[Short Story] Red Cherry


Tuhan memang Maha Adil. Ketika sebagian orang di muka bumi ini menuduh diri-Nya berlaku berat sebelah, Dia menjatuhkan kuasa. Kini Cherry Vexyl tak sempurna lagi. Wajah cantik dan budi baiknya akan begitu merindukan kedua kaki yang baru saja dinyatakan hilang oleh dokter yang merawat. Mereka sudah tidak dapat digerakkan lagi setelah mengalami kecelakaan mobil yang hebat. Tungkainya kini hanya berupa tulang kering dan daging yang pudar fungsi.
Flirt adalah yang disana menemani–selain Josephine di beberapa waktu. Pacar tiga tahun yang senang memanggilnya ‘Cherry merah’ karena paduan nama dan rambut pendek merahnya untuk menggodai sepanjang hari. Ia seorang pria dengan rambut abu-abunya, setia dengan tekad memahami situasi masing-masing. Berkat kehadirannya, sekarang Cherry tengah mencoba berhenti ‘hanya diam’ dan berusaha bangkit dari ranjang rumah sakitnya walaupun pada hari yang sama dimana ia menangis tentang kakinya, orang tuanya dinyatakan tewas karena kecelakaan itu.

Begitu si Cherry merah diizinkan keluar dari rumah sakit, keduanya langsung bergerak untuk bersiap-siap mengurusi hal-hal terkait pemakaman. Saat itu ketika suster ruangan mereka ingin membantu memindahkan Cherry dari ranjangnya ke kursi roda, Flirt meyakinkan wanita itu bahwa ia tidak perlu repot-repot.
“Pergilah. Aku bisa melakukannya.” Kata Flirt bersama satu senyuman.
Cherry duduk di atas kursi rodanya yang berputar perlahan. Wajahnya tampak berusaha tak terbebani dengan apa yang terjadi, justru malah ada semburat senyum disana. Bersama-sama dengan Flirt ia coba hadapi hari itu dengan tegar walau apa yang akan ia temui nanti adalah berat–perpisahan dengan orang tuanya.
Mereka yang tengah duduk di ruang tunggu tanpa diminta memperhatikan. Melupakan sejenak keluhan penyakit masing-masing demi memandangi detail siapa gerangan pasangan muda yang sedang berjalan tersenyum di hadapan hari itu sementara sang wanitanya mengenakan kursi roda. Seorang pria bertongkat penyanggah menghentikan usaha berjalannya dengan tatapan ingin. Mencoba membayangkan wanita idamannya menggantikan posisi suster yang saat itu menemani di belakang. Flirt, tanpa sengaja menunjukkan kepada dunia apa sebenarnya makna di balik cinta sejati: menerima kekurangan pasangan untuk dijadikan sebuah kelebihan.
Mobil mereka menanti di halaman. Flirt sudah mempersiapkan ini sebelum ia masuk kembali untuk menjemput. Ia berhenti mendorong kursi berjalan mereka begitu dekat, membuka pintu depan penumpang tanpa isyarat untuk kemudian menggendong kekasihnya dan menempatkannya di dalam sana. Cherry tersenyum di jok mobilnya, pertanda ia sudah merasa nyaman dengan posisi duduk sekarang. Flirt tersenyum balik, lalu menutup pintunya dan mengirim kursi roda itu ke belakang.
Kendaraan mereka berjalan dengan tenang. Tak ada yang benar-benar harus dikejar saat itu hingga memaksa mereka harus menerobos lampu merah yang sedang menyala. Flirt mengalihkan pandangannnya yang semenjak tadi terus-terusan memperhatikan ruas jalan.
“Kenapa memandangiku seperti itu?”
Flirt meletakkan otot-otot lengannya di stir, menatap Cherry sejenak, menatap jalan, dan kemudian menatapnya kembali.
“Kamu cantik.” Katanya sambil tersenyum. Cherry jadi malu di duduknya. Tampak menurunkan tunduk disertai senyuman kecil.
“Flirt, jangan mulai.” Cherry yang kemudian merasa ia tidak bisa terus-terusan bersikap seperti itu–menunduk malu–karena ia yakin Flirt akan terus memandanginya, mulai memberanikan mengangkat kepalanya.
Flirt tertawa. “Mulai apa? Kamu itu memang cantik, Cherry merah. Walau kamu kelihatan kecil dan orang-orang hanya memandang kamu sebatas itu, tapi aku tahu kalau kamu itu manis. Dan untungnya, cuma aku yang bisa mencicipi manisnya kamu.” Ia mengecup punggung tangan Cherry yang sebelumnya ia curi dari tuannya.
Klakson mobil yang menjerit-jerit di arah belakang membuat mereka tersentak. Orang-orang itu tampak sudah tidak sabar untuk menyambut nyala hijau yang telah mempersilahkan mereka untuk lewat. Keduanya tertawa–Flirt dan Cherry–menertawakan diri mereka sendiri yang mereka pikir telah lupa waktu. Flirt menggerakkan tangannya spontan, menginjak gas untuk segera menyambut jalan tanpa memperhatikan laju di depannya. Suatu kesalahan. Seharusnya ia tidak menghiraukan klakson-klakson sialan itu dengan tetap menggoda Cherry merahnya saja. Lalu lintas untuk mereka masihlah merah, yang pada akhirnya hanya membawa mereka pada mobil-mobil tak tahu aturan di belakang sana yang ingin cepat sampai dan sebuah truk besar yang sedang melaju dari simpang kiri ke kanan.
Tak ada jeritan diantara mereka, yang keluar hanya suara bantingan stir dan seretan ban yang kasar. Mobil berguncang ke kiri. Kaca depan pecah karena benturan hebat yang menghantam sisi samping kendaraan berat. Semua berputar. Membawa beberapa keping kaca terbawa arus dan tanpa disetujui masuk menyelinap ke kornea salah seorang di antara mereka. Menyisakan pedih yang teramat sangat hingga harus terpejam dan tak sadarkan diri.
Keduanya terbaring di ruang yang sama. Di sebuah ruangan yang didesain untuk dihuni dua orang pasien sekaligus. Flirt tergeletak dengan perban yang menggulung di sekujur lengan. Luka garis yang tadinya memanjang dengan darah yang menyisip keluar kini tak terlihat lagi. Tidak terlalu parah memang, hanya satu-dua garis panjang yang untungnya pergi tidak terlalu dalam. Flirt membuka matanya pelan. Berhasil menerima baik cahaya yang datang dari lampu yang menggantung di ruangan. Pandangannya meraba-raba, berusaha mengingat perihal yang terjadi.
Ia langsung menoleh ke samping begitu merasakan gerakan lain di ruangan itu. Josephine sedang berada disana bersamanya.
Josephine sendiri adalah teman terdekat Cherry. Flirt cukup tahu tentangnya. Wanita gemuk berkulit cokelat dengan keramahtamahannya. Josephine terlihat memunggungi. Sedang memperhatikan sesuatu di ranjang lain yang kemudian ia kenal dengan sebutan Cherry sebagai pemiliknya. Suara wanita itu berat, seakan sedang memberikan sebuah nasehat yang mengeluarkan nada samar untuk bisa didengar dari jauh.
Flirt terlalu khawatir pada Cherry merahnya untuk begitu saja berhenti bergerak karena memperdulikan sakit kepalanya yang masih saja mengguncang. Ia terus bangkit dari ranjangnya tanpa peduli kondisinya.
Josephine menoleh ke pria abu-abu itu ketika bayang hitamnya mulai menghalangi beberapa pendar cahaya hingga menimbulkan bekas dirinya. Hening. Cherry terlihat bingung di ranjangnya. Memandangi Josephine dengan cara yang aneh begitu ia terdapati tak bersuara lagi. Flirt memandang Josephine sekilas lalu buru-buru menghampiri Cherry di sisi yang satunya. Ia duduk di tepi ranjang.
“Kamu enggak apa-apa Cher?” Wanita dengan rambut merah itu terkejut mendengar suara barusan. Mulutnya kelagapan untuk berpendapat. Flirt bingung, lantas buru-buru beralih ke Josephine, menunggu sebuah penjelasan. Wanita gemuk itu terlihat ragu untuk angkat bicara. Dipandanginya temannya yang sedang berbaring sekali dengan penuh keprihatinan.
“Vexyl... tidak bisa melihat lagi.” Josephine akhirnya mengatakannya. Kening Flirt berkerut. Wajahnya sedikit gelap. Cherry sendiri sibuk menggigiti bibir bawahnya di ranjang. Kini ia tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, di dunia yang ia kini ia kenal sebagai dunia hitam tak bergambar. “Dia buta.”
Cherry mencemaskan sesuatu dalam baringannya. Sebuah respon. Ia bahkan tidak akan pernah tahu seberapa banyak air mata yang mulai jatuh, seberapa kecewanya, dan seberapa mengerutnya wajah tampan yang disayanginya itu jika ia tidak mendengar suara isakan yang buru-buru disembunyikan ketika pemiliknya sadar bahwa ia sedang berada di luar kendali. Flirt sungguh terpukul.
Hari takkan berhenti begitu saja ketika seseorang sibuk menguras air mata karena sebuah kesedihan. Mentari masih akan terbit karena Tuhan memang berkehendak seperti itu. Mereka berdua–Flirt dan Cherry–keluar dari rumah sakit dengan suasana hati yang baru. Sedikit gejolak yang berusaha ditaklukkan kembali dengan senyuman. Sekali lagi Flirt ingin menunjukkan kepada kita.
Flirt sekarang harus bekerja ekstra di apartemennya. Cherry kini tidak bisa berbuat banyak. Ia harus lebih mandiri dan berusaha untuk tidak menanyakan pendapat calonnya perihal apapun yang berkaitan dengan pandangan karena mungkin itu akan memperburuk suasana hati keduanya.
Untuk jangka satu-dua minggu mungkin semua akan tampak baik-baik saja. Namun  dengan gejolak baru yang terpendam di dalam hatinya, ada saatnya dimana Flirt akan membantah. Ia butuh sesuatu yang tidak hanya sekedar menemaninya berbicara. Pakaian-pakaian kantornya perlu diperhatikan ketika hendak berangkat, ia butuh belaian lembut dari seseorang calon, bukannya gerakan kaku yang gemetaran karena takut kalau-kalau akan menusuk matanya. Ia merindukan Cherry merahnya yang selalu mengoceh tentang pakaiannya berkantor.
Flirt selingkuh. Tak jauh-jauh, saingan Cherry berada tepat di depan pintu kamar apartemennya. Teresa. Wanita berambut gelombang panjang cokelat. Ia tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar itu. Gejolak apa yang sedang memainkan ombak hingga membuat wajah pria tampan itu tampak sedikit tak bersemangat ketika hendak berkantor di setiap harinya. Dengan sebuah keberuntungan dan sedikit tindakan tepat ia siap menyusup.
Teresa dua tahun lebih tua dari Cherry. Tapi dengan tambahan dua di usianya itu ia memiliki pengalaman kerja yang tak kalah dengan Flirt. Mereka pasangan yang cocok. Apalagi di saat mereka membicarakan masalah pekerjaan dengan ditemani dua cangkir cokelat panas, Cherry dapat dipastikan terlupakan.
Di balik semua itu, Flirt ternyata masih terlalu peduli atau lebih tepatnya memiliki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi untuk meninggalkan Cherry sendirian sepanjang waktu di kamarnya begitu saja. Ia meminta Josephine untuk menemaninya selama ia berada di kantor. Bahkan Flirt tak segan-segan menawarkan bayaran kepada wanita itu untuk kesudiannya. Tapi inilah yang namanya sahabat, kau tak perlu imbalan untuk membuatmu melakukan sesuatu.
Sudah beberapa minggu Josephine resmi menjadi ‘pengasuh’ Cherry. Menemani di saat hari akan membuatnya merasa bosanapalagi dengan kondisi tak bisa melihat dan berjalandengan berbagai aktivitas harian. Tapi tentu saja hal ini tidak berlaku sepanjang hari. Dari siang hingga malam. Mungkin Josephine bisa meluangkan waktunya sepanjang siang, tapi tidak untuk malam. Josephine juga seorang manusia yang diciptakan Tuhan, ia punya suatu pribadi yang harus di urus. Setelah beberapa kali mengobrol, memasakkannya makanan, tertawa, menangis, memanjatkan doa, menyisirkan rambutnya, ia meninggalkan Cherry dalam keadaan berbaring di kamarnya begitu senja datang.
Ini semua sudah berada di bawah perhitungan Flirt yang tak terbantahkan. Pergi kerja, Josephine datang, pulang kerja. Ia tiba ke apartemennya sekitar dua puluh menit setelah Josephine pamit pulang. Itu tidak akan terlalu lama bagi Cherry untuk menanti ‘teman main’ yang bersedia menemani.
Walaupun Flirt bertemu dengan Teresa hampir setiap hari, tapi ia merasa bahwa ia membutuhkan sesuatu yang lebih untuk membuat dirinya tetap tenang. Ia butuh Teresa di malamnya, di saat dimana mereka tidak membicarakan hal mengenai pekerjaan lagi melainkan tentang hal-hal pribadi. Berdua mereka akan menikmati malam di sebuah kafe dekat apartemen, menyesap aroma musik yang merilekskan diri.
Flirt memilih Rabu malam untuk keluar meninggalkan Cherry sendiri di kamarnya–setelah pulang sejenak–dengan alasan urusan perkantoran yang belum selesai, sementara di Sabtu malam dan Minggu paginya ia mengajak Cherry untuk menghirup udara di luar apartemen mereka. Flirt melakukannya rutin.
“Flirt, kamu sedang dimana?” Cherry menghubunginya di suatu Rabu malam.
“Di kantor.” Flirt berusaha tenang. “Kenapa Cher?”
“Oh, enggak .. enggak apa-apa.” Ada sebuah jeda di antara kalimat pertama dan yang berikutnya. “Jangan pulang terlalu larut, Flirt. I love you.”
Flirt ragu tentang ini, namun kemudian berkata, “I love you too.”
Sambungan mati disana. Begitu saja tanpa ada kalimat penjelas lainnya. Perlahan ponsel Flirt turun dari telinganya.
“Cherry?” Flirt buru-buru menatap suara itu. Memperhatikan wanita yang kini sedang bersamanya dan mengangguk. “Kenapa? Dimintanya pulang?” Flirt tidak menanggapi. Ia sedikit menurunkan kepalanya, menatap pinggiran meja yang membatasi mereka berdua, dan beralih pada jendela besar bening di sampingnya. Memandangi apartemen miliknya yang terang dengan oranye.
Sesuatu meledak karena marah. Tanpa ada peringatan sedikit pun apartemen itu menyala dalam panas. Ledakan itu berasal dari kamar yang sedang ia tatapi. Kamar dimana ia dan Cherry merahnya tidur dalam satu ranjang yang sama. Flirt buru-buru berdiri. Menggeser kursinya ke belakang hingga terbanting jatuh. Ia berlari keluar dari kafe dengan tak percaya. Menyoroti api dari ambang yang memberinya kejutan.
Kakinya diutus untuk berlari. Menerobos keramaian yang cepat berkumpul dan mulai menaiki tak acuh beberapa anak tangga di halaman apartemen. Flirt memaksa masuk.
Di dalam sudah merah dimana-mana. Ruangan Tuan Bemourt, si penjaga apartemen, telah merasakan murkanya. Api telah berkuasa. Flirt memandangi tangga yang mulai terlahap api di beberapa pinggirannya dan tanpa pikir panjang mulai untuk menggertak mereka dengan langkah cepatnya.
Mengingat kondisi yang sedang dialaminya ia yakin Cherry merahnya tak bisa melangkah lebih jauh. Flirt langsung mencari Cherry di kamar dimana mereka biasa menghabiskan malam.
Di ranjangnya, Cherry tengah berbaring diam. Sekujur tubuhnya telah dilumat si jago merah. Flirt sempat terpaku namun kemudian berhasil menguasai pikirannya kembali. Ia membongkar lemari pakaian mereka, berharap menemukan sesuatu yang belum berubah hangus untuk membantunya menghapus noda api di tubuh Cherry merahnya. Ia mengambil sebuah jas hitam miliknya dan kembali menghampiri ranjang. Dipukul-pukulnya badan Cherry untuk memadamkan. Sambil berdoa dalam hati dan panik dalam pikiran ia melakukannya. Perlahan tubuh itu mulai menunjukkan bara.
Sebuah balok jatuh dari atas mereka. Mengacaukan pikiran untuk memeriksa nadi yang menjalar di leher. Flirt langsung menggotong Cherry keluar dari kamar dengan sebuah selimut tebal untuk menutupi tubuhnya yang nyaris tak berbusana. Sesekali langkahnya tersendat oleh desakan api yang mengobar keras atau beberapa bahan bangunan yang jatuh di sekitar. Namun itu tak berarti banyak, Flirt masih bisa keluar.
Begitu tiba di luar ia segera membawa Cherry ke seberang jalan. Tidak peduli seberapa banyak pasang mata yang sedang memperhatikan aksinya. Apakah ada atau tidak diantara mereka yang memberikannya tepukan tangan. Ia berjongkok di pinggir jalan, menyandarkan kepala Cherry di pahanya.
“Cher..” Flirt menggoyang badan hangus itu. Wajahnya terlihat sedih dengan mata yang mulai mengabur karena tetesan air yang hendak keluar. Tak ada jawaban dari dalam sana. Hanya ada mulut yang terus menganga tanpa bersuara. Flirt kehilangan akal sehat. Diawali dengan suaranya yang semakin terdengar bergetar, Flirt akhirnya meraung. Begitu keras hingga membuat Teresa takut mendekat kepadanya saat itu. Sebuah kenyataan kini kembali mencuat keluar di tengah riuh api yang mengolok-ngoloknya. Ia masih mencintai Cherry merahnya.

Pemakaman berlangsung tenang. Angin tampak berhasil sedikit menggoyang rambut abu-abu Flirt yang datang bersama beberapa penjelasan. Flirt kini tahu kenapa Cherry menelepon dirinya malam itu. Kata-kata yang terucap saat itu ... seharusnya ia sadar atau setidaknya tidak terlalu bodoh untuk meninggalkan teko-nya di atas kompor yang menyala. Ia yakin, saat itu, dalam ranjangnya–seperti kondisi dimana ia meninggalkan Cherry malam itu–Cherry mendengar deru air yang mendidih. Karena ia tidak bisa melangkah lagi seperti kebanyakan orang ia memutuskan menelepon Flirt untuk memintanya pulang dan segera mematikan deru mengerihkan itu. Tapi malangnya, kekasihnya itu justru berbohong dengan berkata bahwa ia sedang sibuk di kantornya sehingga membuatnya enggan untuk meminta. Dan dengan berbekal doa kepada Tuhan agar mengasihi kekasih dan sahabat yang selalu menjaganya ia pasrah hingga deru itu melewati batas yang diharuskan.
Teresa berada di sebelah Flirt. Bersandar di bahunya sebagai sepasang kekasih baru tanpa peduli apa yang berada di hadapan mereka sekarang ini.
Dengan tanpa diduga Josephine datang menghampiri ketika para pelayat lain mulai pulang ke rumah. Ia memandangi Teresa yang kemudian terpaksa bangkit dari sandarannya karena tatapan yang diberikan. Josephine menatap Flirt dan berkata, “Aku tak tahu apa yang ada di benakmu sekarang. Aku tak tahu apa hubunganmu dengannya. Tapi aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa kalian cukup dekat. Bahkan sangat dekat untuk dia yang baru saja jadian di hari pacarnya meninggal.” Josephine memandangi Teresa sekilas lalu beralih lagi pada Flirt.
“Aku tahu ini bukan urusanku. Kau pacaran dengan siapa itu urusanmu. Itu benar. Tapi aku datang sekarang ini di hadapanmu hanya untuk menyampaikan apa yang aku rasa harus aku sampaikan. Hal yang seharusnya tidak pernah Vexyl lakukan untukmu.” Flirt menunggu. Ekspresinya bermain.
“Sebernarnya Vexyl tidak buta.” Flirt memandangi Teresa sejenak. Ekspresi bingungnya keluar mencari penjelasan.
“Apa maksudmu, Josephine?
“Dalam kecelakaan itu yang seharusnya buta karena kepingan-kepingan kaca itu adalah kau, Flirt.” Josephine tidak memberikan jeda yang berarti di kata-katanya. “Vexyl tidak buta. Ia mendonorkan matanya ketika kau mulai sadar dengan jeritan-jeritan tentang tidak ada seorang pun yang memberikanmu penerangan. Kau kegelapan. Kau ingat hal itu? Kurasa kau ingat, hanya saja kau berusaha untuk tidak mengungkapkannya. Kau tidak mau mengingat dan mengatakannya pada Vexyl bahwa kau baru saja bermimpi kehilangan kedua matamu ketika kau menyadari dia buta. Aku sempat mengingatkannya tentang perbuatan yang akan ia lakukan ketika itu. Namun ia berkata kepadaku, ‘kalau dia buta, maka tidak akan ada lagi yang akan menyayangiku seperti yang dia lakukan saat ini, namun jika aku buta aku yakin Flirt akan menuntunku seperti hari semalam ketika aku mulai kehilangan kedua kakiku. Lagi pula, aku tidak akan pernah sanggup melihat dia kosong ketika menatap langit-langit dan berteriak-teriak tentang seseorang yang tak pernah menghidupkan lampu untuknya. Sungguh itu lebih melukaiku, Josephine.’”
Flirt kehilangan dirinya. Matanya berkaca-kaca tak percaya sementara pikirannya terus meraba kebenaran pahit yang sedang ia temui. Ia mengkhianati kekasih yang telah menyelamatkan hidupnya. Sebuah akhir klise yang banyak ia temui di cerita percintaan, namun sayangnya ia sekarang berada di cerita itu.
Flirt merenung, mengata-ngatai dirinya, menangis, dan mulai menjerit di kuburan kekasihnya. Membuat Teresa kebingungan lantas harus berbuat apa sementara Josephine telah meninggalkan keduanya dengan air mata mengenang. Mulai hari itu, dengan penglihatan bukan miliknya yang akan selalu membantunya menatap ke depan, Flirt sungguh tidak bisa memaafkan dirinya sendiri–walau sesaat.

---
           Tags : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages