Banyak yang tak
kuingat ketika itu terjadi. Aku tak tahu hari itu hari apa dan tanggal berapa,
aku tak tahu apa yang sedang dilakukan presiden dan wakilnya saat itu, yang aku
ingat hanya suasana yang begitu saja tenggelam dalam malam dan rasa takut yang
masih saja berdegup –bahkan sampai sekarang. Aku dengan beberapa temanku yang
tidak mungkin disebut satu per satu namanya, terpaku dalam satu kepastian,
ketakutan. Tak ada yang berharap dia akan menggunakan rambutnya untuk membelah
pintu kelas menjadi ratusan, aku jamin itu. Dia dan rambut gimbalnya –beserta
dengan apapun yang ada didalam sana- adalah mimpi buruk kami malam itu. Dia, hantu
grammar matematika.
Jangan tanya aku
tentang asal – usul nama itu, aku sendiri tidak tahu. Temanku duluan yang menyebutnya
begitu, aku hanya pengikut setia. Dan ketika aku bertanya kepada mereka tentang
apa yang baru saja kau tanyakan padaku, mereka berkata, “Jangan tanya kami
tentang asal – usul nama itu, kami sendiri tidak tahu. Teman kami duluan yang menyebutnya
begitu, kami hanya pengikut setia.” Perfect!
Tapi bagaimanapun
juga aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa mungkin saja diriku tahu
kenapa. Aku menemukan petunjuknya ketika kami berdua –aku dan si gimbal- berpapasan
di kamar mandi. Saat itu aku sedang mempersiapkan kostum untuk kerja malam.
Kubongkar tas yang berisi penuh pernak – pernik ratu malam dengan santai. Dress, wig, pinset, bor, batu bata, semua kukeluarkan. Aku tak ingin ada
yang absen satupun, tapi kalau sakit ataupun izin keperbolehkan.
Sesuatu kemudian
mulai menggangguku. Aku bisa melihat diriku di cermin! Bukan, bukan itu
maksudku, tapi aku bisa melihat diriku di cermin yang bisa memantulkan
bayangan! Bukan, bukan itu juga maksudku, tapi … oke, aku stress, kuakui, kau
senang? Mari kita tidak usah membahasnya.
Seperti di kebanyakan
adegan horror yang telah beredar, baik di bioskop, di pasar, di rumah, ataupun
di hatimu, dimana pemeran utamanya mendengar sesuatu yang salah di belakangnya
atau lebih tepatnya di salah satu ruang kamar kecil yang ditutup pintunya, maka
ia dengan penasarannya akan menghampiri pintu itu dan membukanya dengan
ekspresi seadanya. Aku yakin kejadian selanjutnya dari cerita ini adalah
sesuatu yang baru dalam hidupmu, kau tahu, ini istimewa.
Pintu berbunyi ‘krek’
ketika kubuka. Membuat udara di sekitar semakin kaku dan menyeramkan. Aku
melihatnya duduk disana, di apapun kau menyebut benda itu, sedang melakukan
sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat. Hantu itu menatapku dengan ekspresi
marah, aku salah karena telah mengintipnya. Itulah petunjuknya. Tapi bukan,
rambutnya atau apapun yang sedang ia kerjakan disana, melainkan wajahya. Ada
tulisan – tulisan yang menembus kulitnya. Sesuatu yang berbunyi seperti; I love
U, Bored, I get sick, dan sejenisnya. Jika kau menjadi aku, belum tentu kau
menyadari ini. Jadi biar kuperjelas inti dari semua ini; tulisan itu Inggris.
Mungkin karena alasan itulah mereka memanggilnya grammar, bukan grandma. Tapi untuk
alasan nama matematika-nya aku belum menemukan petunjuk. Aku tidak melihatnya
sedang menggunakan alat hitung atau kumpulan rumus matematika yang menggulung
di rambutnya. Masih terlalu abstrak. Namun bagaimanapun aku tetap optimis akan
menemukan alasan itu segera. Dengan kekuatan bulan aku akan berusaha.
Aku ingat bahwa
diantara kami tidak ada yang bicara malam itu. Berusaha memanfaatkan media
terbaru yang ada, telepati. Selain tidak perlu mengeluarkan hawa lain dari
mulut berupa aroma tidak sedap, media ini juga tidak menggunakan pulsa, hingga sangat
cocok untuk para pelajar dan mahasiswa. Promosi.
Kami diam dalam waktu
yang cukup lama. Membiarkan detik – detik berlalu begitu saja. Namun entah
kenapa rasa kesetiakawananku ini tiba – tiba saja muncul, aku takut terjadi apa
– apa di antara kami yang diam, perasaaanku mengatakan bahwa mungkin saja mulut
seseorang dari kami telah dibungkam oleh sepotong tangan pucat yang entah dari
mana asalnya. Dengan segala keberanian yang kupunya –saat itu tinggal nol koma
empat persen- aku memandangi mereka satu per satu tanpa takut menemukan sosok lain
yang tidak diinginkan. Dan apa yang kemudian kutemukan sungguh mengejutkan, aku
menemukan salah seorang dari kami tengah berjongkok di sudut ruangan.
Ekspresinya aneh, namun sepertinya familiar.
“Criiitt …” Bukan,
itu bukan seperti yang kau perkirakan. Itu adalah bunyi pintu kelas yang
semenjak tadi kami tutup dan sekarang dia tiba – tiba membuka. Semua memandangi
pintu yang mulai menyisipkan cahaya luar ke dalam ruangan, termasuk ia yang
kini telah memakai celananya dan berdiri kembali.
Catatan : Aku tidak
ingin mengatakan apa – apa tentang kuning – kuning bercahaya yang kulihat malam
itu. Tapi jika kau penasaran dan ingin tahu kau bisa menghubungi nomorku.
Hantu itu di luar
sana. Mondar – mandir dengan … hingga membuatnya harus menyeret – nyeret
langkahnya.
a.
Kakinya yang sedang kehabisan baterai.
b.
Rasa cintanya terhadap kebersihan
Pilihlah
jawaban yang tepat untuk mengisi titik – titik di atas.
Dia menatap kami
dengan rambut gimbalnya. Matanya putih dengan manik – manik berwarna
secukupnya. Lipstick-nya pudar, entah kapan ia terakhir kali memakainya. Dia
sungguh mengerihkan. Hendru yang berada paling dekat dengan pintu, segera
berlari, bukan untuk berkata ‘hai’, ‘hello’ atau apapun itu yang bisa membuat
dunia manusia dan gaib bersatu, melainkan untuk menarik pintunya kembali hingga
kami kembali terisolasi.
“Brak!!” Hendru
mundur beberapa langkah ke belakang sambil tetap memandangi arah pintu,
mengawasi. Ryan yang tadinya duduk diam di meja guru, kini bangkit. Dia
menatapku kejam dan berjalan menghampiri. Suara sepatunya menggema, “Tak, tak,
tak, tak,” dia kuda.
“Apa maksudmu
melakukan itu?”
“A..Aku?” Aku
tergagap. Nervous.
“Obsesimu telah
membawa kami dalam bahaya.”
“Obsesi? Aku tidak
mengerti apa maksudmu. Silahkan isi formulir ini untuk konsultasi selanjutnya.”
“Aku tidak sedang ingin
bercanda.”
Aku diam. Speechless. Apapun itu namanya yang
pasti aku tidak bicara. Kuambil perekat dari tas dan kemudian kugulung
mengitari mulutku yang seksi dan kuberi beberapa anak hekter di beberapa sudut mulut
supaya rapi. Ouch!
“Criiittt …” Pintu
kelas kembali terkincit.
“Eeeekkk.!!!”
Hendru
menjerit. Ia ditarik hantu grammar matematika! Entah apa yang menariknya
keluar, entah itu katrol yang digunakan oleh nenek – nenek itu atau hanya
sebuah daya magis, yang pasti kami semua ingin keluar dari sana, secepatnya! Tangan
Hendru sibuk menggores lantai kelas bukan karena ia ingin meninggalkan jejak
terakhirnya untuk dikenang, melainkan ia hanya mencoba untuk bertahan dari maut
yang sedang menarik roh-nya keluar. Semua gelisah dalam peluh. Menolong adalah sebuah
kata yang perlu dipertimbangkan baik – baik ketika itu hingga akhirnya Wina
datang bak superhero. Dia berlari menghampiri Hendru yang nyawanya sedang terancam
dan dia dengan cepatnya menginjak jemari Hendru yang masih saja sibuk
menggaruk. Hendru pergi dan Wina menutup pintu kembali. Brilian!
Kelas
kembali hening. Nenek itu sungguh memukau.
Di saat aku berpikir
bahwa ini adalah waktunya untuk menemukan cara keluar, Ryan kembali menatapku
dan aku ... nervous.
“Berhenti
untuk membuka pintu itu! Kami semua tahu kau yang meakukannya. Kau ingin
melihat hantu itu disini. Obsesimu itu berlebihan!”
Petir
menyambar sekali. Aku difitnah. Tega. Aku meneteskan air mata, tak lepas pula
dari sesuatu yang naik turun di hidung. Kupegang lendir itu dengan ujung jariku
dan kuberikan pada Ryan. Dia suka. Jadilah kami yang bermain ingus – ingusan.
“Brak..!!” Hantu itu
kembali. Kali ini ia menunjukkan murkanya. Pintu terbanting keras dan Hendru telah
dikembalikan, hanya saja dalam bentuk yang tak lagi bisa dibilang utuh. Ususnya
beruarai, rambutnya menghilang entah kemana, darah .. eeeewww.. Susana semakin
mencekam. Tangis mulai datang dari mereka yang takut menjadi selanjutnya. Can I go home now?
Sesaat kemudian
sebuah sorot mobil membias di kaca jendela yang seakan mendengar jerit kami
yang dilanda bencana. Kami berlomba – lomba menuju jendela, ingin menjadi yang
pertama untuk melihat siapa superhero itu. Itu adalah Bu Jaleh, guru yang
memiliki rambut yang hampir sama dengan hantu grammar matematika, hanya saja ia
lebih pandai menata diri, ia mengikat rambutnya ke belakang hingga dia terlihat
rapi. Tanpa menunggu hantu itu berkunjung kembali kami segera berserak keluar.
Berhamburan bagaikan anak ayam yang menginginkan susu.
“Bu,
ada hantu grammar matematika, kita harus keluar dari sini!”
Seakan
mendengar namanya dipanggil, hantu itu muncul begitu saja disana, menjelma
sebagai pendengar yang lain. Semua menatapnya, tak terkecuali Bu Jaleh.
“Tenang
saja, Ibu tahu cara menghadapinya.” Kata – kata itu terdengar seperti seseorang
yang ingin mengorbankan dirinya. Adegan yang tepat untuk sebuah ending. Bu Jaleh kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah …
kalkulator?
“Kita
harus menghitung jumlah ruangan di setiap lantai. Kelas, kamar mandi, gudang.
Semuanya.” Aku rasa sekarang aku tahu kenapa hantu ini mengandung unsur
matematika di namanya. Aku memang pintar. Tak ada bandingannya. Bagi kalian yang
belum tahu kenapa hantu ini dinamakan hantu grammar matematika, silahkan ketik
reg hantu kirim ke … kasih tahu enggak ya .. emm ..
“Tapi
Ibu enggak bisa naik ke atas sana.” Bu Jaleh menghancurkan pemikiranku.
Ditatapnya gedung sekolah berlantai dua puluh tiga itu. Semua ikut memandang dan
Ryan tiba – tiba hilang dari radar, entah kemana. Tak ada pilihan lain. Aku
adalah satu – satunya harapan. Si pemeran utama. Dengan cepat aku mengambil
kalkulator di tangan Bu Jaleh dan segera masuk ke dalam.
Aku
melihatnya, hantu itu mengikutiku dari belakang. Dia terbang!
Dengan
cepat aku menekan angka enam untuk jumlah ruangan di lantai pertama. Cepat aku
berlari mengitari tangga ke atas. Lantai kedua tiga ruangan. Lantai ketiga
kosong. Lantai keempat kosong. Lantai kelima kosong. Lantai keenam kosong.
Lantai ketujuh kosong. Lantai kedelapan kosong. Oh God! Aku memandang ke bawah, dan hantu itu masih disana, naik
dengan mudahnya. Lantai kesembilan kosong. Lantai kesepuluh kosong. Lantai
kesebelas kosong. Lantai kedua belas kosong. Lantai ketiga belas kosong. Lantai
keempat belas kosong. Lantai kelima belas kosong. Lantai keenam belas kosong.
Aku berhenti. Kakiku terlalu lelah. Aku seakan tidak bisa melangkah lagi. Tapi
seketika itu juga aku teringat masa – masa ku bersama dengan teman – teman,
dengan bu Jaleh. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus berusaha! Lantai ketujuh
belas kosong. Lantai kedelapan belas kosong. Lantai kesembilan belas kosong.
Lantai kedua puluh kosong. Lantai kedua puluh satu kosong. Lantai kedua puluh
dua kosong. Tinggal satu lantai lagi dan semua akan berakhir. Ayooo… Lantai
kedua puluh tiga …
“Satu,
dua,” aku mulai menghitung. “Tiga!”
Jumlah
ruangan di gedung ini ada sebanyak dua belas ruangan. Aku senang, akhirnya aku
menyelesaikannya! Namun kemudian aku terhenyak pada sebuah keadaan.
“Terus
ini mau diapain?!!” Aku stress sendiri sambil memegangi kalkulator dengan angka
dua belas di dalamnya.
“Kamu
yakin semua ruangan sudah dihitung?” Tunggu, suara itu .. Mataku membelalak.
Aku tersadar akan sesuatu. Telepati! Kau hanya perlu memikirkan orang yang
ingin dituju dan itu terjadi, pesanmu akan sampai begitu saja. Tapi tidak, jika
kau tidak menginginkannya.
“Iya,
Bu.”
“Ruang
terlarang sudah?”
“Ruang
terlarang?” Aku balik bertanya.
“Di
kelas tiga empat ada sebuah lemari, jatuhkan lemarinya dan dapatkan hadiahnya.”
Tanpa
basa – basi aku segera berlari ke ruang tiga empat yang berada di lantai ini,
lantai dua puluh tiga.
“Eeeekkk
..” Hantu itu sudah ada disana. Menungguku di sudut lain di ruangan itu. Aku
membidik lemari yang dimaksud Bu Jaleh dari ambang pintu. Setelah memperkirakan
waktu yang kuperlukan untuk tiba di depan lemari dan kemudian menjatuhkannya
dibandingkan dengan kecepatan terbang hantu grammar matematika yang tidak
memakai turbo, ternyata aku punya cukup waktu. Aku segera berlari ke lemari itu
dan menjatuhkannya dengan kedua tangan.
“Brakkk!!”
Debu bertebaran ke udara kelas.
Aku
melihatnya. Sebuah pintu kayu. Sebuah ruang terlarang!
“Terus?”
“Yaudah deh, tinggal tambah satu aja jawaban yang ada di kalkulator.” Aku merasa dibodohi. Kenapa tidak dari tadi saja Bu Jaleh menyuruhku untuk menambahkan satu pada hasil sebelumnya. Pasang muka hadeuh.
“Yaudah deh, tinggal tambah satu aja jawaban yang ada di kalkulator.” Aku merasa dibodohi. Kenapa tidak dari tadi saja Bu Jaleh menyuruhku untuk menambahkan satu pada hasil sebelumnya. Pasang muka hadeuh.
Tet. Tiga belas telah
tertera di kalkulator. Semuanya ada tiga belas ruangan. Tiba – tiba hantu
grammar matematika menjerit di tempatnya.
“Anda
benar.!!” Dia berkata begitu padaku sambil mengacungkan jempol yang sudah
terlihat kusam. Dia kemudian hilang, berubah menjadi angka – angka yang selama
ini menyusun pori – pori tubuhnya dan perlahan mulai mendebu. Semua telah
berakhir? Aku rasa tidak. Ryan benar. Obsesiku akan hantu terlalu besar. Masih
ada yang menggodaku untuk mencari. Aku berniat tahu tentang ruangan terlarang
itu dan siapa sebenarnya hantu grammar matematika.
Tanpa permisi pada
hati yang sama sekali tidak melawan, aku pun mulai menggaruk – garuk pintu kayu
itu hingga jebol ke dalam. Perlahan kubuka pintunya dari dalam.
“Krek..!!”
Ruangan
itu gelap. Bau gosong menyebar begitu saja. Kursi sekolah terlihat berantakan
disana – sini dan ... seseorang disana, tengah duduk di satu – satunya kursi
yang masing utuh berdiri. Malam itu aku mendekat karena penasaran. Ingin tahu
apakah ia yang ada di balik rambut lebat itu adalah hantu grammar matematika.
Seketika aku terkejut. Aku gemetar, takut. Kubungkam mulutku agar tak menjerit.
Aku tak mau yang lain tahu, tidak Bu Jaleh, tidak Ryan, tidak Wina, tidak juga
kau. Ruangan ini … terlarang.
---
Tags : hantu grammar matematika
hahah., kirain jnis horor yg seremseperti biasa., ternyata ini new creation. mantap dah.,!
BalasHapus