[Short Story] Hantu Grammar Matematika

          Jangan terkecoh dengan apa yang barusan kau baca di atas, ini kisah seram, tentang setan. Kusarankan agar kau tidak membaca catatan ini. Apalagi bagi kau yang punya masalah dengan tidur malam. Tak ada yang bisa menjamin dia tidak akan ikut tidur bersamamu, dia akan berdiri di depan pintu kamar, menatapimu. Dia pucat dengan rambut acak yang tak terucapkan dan dia … ingin meminjam bantal gulingmu. Bagi yang tetap ingin menemukan mimpi buruk, inilah awalmu.
Banyak yang tak kuingat ketika itu terjadi. Aku tak tahu hari itu hari apa dan tanggal berapa, aku tak tahu apa yang sedang dilakukan presiden dan wakilnya saat itu, yang aku ingat hanya suasana yang begitu saja tenggelam dalam malam dan rasa takut yang masih saja berdegup –bahkan sampai sekarang. Aku dengan beberapa temanku yang tidak mungkin disebut satu per satu namanya, terpaku dalam satu kepastian, ketakutan. Tak ada yang berharap dia akan menggunakan rambutnya untuk membelah pintu kelas menjadi ratusan, aku jamin itu. Dia dan rambut gimbalnya –beserta dengan apapun yang ada didalam sana- adalah mimpi buruk kami malam itu. Dia, hantu grammar matematika.
Jangan tanya aku tentang asal – usul nama itu, aku sendiri tidak tahu. Temanku duluan yang menyebutnya begitu, aku hanya pengikut setia. Dan ketika aku bertanya kepada mereka tentang apa yang baru saja kau tanyakan padaku, mereka berkata, “Jangan tanya kami tentang asal – usul nama itu, kami sendiri tidak tahu. Teman kami duluan yang menyebutnya begitu, kami hanya pengikut setia.” Perfect!

Tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa mungkin saja diriku tahu kenapa. Aku menemukan petunjuknya ketika kami berdua –aku dan si gimbal- berpapasan di kamar mandi. Saat itu aku sedang mempersiapkan kostum untuk kerja malam. Kubongkar tas yang berisi penuh pernak – pernik ratu malam dengan santai. Dress, wig, pinset, bor, batu bata, semua kukeluarkan. Aku tak ingin ada yang absen satupun, tapi kalau sakit ataupun izin keperbolehkan.
Sesuatu kemudian mulai menggangguku. Aku bisa melihat diriku di cermin! Bukan, bukan itu maksudku, tapi aku bisa melihat diriku di cermin yang bisa memantulkan bayangan! Bukan, bukan itu juga maksudku, tapi … oke, aku stress, kuakui, kau senang? Mari kita tidak usah membahasnya.
Seperti di kebanyakan adegan horror yang telah beredar, baik di bioskop, di pasar, di rumah, ataupun di hatimu, dimana pemeran utamanya mendengar sesuatu yang salah di belakangnya atau lebih tepatnya di salah satu ruang kamar kecil yang ditutup pintunya, maka ia dengan penasarannya akan menghampiri pintu itu dan membukanya dengan ekspresi seadanya. Aku yakin kejadian selanjutnya dari cerita ini adalah sesuatu yang baru dalam hidupmu, kau tahu, ini istimewa.
Pintu berbunyi ‘krek’ ketika kubuka. Membuat udara di sekitar semakin kaku dan menyeramkan. Aku melihatnya duduk disana, di apapun kau menyebut benda itu, sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat. Hantu itu menatapku dengan ekspresi marah, aku salah karena telah mengintipnya. Itulah petunjuknya. Tapi bukan, rambutnya atau apapun yang sedang ia kerjakan disana, melainkan wajahya. Ada tulisan – tulisan yang menembus kulitnya. Sesuatu yang berbunyi seperti; I love U, Bored, I get sick, dan sejenisnya. Jika kau menjadi aku, belum tentu kau menyadari ini. Jadi biar kuperjelas inti dari semua ini; tulisan itu Inggris. Mungkin karena alasan itulah mereka memanggilnya grammar, bukan grandma. Tapi untuk alasan nama matematika-nya aku belum menemukan petunjuk. Aku tidak melihatnya sedang menggunakan alat hitung atau kumpulan rumus matematika yang menggulung di rambutnya. Masih terlalu abstrak. Namun bagaimanapun aku tetap optimis akan menemukan alasan itu segera. Dengan kekuatan bulan aku akan berusaha.
Aku ingat bahwa diantara kami tidak ada yang bicara malam itu. Berusaha memanfaatkan media terbaru yang ada, telepati. Selain tidak perlu mengeluarkan hawa lain dari mulut berupa aroma tidak sedap, media ini juga tidak menggunakan pulsa, hingga sangat cocok untuk para pelajar dan mahasiswa. Promosi.
Kami diam dalam waktu yang cukup lama. Membiarkan detik – detik berlalu begitu saja. Namun entah kenapa rasa kesetiakawananku ini tiba – tiba saja muncul, aku takut terjadi apa – apa di antara kami yang diam, perasaaanku mengatakan bahwa mungkin saja mulut seseorang dari kami telah dibungkam oleh sepotong tangan pucat yang entah dari mana asalnya. Dengan segala keberanian yang kupunya –saat itu tinggal nol koma empat persen- aku memandangi mereka satu per satu tanpa takut menemukan sosok lain yang tidak diinginkan. Dan apa yang kemudian kutemukan sungguh mengejutkan, aku menemukan salah seorang dari kami tengah berjongkok di sudut ruangan. Ekspresinya aneh, namun sepertinya familiar.
“Criiitt …” Bukan, itu bukan seperti yang kau perkirakan. Itu adalah bunyi pintu kelas yang semenjak tadi kami tutup dan sekarang dia tiba – tiba membuka. Semua memandangi pintu yang mulai menyisipkan cahaya luar ke dalam ruangan, termasuk ia yang kini telah memakai celananya dan berdiri kembali.
Catatan : Aku tidak ingin mengatakan apa – apa tentang kuning – kuning bercahaya yang kulihat malam itu. Tapi jika kau penasaran dan ingin tahu kau bisa menghubungi nomorku.

