[Short Story] July 29 : Birthday

Sekarang waktu menunjukkan sebelas lima puluh tiga malam. Sebentar lagi hari itu akan tiba, 29 Juli. Jean tampak cemas dalam mondar – mandirnya. Menggigiti jari – jari dengan gemetar ketakutan. Teror telah berhasil mengancam dengan mengambil tuntas sisa jiwa keberanianya.

Ia tak percaya ini akan menimpanya. Gemetaran dan mondar – mandir yang tidak beraturan. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan semua kejadian ini. Ini sudah tiga tahun semenjak ia mulai menyadari semuanya, ‘sesuatu’ yang datang menyambut setiap hari ulang tahunnya tiba.

Awalnya ia merasakan kehadiran hal ini ketika masih berada di bangku sekolah menengah pertama atau lebih tepatnya di kelas sembilan. Saat itu ia merasa diganggu oleh sesuatu. Sesuatu yang pada mulanya datang melalui mimpi di malam 29 Juli dalam bentuk oval hitam yang terus berdiri. Walau tidak terlihat jelas itu apa, tapi bulu kuduknya mengatakan bahwa benda aneh itu tengah menatapnya dengan sinar merah yang tiba – tiba saja muncul. Sungguh itu sangat mengganggu hingga memaksanya untuk bangun dengan peluh yang mengalir dimana – mana.

Saat mengetahui mereka hanya berada di dalam imajinasi mimpi, Jean berusaha untuk kembali terlelap dalam pejam. Namun apa yang –dengan sangat tiba – tiba- terjadi saat itu menghentikan niatnya untuk kembali terpejam. Hati kecilnya mengatakan ‘ia lebih baik terjaga’. Suara langkah – langkah berat –terdengar seperti seseorang yang sedang menaiki ataupun menuruni tangga- mulai terdengar menggema di telinga. Belum lagi belaian panjang di sekitar rambut yang membuat pemiliknya harus terus memejam paksa matanya. Ia segera menyibakkan selimut yang dia rasa tak mampu melindungi dan melompat keluar kamar begitu ia merasakan sebuah bisikan samar yang dingin.

Panik. Takut. Semua unsur horror mendekap dirinya kuat saat itu.

Jean mengetuk keras pintu kamar Papanya. Berharap semua baik – baik saja ketika ia berjumpa dengannya di ambang pintu yang terbuka. Benar saja, ketika Papanya memutuskan untuk mengembalikan ia ke dalam kamar sembari meyakinkan bahwa semua tuduhan anaknya hanyalah halusinasi saja, semua tampak baik – baik saja. Tak ada siapa – siapa disana. Tidak ada apapun. Hanya gadis remaja yang merengek karena ketakutan ketika tersentak dalam tidur di malam kelahirannya.

Kejadian di tahun berikutnya hampir sama seperti yang sebelumnya; 29 Juli, tengah malam, penampakan. Hanya saja ini terlihat lebih mencekam.

Saat itu guntur jatuh kuat kesana kemari di sekitar lingkungan rumah mereka. Membuat beberapa di antara mereka harus membolak – balikkan badan mereka di ranjang sambil menekan – nekan telinga dengan bantal ataupun telinga karena perasaan risih..

Tak ada yang tahu pasti itu kilat yang ke berapa. Hanya saja ketika cahaya menakutkan itu menembus kain jendela Jean, ia membiaskan bayangan seram yang tak sengaja terlihat oleh mata. Hitam, tinggi dan tampaknya berambut panjang. Alhasil Jean pun lari keluar dari ranjangnya, menuruni tangga untuk menghampiri sang Papa. Sialnya mata Jean menangkap sesuatu yang lain tengah duduk sendiri di meja makan yang tak jauh di bawah tangga.

Langkah Jean berubah ragu untuk meneruskan jalan setengah larinya. Suara kakinya berubah menjadi hanya mengeluarkan langkah kecil yang hampir terlihat tidak berarti. Tanpa mengalihkan pandangan dari sang setan, kaki tetap diperintahkan meraba satu per satu anak tangga menurun. Begitu tertegun ia akan rambut panjang yang tergerai turun di atas baju putih panjang yang lusuh itu hingga tanpa sadar ia telah salah langkah.

Jean memegangi pinggiran tangga dengan kedua tangannya dengan kuat. Berusaha menahan tubuhnya yang merosot ke bawah. Wanita itu telah hilang ketika ia memutuskan untuk memeriksa reaksi sekitar karena kejadian itu. Dia dan gaun putihnya tak terlihat lagi oleh pandangan. Sesuatu yang sebenarnya ia harap terjadi sebelum kakinya mulai menyentuh tangga.

Ketika Jean memutuskan untuk kembali mengeluarkan derak halus demi melanjutkan perjalanannya yang dirasa tanggung, ia merasakan sesuatu yang lain di belakangnya. Sesuatu yang ikut bergerak, mengikuti. Matanya langsung menatap depan. Melirik kanan kiri berusaha untuk menebak apa. Namun bagaimanapun ia takkan pernah tahu jawaban dari pertanyaan yang terajukan sendiri itu jika ia tidak membalikkan badannya sesegera mungkin.

Kakinya terasa bergetar yang kemudian menjalari ke seluruh tubuhnya. Badannya berguncang karena riak teriakan mengerihkan yang ia keluarkan. Jean jatuh pingsan dan ditemukan oleh Papanya yang langsung keluar kamar begitu jeritnya menggema.

Sampai sekarang ia ingat betul apa yang ia lihat -saat itu- hingga berhasil membuat jerit sebegitu kuatnya dan kemudian berakhir dengan kata ‘pingsan’. Setan bergaun putih itu tengah menganga di depannya. Menjulur lidah panjang hingga akhir lehernya.

Sekarang inilah dia –Jane. Menanti kejadian yang ia harap takkan pernah terjadi dengan situasi persis sama; tengah malam dan angka dua puluh sembilan. Hanya saja –kali ini- bedanya ia tak ditemani siapa – siapa, tidak Papanya. Tuan Herman sedang keluar kota selama tiga hari karena pekerjaannya dan Mama –tentu saja- tidak akan pernah datang, hanya memberi doa penyelamat dari surga tempat dia bernaung sekarang, berharap putri yang tidak pernah ia lihat satu kali pun bisa bertahan.

Lampu yang mulai memainkan cahaya adalah tandanya. Ia akan segera datang dan menemani malam yang bisa dibilang benar – benar sendiri. Kelap – kelip lampu berhenti pada cahaya yang begitu suram. Membuat pandangan tak bisa menjangkau jarak terlalu jauh di depan.

Jean sedikit kaget begitu cahaya memutuskan tidak ikut campur dalam hal ini. Membuat badannya agak terlonjak ke atas. Kini matanya benar – benar buta. Dengan berusaha agar tidak terlalu panik ia bergegas bergerak dalam gelap dengan meraba apapun yang kira ia dinding. Perlahan menuntunnya pada lemari tempat lampu darurat berada, lampu yang bisa menyala dalam gelap walaupun tanpa listrik yang sedang mengalir asalkan kau mengisi tenaganya.

Cahaya datang bersamanya. Menyorot apa – apa saja yang berada tak jauh di depan. Jantung naik turun hebat. Merasa takut dengan apa yang akan ia lihat yang bersembunyi dalam gelap. Jean menerangi sekitarnya bergantian. Memastikan ia memeriksa semua tempat yang mungkin saja akan menjadi tempat dia muncul.

Dia disana, akhirnya cahaya itu menemukannya. Berdiri membelakangi dari sudut ruangan. Badannya tampak naik turun walau dengan cahaya seadanya. Jika kau berpikir ia sedang menangis ataupun tertawa, kau salah, karena tak terdengar suara setitik pun disana.

Merasa sesuatu mengancam hidupnya dari balik sosok misterius itu, Jean mundur beberapa langkah ke belakang dan segera bersembunyi di balik kerasanya sebuah lemari kayu. Suasananya begitu mencekam. Saat dimana ia hanya bisa bersandar pada sebuah benda mati yang tak bisa memberikan janji perlindungan apapun padanya.

Suara nafas lirih mulai terdengar menghembus helaian rambutnya dari samping yang spontan membuat bulu kuduk berdiri dan mata mendelik ketakutan. Jean menjerit sekuat – kuatnya ketika mendapati hantu bermata putih dengan wajah pucat yang sedang menatapnya dekat. Ia bangkit dan segera berlari, cepat menginjaki para anak tangga menuju kamarnya hingga menghasilkan derap langkah yang semakin menakuti.

Pintu dibanding keras begitu ia berhasil masuk ke dalam. Lampu dari tangannya tampak menyinari semakin jauh dari sorot pintu. Ia melangkah mundur pelan sambil berharap tak ada yang mencoba mendobrak masuk. Seketika kakinya terhenti, merasa ada sesuatu yang menghalangi. Keras dan sepertinya berjari.

Badannya dibalikkan dengan cepat ke belakang. Ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa gambaran kaki yang ia duga dalam pikirannya hanya sebuah mimpi buruk. Sinar lampu tak menyorot apa – apa disana. Hanya ruang kamar yang tampak biasa.

Nafas ketakutan kemudian kembali tercium saat ia memutuskan untuk fokus kembali ke dalam pintu. Ia merasakan sesuatu di kepalanya. Jatuh lembut bagai tetes air yang membasahi. Awalnya ia tidak yakin itu benar – benar terjadi, namun kemudian setelah ia memastikan sendiri bahwa apa yang ia rasakan itu benar dengan berdiri beberapa detik lebih lama disana, ia mendongak ke atas bersama dengan cahaya lampu yang juga disorotkan untuk menerangi pandangannya.

“Aaaarrgghh ..” Setan itu ada di atasnya. Tidur telentang layaknya berada di sebuah kasur empuk dengan mata merah menyala. Tapi –sebenarnya- yang membuat Jean menjerit histeris seperti itu bukanlah buruk rupa dari ia yang berada di atas sana, melainkan -apapun yang berada di atas sana- telah bergerak jatuh menimpah dirinya.

Waktu itu ia seakan mendapat penglihatan lebih. Setelah memejam mata karena tak kuasa menahan beban yang akan menimpa, tubuhnya seakan digeret kembali menyapa 29 Juli yang telah lalu. Saat dimana ia terbangun dari tidur karena sebuah benda oval hitam dalam mimpi dan menerima belaian menyeramkan. Semua hampir sama dengan apa yang ia ingat sebelumnya hanya saja benda oval itu kini telah hilang, berganti dengan sosok wanita dengan senyum lebar dan wajah yang sangat manis, sementara jari – jari yang mengelus rambutnya waktu itu terasa lebih lembut jika kau mengatakannya sebagai sebuah ancaman. Begitu pula saat ia pingsan. Semua sosok telah berubah lebih ramah dengan senyum khasnya yang mengingatkan ia pada seseorang yang tidak pernah ia lihat dalam aslinya melainkan hanya dari balik bingkai berlapiskan kaca dimana ia tengah berdiri berdua di samping Papanya.

Semua penampakan setan menyeramkan -yang baru ia sadari selama tiga tahun ini- bisa dibilang hanya halusinasi ketakutan yang berlebihan. Bahkan bisikan dan nafas lirih yang ia dengar selama malam 29 Juli -jika kau memperhatikannya lebih teliti- ini akan terdengar seperti sebuah kata yang diucapkan oleh kita, manusia.

“Happy birthday.” Suara itu terngiang.

...


Tags : , , ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages