannya. Ia tertarik.
Angkutan umum yang
ditunggu datang. Fisiknya yang merah tak sengaja terlihat di ujung mata. Mutya
menyempatkan diri untuk memastikan. Begitu mengucapkan perpisahan dengan
pandangan terakhirnya Mutya pergi meninggalkan kanopi.
Di kelas Mutya tak bisa
berbuat apa-apa. Suasana ruangan yang begitu membosankan mendukungnya untuk
tidak memperhatikan, beralih menatapi jendela bening yang menawarkan pemandangan
lantai dua. Saat ini kepalanya sedang sibuk memikirkan dia. Pria di balik
hujan.
---
Hari ini Mutya Pricilla
tak ada kelas pagi, ia milik siang. Bersama-sama dengan langit gelap dan hujan ia
kembali hadir di bawah kanopi yang sama. Sedikit iseng dengan berharap bahwa hal
istimewa kemarin akan terjadi lagi kali ini, ia mencari. Tapi bagaimana
mungkin? Angkutan umum merah berwajah enam tiga terlihat di kejauhan. Tanpa
usaha keras menembus bata-batas hujan yang masih saja bersuara deras. Mutya ‘memanggilnya’
begitu dekat dan tanpa menghiraukan lagi harapan tak beralasan miliknya, ia pergi.
Di dalam ia memilih duduk
di ujung bersama dengan plastik transparan di bagian belakang kendaraan yang
keras. Para penumpang yang kebanyakan merapat ke sisi pintu–tak ingin repot
ketika hendak keluar nanti–memaksanya melakukan itu. Mutya mendudukkan tubuhnya,
meletakkan tas samping di pangkuan. Ia berusaha nyaman.
Matanya tidak melakukan
sesuatu yang salah ketika itu. Ia justru bekerja dengan benar hingga akhirnya
bisa menangkap sosok yang belum lama ini ia kenal. Pria berwajah teduh itu ada
di luar. Tengah berjalan ke dalam kanopi yang beberapa detik lalu baru saja ia
tinggalkan. Dia diam berdiri disana menunggu hujan, sunyi memandangi kanan-kiri
demi sesuatu.
Mutya mendekatkan
pandangannya pada plastik transparan keras di bagian belakang kendaraan. Memandangi
dia yang semakin lama semakin tak jelas karena buru-buru dikaburkan oleh air. Jika
saja ia menunggu lebih lama lagi di bawah kanopi ...
---
Kamis. Masuk siang
kedua sekaligus terakhir di tiap minggunya setelah seharian libur dalam Rabu yang
tidak terlalu terik namun tidak pula hujan.
Satu tiga puluh.
Matahari sangat panas. Tidak ada tanda-tanda hujan. Mutya ber-cardigan cokelat dan jeans biru tua yang
menyempit di bagian pergelangan. Dua buah buku terlentang di sebelah tangannya
dengan malas.
Mutya berniat untuk
bertahan lebih lama kali ini. Ia tidak ingin berakhir seperti kemarin.
Tanggung. Lagi pula ia tidak akan telat jika hanya melebihkan sepuluh menit
dari waktu semestinya untuk sekadar menatap dekat pria tanpa nama itu. Pasti
akan menyenangkan jika mereka bertemu lagi. Semoga.
Transportasi enam tiga
telah lewat sebuah, tapi tanda-tanda dia akan datang belum juga terlihat. Hanya
orang lain yang lalu-lalang tanpa diinginkan.
Hujan tiba-tiba turun. Dengan
ditemani aura panas yang sama sekali tak meredup mereka gerimis. Mutya
menyempatkan diri untuk menyapa fenomena tak mengenakkan itu dari balik kanopi,
yang kemudian tanpa disadari matanya menangkap angkutan enam tiga lain bergerak
mendekat. Mutya melihat jam ponsel di sakunya. Satu lima puluh. Sudah tak
mungkin. Untuk terakhir kalinya ia memandangi arah datang pria itu yang biasa.
Kosong. Dia tidak ada.
Mutya melangkah maju
dari garis kanopinya dan ...
Bukunya terguncang, tumpah.
Spontan Mutya segera merendahkan diri dan pergi memungut. Tanpa disengaja tangan
dan tangan berjumpa. Memancing kejadian biasa dalam sebuah roman picisan. Untuk
pertama kalinya mereka bertatapan. Menggulung waktu hingga terasa seakan
berhenti menghitung. Hujan tanpa disadari melambat. Orang-orang mengaku beserta
dengan kendaraannya. Indah.
Mutya tersentak. Hampir
saja tersesat ke dalam mata cokelat yang bersih itu. Ia buru-buru mengambil dua
bukunya dan kembali berdiri.
“Sorry..” Mutya pergi tanpa ingin mengenal lebih tentang namanya. Ia
terlalu gugup, lantas meninggalkan panas, hujan, dan apa yang ada di balik sana
dengan begitu saja. Hari itu bukan lagi tentang Mutya yang membatu karena
memandangi seorang pria baru dikenal hingga hanya terlihat punggungnya saja,
melainkan tentang seorang pria yang memperhatikan dirinya hingga duduk di dalam
angkutan dan melaju.
---
Hari berikutnya Mutya
menunggu di kanopi yang sama walau hari sedang tak ingin hujan, walau hari
masih terlalu pagi untuk dicaci teriknya. Dia menunggu lama. Rela melewatkan
dua angkutan merahnya hanya untuk sebuah kepastian; dia tak akan datang.
---
Sama seperti hari sebelumnya,
hari ini tidak ada hujan dan tidak ada dia. Hanya ada seorang wanita belasan
tahun yang rela berdiri lama di kanopi sebuah kedai burger.
---
Libur di Minggu. Mutya
memilih untuk pergi ke toko langganannya yang terletak tak begitu jauh dari
rumah daripada hanyut di kamar lamunan. Pelarian rutin.
Toko penyewaan komik ini
tidak terlalu besar, hanya selebar dua ruang kamar yang disatukan. Di kanan,
kiri, dan belakang toko ditempeli lemari penuh buku yang menyandar ke dinding.
Sementara di bagian tengah toko ada dua lemari lagi yang memisah ruangan hingga
tampak seperti bergang-gang. Toko ini lengkap dengan sebuah kipas angin yang
berputar di sudut ruangan. Membuat siapa saja yang masuk kesana merasa begitu
betah, termasuk Mutya.
Dia sedang berada di
sisi kiri toko–sejajar dengan kasir–ketika berisik terjadi, ketika orang-orang
berlari mencari perlindungan, ketika air mulai mengguyur cepat. Hujan. Deras. Sesaat
ia melamun memandangi air demi air yang turun, teringat tentang sebuah kanopi
dan pria yang selama tiga hari ini terlihat wujudnya di balik hujan namun
kemudian hilang pula bersama dengan hujan dalam dua hari. Siapa dia?
Mutya meletakkan kembali
komik yang sempat singgah di tangannya ke dalam rak. Ia bergegas. Ingin
mengejar sebuah pengharapan. Tak peduli bagaimana hujan akan memijak-mijak dirinya
nanti.
Rumah,
kanopi, toko. Kanopi adalah setting
tengah. Tak lebih jauh, tak lebih dekat. Ia tak perlu lama untuk ini. Jarak
antara toko ke kanopi bisa diabaikan jika mengingat jarak kanopi dan rumah. Jika
ia memerlukan dua belas menit untuk berjalan dari rumah ke kanopi, maka ia hanya
akan memerlukan sekitar lima menit untuk tiba di kanopi dengan berlari. Tak ada
masalah. Yang perlu ia perhatikan adalah bagaimana ia bisa terus melaju sementara
tubuhnya menahan deras.
Setelah
mengukuhkan tubuhnya agar kuat, setelah jatuh sekali di simpang dekat toko
hingga lututnya tenggelam dalam semi lumpur dan diciprat habis-habisan oleh
pengendara ‘tak berotak’ yang sedang buru-buru, kanopi itu akhirnya terlihat.
Dia benar. Pria itu ada
disana. Sedang memandanginya yang rela basah-basahan hanya untuk tiba. Mutya
tersenyum, dan dengan tubuh yang basah kuyup ia tergeletak di semen toko. Ia
kedinginan. Kepalanya berat. Mutya tidak kuat lagi.
Begitu
membuka mata Mutya telah menemukan dirinya berada di satu ruangan. Terbaring. Ia
tak tahu ini pastinya dimana dan tak begitu peduli, yang pasti disana, di
sebelahnya, ada dia. Pria di balik hujan. Tengah duduk menungguinya, entah sudah
berapa lama.
“Kamu baik-baik saja?”
Tanyanya cemas.
Mutya tak langsung
menjawab. Ia hanya menelan ludah dan membuang wajahnya menjauh agar tak begitu terlihat.
Menyempatkan ruang hanya diisi hari yang masih hujan dari luar sana. Hening.
“Sudahlah, Rain.” Dia
bicara–dengan mengeluh. “Aku tak sanggup lagi. Aku tak sanggup jika kita terus berpura-pura
tak saling kenal. Ide berjumpa di kanopi ketika hujan itu buruk. Pura-pura
berteduh dan kemudian berjumpa tanpa diduga. Persetan! Aku kangen. Aku ingin
kamu. Aku ingin kita bicara. Aku tak peduli apa kata mereka jika mereka
melihatku dengan kamu. Aku tak peduli tentang AIDS sialan itu. Aku cinta kamu,
Rain.” Dia menangis.
“Ini akan berakhir kan,
Rain? Kita akan bersama lagi kan? Iya kan?”
Rain mengangkat wajah.
Memandangi kekasihnya–yang masih saja tidak memandangi–dalam diam. Memejam.
“Maafkan aku.” Suaranya
rendah. “Ini demi kebaikanmu.”
Pria itu kemudian
beranjak dari bangkunya tanpa berkata apa-apa lagi. Pergi dengan air mata yang diam-diam
mengalir di sebelah pipi. Meninggalkan seorang kekasih yang semakin deras rasa
sakitnya. Kini, di balik hujan keduanya menangis.
---
Tags : di balik hujan, aditya prawira, romance, cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar