[Short Story] Pendapat Malam



Setiap Kamis malam, satu-dua orang warga menghilang. Tak pernah pulang. Sebagian berkata ini ulah roh-roh jahat yang tak tenang. Mengambil jiwa-jiwa yang masih hidup untuk menemani jiwa mereka yang sepi. Meneriakkan jeritan-jeritan malang di malam hari dan memuncratkan darah sebagai bentuk dendam masa lampau pada orang yang salah. Sampai saat ini tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa takut yang semakin menjadi ketika erangan itu terdengar, yang membuatmu semakin membukam diri dalam rumah dan kemudian terkejut di pagi harinya karena menemukan darah yang sudah merembes kemana-mana. Sungguh setan itu adalah ada.
Setidaknya itu hanya pendapat. Hasil kata dari mereka yang terlalu percaya pada tahayul. Sesuatu yang masih bisa dibilang abstrak bagi yang berpikir logis. Namun bagaimana pendapat malam tentang riuh ini? Apa yang sebenarnya terekam oleh angin ketika bulan muncul dalam Kamis malam? Sungguh, pendapat malam tak bisa dihiraukan.
Saat itu bumi menanggalkan 23 Juni di malamnya. Menyoroti langkah bayang yang tersingkap oleh sang rembulan. Dia, seorang wanita dua puluhan tahun, menggemakan hak tingginya.
 Di langkahnya ia tak tenang. Ia tahu ia telat. Ia seharusnya sudah sampai di rumah dua jam sebelum ini–jika seandainya mereka tidak menahannya disana terkait hal-hal yang disebut perkara. Tas hitam kantornya diam menemani di samping. Tak ingin mengacaukan pikiran yang sekarang sudah meringkuk paranoid.
Wanita itu, Ezty. Tampak langsung menuju kiri begitu berhadapan pada sebuah persimpangan jalan pertama. Membuatnya tanpa sengaja terperangkap dalam sinar kuning kendaraan yang sebelumnya tak pernah ada. Bayang wanita itu hitam. Lebih hitam dari apapun juga yang bisa saja meneror dalam kegelapan. Tergeletak santai di aspal dengan latar kuning yang benderang.
Lampu sorot kendaraan itu tak kunjung bergerak. Tetap statis dengan posisi awalnya yang semakin lama semakin membuat diri gerah. Merasa tak nyaman, Ezty membalikkan badannya untuk sekadar tahu. Silau. Ia menahan sinar hebat yang masuk ke mata dengan tangan kanannya. Samar ia bisa melihat. Itu hanya sebuah mobil gelap yang memudar dalam cahaya kuningnya yang begitu tajam.
Ezty kembali, menggerakkan lagi langkah-langkahnya untuk berjalan pulang. Tak ingin lebih telat hanya karena kecemasannya akan sebuah mobil yang semenjak tadi menjatuhinya seberkas sinar. Sesuatu terjadi. Pada bayangan dan juga sinar kuningnya. Mobil itu turut bergerak di belakang–namun tak berniat mendahului. Memberi kesan seolah-olah ingin mengikuti dan menakuti. Ezty menghentikan langkahnya, menunggu.
Beberapa detik dan tidak terjadi apa-apa. Siapapun yang berada di balik kelamnya mobil itu sekarang, ia sedang tak ingin buru-buru. Masih ingin tetap diam menyoroti demi membuat jantung yang berdegup semakin menjadi-jadi.
Pikiran wanita itu mengambang. Terbang mencari akar-akar kemungkinan yang diprediksi bisa terjadi padanya malam itu. Sebuah penculikan. Itulah hal terburuk yang Ezty dapat. Matanya hampir membelalak keluar tak percaya menyadarinya. Ini bukan sesuatu yang baik. Apalagi jika ia yang melakukan ini adalah dia yang memiliki dendam dari amarahnya. Dan Mira, si penyebab ia pulang larut malam ini, tiba-tiba menyemat di pikiran.
Ezty segera kembali ke dalam dirinya. Berusaha mengambil fokus akan kendali diri dan mulai melangkah. Cahaya kuning itu terus mengintai. Mengikuti hidup mati kakinya yang sudah gemetar. Ezty bagaimanapun memasang was-was dari sudut matanya. Tak ingin melewatkan apapun yang mungkin keluar dari sana tanpa diduga.
Sebuah persimpangan lain akan menyambutnya tak jauh di depan. Sebuah simpang empat yang harus dipilih. Tentang jalan pulang atau rute pelarian. Rumahnya ada di belokan kanan. Sekitar tiga belas rumah lagi setelah dipisah dua simpang lain–dengan konsekuensi orang dalam malam ini akan tahu dimana mereka harus menunggunya di lain hari jika berhasil melihatnya masuk.
Terlihat sulit memang, namun Ezty sudah punya sesuatu di pikirannya. Sesuatu yang sebenarnya terdengar mustahil jika dikaitkan antara kecepatan yang mampu dicapai oleh sepasang kaki yang tengah ketakutan dan kecepatan mobil yang tak tahu asal-usulnya.
Langkahnya diutus santai, mencoba untuk menutupi degup jantungnya yang ingin sekali terdengar keluar. Ezty menelan ludah, mencoba memperingatkan dirinya sendiri bahwa ia benar akan melakukannya.
Ini adalah saat-saat menegangkan. Saat dimana Ezty mulai hilang dalam belokan di kanan dan harus melepas high heels-nya segera. Ezty berlari dengan sisa nyali yang ia punya. Pandangannya goyang bersama nafas yang diatur agar sama ritmenya. Diikat mati oleh cahaya kuning yang masih terbayang jelas dalam benak.
Simpang selanjutnya menyambut tak lama lagi. Ia sebaiknya menambah kecepatan jika tak ingin mereka tahu ia mengambil arah yang mana.
Tubuh Ezty terhempas ke belakang. Terpental ke jalanan aspal yang semenjak tadi ikut tegang mengawasi langkahnya. Ia jatuh bersama dengan rasa sakit di dudukannya, sama seperti dia yang di hadapan. Dia yang satunya adalah seorang pria, yang kini sedang berusaha bangkit lebih dulu untuk kemudian menawarkan ulurkan tangan. Tanpa berpikir panjang Ezty menyambutnya.
“Kamu enggak apa-apa?” Pria itu mengenakan jaket hitam dengan tudungnya, berbicara begitu dingin laksana malam pada tanggal itu sambil mengamati situasi malam apa yang mungkin mengejar wanitanya dari balik sana. Ezty menatapnya, menggeleng, lalu beralih demi memasukan kedua high heels miliknya pada tas kerjanya.
“Rumor tentang setan yang mengambil jiwa-jiwa yang masih hidup?” Ezty terkejut. Terputar kembali pada alasan kenapa ia bisa sampai berlari kelelahan seperti ini dan berakhir dengan menabrak pria yang sama sekali tidak ia kenal. Ia tahu maksudnya. Maksud dari kata-kata yang baru saja keluar dari bibir pria itu.
“Bukan. Tadi ada yang mencoba mengikutiku.” Ezty memandangi simpang terakhir yang ia lalui. Kembali waspada akan cahaya kuning yang mungkin saja tetap menjaga malam dan mencarinya walaupun ia sendiri belum tahu untuk alasan apa.
“Mobil hitam itu tidak akan mengejarmu sampai kesini.” Kata-kata itu meluncur cepat bagaikan roket.
Ezty menatap lain sosok ia yang dirundung kegelapan. Ia merasa yakin, sangat yakin bahkan, bahwa ia sama sekali tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Tentang mobil berwarna pekat dalam malam. Tudung hitam itu bergerak menatap dirinya. Menawarkan aroma horror yang begitu kuat dan tak tertahankan. Apa ini? Bagian dari skenario penculikan? Seseorang penjebak?
Tanpa ada yang menduga–bahkan oleh dirinya sendiri–Ezty telah melakukan beberapa gerakan mundur. Menatap jalan hitam yang dibelakangi oleh sang pria tak dikenal dengan penuh harap.
Batang tubuh pria itu didorong menyingkir dengan badannya. Membuatnya bergeser beberapa jarak dan menyisakan banyak ruang untuk dilalui. Ezty berlari meninggalkan manusia di balik jaket hitamnya. Berharap itu adalah kejutan malam yang terakhir untuknya.
Ezty mati setelah tak lama berbelok di simpang terakhir. Kakinya tak berlari lagi. Seakan mengambang di atas ketakutannya sendiri. Sesuatu berhasil mencuri jiwanya disana, di jalan, yang tergeletak begitu saja di bawah pendar lampu jalan yang menemani malam. Sebuah tubuh.
Irama langkah Ezty berubah pelan. Hampir tak terdengar oleh malam yang saat ini sedang menyampaikan pendapatnya. Ia mendekat dengan ragu, dengan degup jantung yang ditahan untuk bersikap tenang, dengan nafas yang masih membuat tubuhnya harus naik turun hebat.
Seseorang yang sudah tak berdaya telah ditinggal disana untuk menghadapi dinginnya malam sendirian. Mati? Ezty tampaknya tak perlu repot-repot memastikan hal itu. Darah yang membasahi malam lewat punggung, sebuah pisau yang tergeletak tak jauh di samping tubuh, Ezty tidak memerlukan apa-apa lagi. Entah berapa lama mereka sudah membiarkan tubuh ini terbaring kaku disana.
“Ini bukan ulah roh-roh jahat. Mereka tidak akan membutuhkan sebilah pisau untuk membunuhnya–jika memang mereka yang melakukannya. Ia pasti tewas setelah ditusuk beberapa kali di bagian punggungnya oleh seseorang yang mungkin saja iri dengan kehidupannya.” Ezty menduga dalam hati.
Kulit putih pria itu tampak menguning oleh lampu jalan. Tangannya yang tergeletak tak jauh dari pisau terlihat berbalur merah dengan mulut terngaga dan mata yang seakan ingin menjerit. Tragis.
Ezty tersentak dalam berdirinya. Telintas di pikirannya bahwa mobil gelap dan pria berjaket hitam itulah pelakunya. Semua tampak masuk akal ketika ia sadar bahwa pria berjaket hitam itu baru saja menghabisi pria malang ini dan hendak pergi untuk meninggalkan jejak–yang secara kebetulan berjumpa dengan dirinya di pertengahan. Dan mobil itu … yang meneror dengan kuningnya–seperti yang ia duga sebelumnya–adalah komplotan. Mobil itu diletakkan disana bukan untuk mengejarnya tapi untuk mengawasi. Menjaga siapa saja agar tidak berbelok ke simpang ini sehingga tidak seorang pun menemukan mayatnya sebelum mereka berhasil pergi. Malam hening.
Ia memandangi belakangnya. Memastikan bahwa tak ada sepasang mata yang tengah memperhatikan karena mungkin dia dalam bahaya sekarang. Ezty membalikkan badannya sekali lagi. Ingin mengambil pisau peninggalan buat berjaga-jaga walau rumah akan tercium kehangatannya sebentar lagi.
“Brak!” Ezty jatuh menyentuh tanah. Rambutnya berserak menutupi mata yang sampai saat ini tidak percaya bahwa dirinya baru saja dipukul oleh mayat yang kembali bangkit. Saat kepalanya masih belum bisa menyusun kelogisan akan segalanya, badannya ditarik dari belakang.
Pria berambut gondrong itu terlihat tersenyum dengan pisau yang sedang ia acungkan ke udara. Senyumnya sinis mematikan, yang menandakan bahwa tak lama lagi malam hari itu akan berbau amis seperti Kamis malam yang sudah-sudah.
Tak mau ini menjadi bahan pembicaraan malam dan anak-anaknya di hari esok dimana sang wanitanya mati terlalu cepat karena kebodohannya, Ezty mengirim satu tendangan ke pangkal paha lawannya. Pria itu, Khairil, jatuh dengan tangan yang memegangi rasa sakit. Ia terduduk di aspal sambil memandang keji dirinya yang telah melakukan kesalahan besar. Kau mati!