Hantu itu di luar sana. Mondar – mandir dengan … hingga membuatnya harus menyeret – nyeret langkahnya.
a.   Kakinya yang sedang kehabisan baterai.
b.   Rasa cintanya terhadap kebersihan
Pilihlah jawaban yang tepat untuk mengisi titik – titik di atas.

Dia menatap kami dengan rambut gimbalnya. Matanya putih dengan manik – manik berwarna secukupnya. Lipstick-nya pudar, entah kapan ia terakhir kali memakainya. Dia sungguh mengerihkan. Hendru yang berada paling dekat dengan pintu, segera berlari, bukan untuk berkata ‘hai’, ‘hello’ atau apapun itu yang bisa membuat dunia manusia dan gaib bersatu, melainkan untuk menarik pintunya kembali hingga kami kembali terisolasi.
“Brak!!” Hendru mundur beberapa langkah ke belakang sambil tetap memandangi arah pintu, mengawasi. Ryan yang tadinya duduk diam di meja guru, kini bangkit. Dia menatapku kejam dan berjalan menghampiri. Suara sepatunya menggema, “Tak, tak, tak, tak,” dia kuda.
“Apa maksudmu melakukan itu?”
“A..Aku?” Aku tergagap. Nervous.
“Obsesimu telah membawa kami dalam bahaya.”
“Obsesi? Aku tidak mengerti apa maksudmu. Silahkan isi formulir ini untuk konsultasi selanjutnya.”
“Aku tidak sedang ingin bercanda.”
Aku diam. Speechless. Apapun itu namanya yang pasti aku tidak bicara. Kuambil perekat dari tas dan kemudian kugulung mengitari mulutku yang seksi dan kuberi beberapa anak hekter di beberapa sudut mulut supaya rapi. Ouch!
“Criiittt …” Pintu kelas kembali terkincit.
“Eeeekkk.!!!”
          Hendru menjerit. Ia ditarik hantu grammar matematika! Entah apa yang menariknya keluar, entah itu katrol yang digunakan oleh nenek – nenek itu atau hanya sebuah daya magis, yang pasti kami semua ingin keluar dari sana, secepatnya! Tangan Hendru sibuk menggores lantai kelas bukan karena ia ingin meninggalkan jejak terakhirnya untuk dikenang, melainkan ia hanya mencoba untuk bertahan dari maut yang sedang menarik roh-nya keluar. Semua gelisah dalam peluh. Menolong adalah sebuah kata yang perlu dipertimbangkan baik – baik ketika itu hingga akhirnya Wina datang bak superhero. Dia berlari menghampiri Hendru yang nyawanya sedang terancam dan dia dengan cepatnya menginjak jemari Hendru yang masih saja sibuk menggaruk. Hendru pergi dan Wina menutup pintu kembali. Brilian!
          Kelas kembali hening. Nenek itu sungguh memukau.
Di saat aku berpikir bahwa ini adalah waktunya untuk menemukan cara keluar, Ryan kembali menatapku dan aku ... nervous.
          “Berhenti untuk membuka pintu itu! Kami semua tahu kau yang meakukannya. Kau ingin melihat hantu itu disini. Obsesimu itu berlebihan!”
          Petir menyambar sekali. Aku difitnah. Tega. Aku meneteskan air mata, tak lepas pula dari sesuatu yang naik turun di hidung. Kupegang lendir itu dengan ujung jariku dan kuberikan pada Ryan. Dia suka. Jadilah kami yang bermain ingus – ingusan.
“Brak..!!” Hantu itu kembali. Kali ini ia menunjukkan murkanya. Pintu terbanting keras dan Hendru telah dikembalikan, hanya saja dalam bentuk yang tak lagi bisa dibilang utuh. Ususnya beruarai, rambutnya menghilang entah kemana, darah .. eeeewww.. Susana semakin mencekam. Tangis mulai datang dari mereka yang takut menjadi selanjutnya. Can I go home now?
Sesaat kemudian sebuah sorot mobil membias di kaca jendela yang seakan mendengar jerit kami yang dilanda bencana. Kami berlomba – lomba menuju jendela, ingin menjadi yang pertama untuk melihat siapa superhero itu. Itu adalah Bu Jaleh, guru yang memiliki rambut yang hampir sama dengan hantu grammar matematika, hanya saja ia lebih pandai menata diri, ia mengikat rambutnya ke belakang hingga dia terlihat rapi. Tanpa menunggu hantu itu berkunjung kembali kami segera berserak keluar. Berhamburan bagaikan anak ayam yang menginginkan susu.
          “Bu, ada hantu grammar matematika, kita harus keluar dari sini!”
          Seakan mendengar namanya dipanggil, hantu itu muncul begitu saja disana, menjelma sebagai pendengar yang lain. Semua menatapnya, tak terkecuali Bu Jaleh.
          “Tenang saja, Ibu tahu cara menghadapinya.” Kata – kata itu terdengar seperti seseorang yang ingin mengorbankan dirinya. Adegan yang tepat untuk sebuah ending. Bu Jaleh kemudian  mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah … kalkulator?
          “Kita harus menghitung jumlah ruangan di setiap lantai. Kelas, kamar mandi, gudang. Semuanya.” Aku rasa sekarang aku tahu kenapa hantu ini mengandung unsur matematika di namanya. Aku memang pintar. Tak ada bandingannya. Bagi kalian yang belum tahu kenapa hantu ini dinamakan hantu grammar matematika, silahkan ketik reg hantu kirim ke … kasih tahu enggak ya .. emm ..
          “Tapi Ibu enggak bisa naik ke atas sana.” Bu Jaleh menghancurkan pemikiranku. Ditatapnya gedung sekolah berlantai dua puluh tiga itu. Semua ikut memandang dan Ryan tiba – tiba hilang dari radar, entah kemana. Tak ada pilihan lain. Aku adalah satu – satunya harapan. Si pemeran utama. Dengan cepat aku mengambil kalkulator di tangan Bu Jaleh dan segera masuk ke dalam.
          Aku melihatnya, hantu itu mengikutiku dari belakang. Dia terbang!
          Dengan cepat aku menekan angka enam untuk jumlah ruangan di lantai pertama. Cepat aku berlari mengitari tangga ke atas. Lantai kedua tiga ruangan. Lantai ketiga kosong. Lantai keempat kosong. Lantai kelima kosong. Lantai keenam kosong. Lantai ketujuh kosong. Lantai kedelapan kosong. Oh God! Aku memandang ke bawah, dan hantu itu masih disana, naik dengan mudahnya. Lantai kesembilan kosong. Lantai kesepuluh kosong. Lantai kesebelas kosong. Lantai kedua belas kosong. Lantai ketiga belas kosong. Lantai keempat belas kosong. Lantai kelima belas kosong. Lantai keenam belas kosong. Aku berhenti. Kakiku terlalu lelah. Aku seakan tidak bisa melangkah lagi. Tapi seketika itu juga aku teringat masa – masa ku bersama dengan teman – teman, dengan bu Jaleh. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus berusaha! Lantai ketujuh belas kosong. Lantai kedelapan belas kosong. Lantai kesembilan belas kosong. Lantai kedua puluh kosong. Lantai kedua puluh satu kosong. Lantai kedua puluh dua kosong. Tinggal satu lantai lagi dan semua akan berakhir. Ayooo… Lantai kedua puluh tiga …
          “Satu, dua,” aku mulai menghitung. “Tiga!”
          Jumlah ruangan di gedung ini ada sebanyak dua belas ruangan. Aku senang, akhirnya aku menyelesaikannya! Namun kemudian aku terhenyak pada sebuah keadaan.
          “Terus ini mau diapain?!!” Aku stress sendiri sambil memegangi kalkulator dengan angka dua belas di dalamnya.
          “Kamu yakin semua ruangan sudah dihitung?” Tunggu, suara itu .. Mataku membelalak. Aku tersadar akan sesuatu. Telepati! Kau hanya perlu memikirkan orang yang ingin dituju dan itu terjadi, pesanmu akan sampai begitu saja. Tapi tidak, jika kau tidak menginginkannya.
          “Iya, Bu.”
          “Ruang terlarang sudah?”
          “Ruang terlarang?” Aku balik bertanya.
          “Di kelas tiga empat ada sebuah lemari, jatuhkan lemarinya dan dapatkan hadiahnya.”
          Tanpa basa – basi aku segera berlari ke ruang tiga empat yang berada di lantai ini, lantai dua puluh tiga.
          “Eeeekkk ..” Hantu itu sudah ada disana. Menungguku di sudut lain di ruangan itu. Aku membidik lemari yang dimaksud Bu Jaleh dari ambang pintu. Setelah memperkirakan waktu yang kuperlukan untuk tiba di depan lemari dan kemudian menjatuhkannya dibandingkan dengan kecepatan terbang hantu grammar matematika yang tidak memakai turbo, ternyata aku punya cukup waktu. Aku segera berlari ke lemari itu dan menjatuhkannya dengan kedua tangan.
          “Brakkk!!” Debu bertebaran ke udara kelas.
          Aku melihatnya. Sebuah pintu kayu. Sebuah ruang terlarang!
          “Terus?”
          “Yaudah deh, tinggal tambah satu aja jawaban yang ada di kalkulator.” Aku merasa dibodohi. Kenapa tidak dari tadi saja Bu Jaleh menyuruhku untuk menambahkan satu pada hasil sebelumnya. Pasang muka hadeuh.
Tet. Tiga belas telah tertera di kalkulator. Semuanya ada tiga belas ruangan. Tiba – tiba hantu grammar matematika menjerit di tempatnya.
          “Anda benar.!!” Dia berkata begitu padaku sambil mengacungkan jempol yang sudah terlihat kusam. Dia kemudian hilang, berubah menjadi angka – angka yang selama ini menyusun pori – pori tubuhnya dan perlahan mulai mendebu. Semua telah berakhir? Aku rasa tidak. Ryan benar. Obsesiku akan hantu terlalu besar. Masih ada yang menggodaku untuk mencari. Aku berniat tahu tentang ruangan terlarang itu dan siapa sebenarnya hantu grammar matematika.
Tanpa permisi pada hati yang sama sekali tidak melawan, aku pun mulai menggaruk – garuk pintu kayu itu hingga jebol ke dalam. Perlahan kubuka pintunya dari dalam.
“Krek..!!”
          Ruangan itu gelap. Bau gosong menyebar begitu saja. Kursi sekolah terlihat berantakan disana – sini dan ... seseorang disana, tengah duduk di satu – satunya kursi yang masing utuh berdiri. Malam itu aku mendekat karena penasaran. Ingin tahu apakah ia yang ada di balik rambut lebat itu adalah hantu grammar matematika. Seketika aku terkejut. Aku gemetar, takut. Kubungkam mulutku agar tak menjerit. Aku tak mau yang lain tahu, tidak Bu Jaleh, tidak Ryan, tidak Wina, tidak juga kau. Ruangan ini … terlarang.

---

1 komentar:

  1. hahah., kirain jnis horor yg seremseperti biasa., ternyata ini new creation. mantap dah.,!

    BalasHapus

Pages