Malam itu Ezty tak lari ke rumahnya. Ia bergerak ke arah yang sebelumnya ia lewati. Menuju tempat dimana pria berjaket hitam itu mungkin sedang menunggunya. Larinya saat ini lebih cepat dari yang sebelumnya, tidak seperti saat mobil dengan lampu kuningnya menyenter ataupun ketika dirinya beranggapan kalau pria berjaket hitam itu adalah seorang mata-mata yang sedang mengawasi. Tapi tetap saja, pria itu bisa menandingi langkahnya.
Khairil membuang badannya ke depan. Menangkap mangsanya bagai seekor cheetah yang kelaparan. Keduanya tergeletak di jalanan dengan sang pembunuh di atas, yang sedang memamerkan kilau pisaunya yang saat ini telah siap mencari tumbal Kamis malam. Tak ingin membuang waktu ia menancapkan ujung tajamnya cepat ke arah bahu–seharusnya di jantung namun sedikit meleset karena ada perlawanan tak terduga ketika itu.
Ezty mengerang. Walau ia tak sempat melihatnya tapi ia yakin bahu kirinya sekarang tidak baik-baik saja. Akan ada banyak darah disana yang akhirnya membasahi seragam kantornya. Spontan Ezty meninju pipi pria yang mencoba mematikannya dengan lengan yang berlawanan. Tidak terlalu bekerja memang, tapi setidaknya ia sekarang punya beberapa waktu untuk berjalan tertatih menuju simpang.
Ezty terkejut dengan apa yang ia lihat begitu berbelok. Ivan, si pria berjaket hitam, disana. Bersama-sama dengan mobil berwarna gelap–yang ia yakin bahwa mobil itulah yang tadi membuntutinya–ia tampak berdiri, berbicara dari luar dengan si empunya mobil.
Kaca mobil itu tampak turun. Seseorang di dalam sana ingin mengatakan sesuatu pada pria berjaket hitam layaknya orang yang ingin menanyakan sebuah alamat. Tanpa ragu, Ivan mendekatkan badannya untuk mendengarkan.
Sepotong tangan keluar dari sana, yang tanpa diduga tengah menggenggami sebuah pisau untuk dihantamkan pada korbannya dengan begitu cepat. Mata pria berjaket hitam itu bergidik ke bahunya. Mundur perlahan hingga pisau itu berangsur-angsur melonggar dan akhirnya lepas setelah meninggalkan rasa ngilu di antara tulangnya. Malam melihat tubuh itu jatuh dan tergeletak, sementara tangannya mengeluhkan tentang rasa sakit yang didera.
Makhluk itu keluar dari persembunyiannya–siapapun itu. Kakinya tampak turun dari celah bawah mobil bersama sepasang high heels merah. Tak lama lagi ia pasti akan mengakhiri ia yang sedang meringis kesakitan. Wanita itu berambut panjang, tidak lurus melainkan dengan sedikit gelombang dan warna yang lagi-laginya di malam ini adalah kelam. Dengan pisau yang bertengger di tangan, ia terlihat seperti malaikat maut dengan sayap hitamnya yang siap memburu nyawa.
Badan Ivan yang tadinya mencoba merangkak pergi, ditahan ditempat. Dibalikkan menghadap langit agar ia bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa pencabut nyawanya. Seperti temannya, Fera yang juga bagian dari setan Kamis malam, memamerkan kilau pisau miliknya pada keheningan sebelum menghunuskannya dengan tekanan yang sangat tajam pada daging segar malam itu.
Tangan Fera berhasil dihalangi sebelum melukai. Ivan menahannya dengan tangan satunya yang masih mempunyai bahu yang baik-baik saja, dan mencoba melawan dengan memberikan tekanan pada perut lawannya melalui lutut. Bersama-sama dengan waktu yang akan membunuh, Fera terpukul mundur. Pisaunya terlepas dari genggaman dan jatuh dengan suara nyaring dalam keheningan.
Tanpa membuang-buang waktu Ivan berusaha bangkit.
Dari tempatnya sekarang ia bisa melihatnya, Ezty. Diam ketakutan memandangi ia yang juga tak tahu apa-apa tentang malam itu kecuali sekilas tentang mobil yang beberapa pekan lalu sempat ia lihat menyoroti seseorang dengan sinar kuningnya dan mengejar–sama seperti yang dialami oleh Ezty malam ini. Namun apa yang dilihatnya saat itu tidaklah cukup. Hanya pandangan dari rumah berlantai tiga. Untuk itulah ia keluar malam ini, malam Jum’at yang dikabarkan para setan ini akan keluar lagi, demi menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi disini, di tanah tempat mereka tinggal.
Itu benar, jika kau berpikir bahwa pria berjaket hitam ini seharusnya lebih berhati-hati dari siapapun karena apa yang telah lihat di malam-malam sebelumnya. Percayalah, ia telah melakukannya. Ia telah mengatakannya berkali-kali pada dirinya sendiri, bahwa ia akan lari begitu mereka melihatnya disana karena ia tahu betapa berbahaya setan-setan Kamis malam ini. Ini semua tentang wanita yang ia jumpai tak sengaja di persimpangan, yang karenanya keduanya sama-sama terjatuh di aspal yang kasar. Ezty. Pria berjaket hitam ini terlalu banyak menaruh pikiran tentangnya, tentang perjalanan rumahnya yang apakah selamat. Ia terlalu khawatir pada wanita itu, sampai-sampai ia melupakannya saat mereka datang tak lama setelahnya. Keselamatannya. Tujuannya.
Fera menarik belakangnya. Menghancurkan dia dan segala pemikirannya dengan menghantamkan wajah pria itu ke spion mobil yang dari dulu tak pernah ingin ikut campur tentang perburuan ini hingga lepas dari tempatnya. Untuk ketiga kalinya dalam malam ini, Ivan jatuh pada lantai aspal.
Fera memandangi Ezty sambil menginjak keras kepala Ivan–memberi isyarat tak langsung bahwa ia berkuasa dan bisa melakukan hal serupa padanya–lalu bergerak mendekat ketika yakin pria di bawah kakinya itu sedang berada dalam ambang ketidaksadarannya. Di tempatnya Ezty sadar ia sedang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Semua tidak akan baik-baik saja jika ia berlama-lama disana. Untuk itu mencoba menginjakkan keberaniannya kembali dan berbalik. Namun itu tidak bisa lagi dilakukan, semua telah terlambat. Mereka telah menemukannya.
Khairil mengekang lehernya dengan garis tajam pisau. Dan dengan tanpa basa-basi ia menggariskan pisau miliknya dengan pelan di leher. Mencoba merasakan setiap aliran darah Ezty yang mengucur deras ke luar. Detik demi detik. Wanita itu menggelepar dalam seragam kantornya di pegangan pembunuh yang mengeras. Khairil menikmati dengan senyuman yang menunjukkan jajaran gigi-gigi putih bahwa wajahnya terkotori darah. Seketika suasana berubah gila.
Ivan belum mati. Tangannya masih bergerak. Meraba-raba kasar aspal yang tidak ingin menolongnya karena juga takut diburu. Walaupun memerlukan waktu yang lumayan lama untuk sedikit bangkit tapi akhirnya ia bisa melihat kaki jenjang wanita pembunuh yang sedang berdiri membelakangi dirinya. Ivan mengambil pisau yang tergeletak tak jauh dari tempatnya jatuh. Ia ingin melakukan pembalasan.
Khairil bisa melihat pria berjaket hitam itu bangkit dari kejauhan sehingga memberikan isyarat tanda pada dia yang mungkin saja akan mati malam itu. Fera berbalik dan … darah kembali jatuh di malam itu. Pisau itu berhasil menembus perutnya. Ia menyaksikannya. Bagaimana pisau itu kemudian diambil kembali dari perutnya yang mulai merembeskan darah. Matanya mendelik sebelum akhirnya badannya membawa mereka jatuh miring ke samping. Fera tergeletak.
Ivan membuang pisau yang bukan miliknya. Tak menyangka ia akan berbuat seperti itu disini, malam ini. Ia mengangkat pandangannya ke teman semalam yang tadinya sangat dikhawatirkannya, yang sayangnya sekarang sudah menjadi mayat kaku yang kehabisan darah. Perlahan tubuh Ezty dijatuhkan.
Seorang pria dan seorang pria. Kondisi luka mereka berdua berat sebelah. Tidak imbang jika dipaksakan untuk tetap bermain dalam keganasan. Ivan akan mati cepat.
Pria berjaket hitam memutuskan mundur. Setidaknya berkata dalam langkahnya bahwa ia tidak akan menyerang sebelum ia datang mendekat. Tapi tunggu dulu. Sesuatu yang salah terjadi. Kakinya tak bisa bergerak, tak bisa melangkah. Sesuatu yang lain tak membiarkan dirinya untuk pergi malam itu.
Ivan menjerit dengan tenggorokkannya. Fera baru saja menghunuskan pisau ke tulang keringnya hingga membuatnya terjatuh dari jalan. Wanita itu masih hidup, dan tanpa membuang waktu yang dipunya ia kembali bangkit. Di tengah keluhan Ivan akan rasa sakitnya, Fera dan luka tusukannya pergi bergegas ke belakang mobil gelap milik mereka. Bersiap-siap untuk sebuah akhir yang mencengangkan.
Tak lama ia kembali. Berdiri dengan alat membunuh yang lain. Berbeda dengan pisaunya yang hanya memiliki satu sisi rasa sakit, kini ia punya dua. Gunting rumput itu tampak mengerihkan di antara malam yang tengah ternganga.
“Tidak..” Suara itu terdengar lirih dan hampir menemukan titik putus asanya. Namun tak ada yang bisa mengurungkan niatnya, niat setan Kamis malam. Fera menggunting jari-jari tangan Ivan yang mencoba menghalangi, hingga jeritan kembali menggema dan kemudian pergi, seperti potongan-potongan jari yang telah meninggalkan pangkal tangan tuannya.
Fera semakin mendekati mangsanya yang sengaja dibuat masih hidup untuk merasakan. Memompa jantung untuk semakin berdegup kencang sementara rasa sakit sudah tak terbantahkan. Wanita itu menutup guntingnya menjadi satu. Membiarkan tajamnya bergabung di saat-saat akhir. Sekarang ia siap untuk menembus sebuah tengkorak tepat di kening.
Tanpa suara malam kembali hening. Segera membawa awan-awan untuk menyembuyikan sang rembulan dan pandangannya. Ia tak seharusnya memperhatikan yang satu ini. Sebuah akhir dimana sang wanita gila mencicipi satu jemari yang tadinya bertebaran di bawah. Mematahkan mereka dengan gigitan berbunyi ‘tak’ yang menggetarkan. Malam menghela nafas. Menjadikan atmosfer Kamis malam hari itu lebih dingin sesaat. Dan tanpa menunggu cicipan lain terjadi, pendapat malam berakhir disana.

---

Halaman Terkait: Pendapat Malam 2 | The Apartment (aka Pendapat Malam 3)
Tags : 

2 komentar:

  1. luar biasaaa,, bakatmu luar biasa dit, jangan disia-siakan,, jangan pernah kubur bakat ini,, gaya bahasamu yang penuh sastra itu menggetarkan hati,, saya jadi fansnya adit yang pertama sebelum terkenal ne sepertinya,, :D

    tapi ada yang ingin saya tanyakan, itu kenapa si ezty, fera, ivan n khairil yang jadi korban nama?

    BalasHapus
  2. haha ..
    makasi ipin ..

    kalau soal nama .. em .. lagi pengen aj .. hehe ..

    BalasHapus

Pages