[Short Story] No Mercy 2 : It's not a project anymore



Malam itu sunyi. Rumah luas itu terlihat sepi. Tak tampak mereka yang sedang lalu lalang di sekitar. Vito -inspirasi karakter Ray- sedang duduk serius di kamarnya membuat sketsa seorang gadis dengan rambut panjangnya yang terurai. Kuas begitu santai menari di kain putihnya. Sentuhan magis dari seorang Vito. Gambar itu selesai. Matanya terlihat nyata berkata dari balik kanvas. Senyumnya tersimpul karena alam yang mengajak.
Vito menyita waktunya untuk memandang keras bingkai jendelanya yang berkali - kali dibanting angin. Bunyi ‘buk’ yang sudah entah berapa kali menggema kini membuatnya jatuh lelah. Ia merapikan alat yang semenjak tadi bersemedi di tangannya ke atas meja dan bergegas bangkit dari kursi.
Kini badannya terlihat dari luar oleh mata siapapun yang memandang kotak jendela miliknya. Vito merapatkannya, namun hanya sekedar, tanpa menguncinya.
Sudah pukul 23.20, sekarang sudah waktunya untuk tidur mengingat diskrit menunggu di kala pagi masih menunjuk tujuh tiga puluh. Ia segera beranjak ke ranjang, merangkak – rangkak seperti seorang bayi bertubuh besar. Ia membetulkan posisi bantal, menepuk - nepuknya dan menarik selimut hingga leher. Ia berbaring dan perlahan matanya mulai terpejam.
Vito yang belum sempat jatuh ke dalam mimpi, membuka matanya kembali. Ia merasakan sesuatu yang mengganggu di belakangnya yang semenjak tadi bergerak – gerak dalam ketidakpastian dan kini -ketika matanya sudah sepakat untuk bangun- gerakan itu tiba – tiba berhenti.
Vito membalikkan badannya. Matanya mendelik. Kilau sebilah chopper yang memantulkan cahaya ruangan telah mengatakan maksud kedatangannya. Seorang iblis segera melompat ke ranjang, menduduki Vito sambil menutup mulutnya yang ingin berteriak. Dengan cepat si pembunuh segera mengayunkan chopper ke tengkorak Vito. Berniat mengirimkan seorang malaikat pencabut nyawa untuknya. Chopper itu menempel disana. Kaku. Kulit kepalanya retak dalam. Darah berhamburan melewati matanya. Tanpa sempat berkata, Vito mati mengenaskan. Kini kepalanya tak sanggup tertopang sendiri lagi untuk merasa takut.
Pembunuh itu tahu ceritanya. Cerita utuhnya, no mercy. Itu tidak berakhir sampai disana. Sesuatu harus dihilangkan. Dienyahkan. Ia menyebar pandangannya dengan liar. Mencari – cari sesuatu yang bisa dijadikan teman. Kuas lukis pun menjadi sebuah alternatif. Ia berniat ingin mengubah sang naskah. Tanpa membuang waktu ia bergegas mengambilnya yang tergeletak di meja.
Ia membalikkan posisi senjatanya sehingga pegangan kayunya menunjuk ke arah bawah. Perlahan ia mendekatkan ujungnya ke sebuah bola yang berkornea. Tidak ada kedipan. Kuas itu begitu saja tenggelam. Begitu pelan, hingga ia merasakan mata itu pecah di ujung kuas. Bercak – bercak merah bernada anyir pun mengotori telapak tuan.
Malam tak bisa berbuat banyak. Terlalu takut untuk mengeluarkan lolongan anjingnya yang menggema. Sementara itu tirai hanya bisa bergoyang gemetar di bingkainya melihat sosok setan yang melaluinya untuk kedua kali.
Pagi harinya dunia 'meledak'. Kejadian itu menggema kemana - mana. Berita seorang mahasiswa yang dibunuh sadis oleh seorang psikopat menjadi buah tangan angin yang sempat singgah. Adit berpikir keras dengan apa yang terjadi. Ia terlihat tegang dalam duduknya. Matanya tampak tajam menatap bawah. Sebuah keraguan yang hampir terwujud. Ia tahu ini. Chopper. Mata.
Reni terlihat syok. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Padahal baru kemarin dirinya meminta dibuatkan sebuah lukisan oleh kekasihnya itu. Ia menangis di kursinya. Tubuhnya bergetar. Belum siap kehilangan senyum sang kasih.
Suasana begitu gelap. Tak ada kata berarti yang bisa diterbangkan kipas yang berputar di tengah. Hanya sebuah ungkapan ketidakpercayaan yang membidik mereka per individu.
Novri dan Danny hanya bisa diam di samping Reni. Seakan memberikan ruang bagi mereka yang ingin menangis. Sementara itu, Aulia yang duduk dua kursi di belakang, memandangi mereka dan kemudian menatap jarum yang yang terus bergerak di tangannya. Sebuah perpisahan di rumah duka akan segera datang.
Azhar, orang yang membuat Mona jatuh dalam cerita, memecah perhatian. Ia datang dengan kaki pincangnya. Ia terpaku di ambang pintu. Menatap seluruh kelas yang murung. Dia turut berduka. Ia tahu situasi ini. Sebuah pesan singkat yang dikirim ke nomornya tadi pagi sudah cukup jelas menggambarkan segalanya.
Sepulang dari pemakaman pertama dari fiksi teman mereka ini, Aulia memandu. Ia ingin mengatakan sesuatu kepada lima yang lain. Sesuatu yang mungkin takkan terpikirkan oleh siapapun namun cukup akan diterima akal.
“Cerita ini belum di-publish. Jadi aku yakin, dia ada diantara kita.” Matanya mengintip dari sudut bingkai. Menatap kaki pincang yang tak bercerita. Pemakaman menjadi saksi. Perkataan itu telah terlontar. Ranting – ranting pepohonan besar bergoyang tanpa arti. Semua yang menunduk kini menatapnya. Tangisan seakan berhenti bersama waktu. Semua terkejut.
“Maksud kamu?” Isakan masih terdengar di suara Reni.
“No mercy.” Suaranya luntur. Ia sebenarnya belum siap mengatakannya. Pendapat yang sejak awal menyiksa diri. Adit hanya tidak ingin Aulia yang menjawabnya. Sebagian tanggungjawab dari semua ini adalah dia.
Lantas fiksi itu terbang di ingatan mereka. Kesadisan demi kesadisan. Semua mulai mengerti arah pembicaran. Sebuah awal. Angin bertiup kencang diantara mereka. Menebarkan jauh – jauh pedih menjadi ketegangan. Sebuah pemikiran tentang kebenaran dan kelanjutan. Akankah ada korban lagi?
Tanggal sudah berjalan beberapa langkah ke kanan menuju angka – angka yang lebih tinggi nilainya di bulan yang sama. Tak ada kejadian apapun. Hanya ada kecurigaan yang terpendam di masing – masing pemain. Perlahan luka mulai sembuh, Namun masih terlalu cepat untuk melupakan segalanya. Masih butuh waktu.
Hari ini ada festival budaya Jepang di kampus. Mereka memutuskan untuk datang. Mencari sebuah angin segar yang nantinya mampu mengusir mimpi buruk yang tak akan pernah kembali dan menggoyahkan arti kebersamaan.
Ramai dimana - mana. Suara langkah hanyut akan berbagai obrolan dan musik. Tenda – tenda didirikan sebagai tempat berteduh jajanan. Adit ditarik Novri untuk menyaksikan pameran photografi sehingga mereka harus mengalami perbedaan rute dengan Azhar dan Danny yang lebih memilih untuk menaruh perhatian pada makanan yang dihiasi tulisan Jepang di depannya.
Sebuah panggilan tampak menyibukkan Adit. Seseorang berada di balik telepon genggam miliknya. Adit permisi pergi. Mencoba menjauh. Merasa musik yang terpancar begitu panas.
Semenjak awal Aulia tidak bersama mereka. Bukan karena rasa kecurigaan yang masih ada antara satu sama lain melainkan karena belum saatnya bagi mereka untuk bertemu. Dia tak perlu mengirimkan sebuah pesan yang mengatakan bahwa ia telah berada disana. Masih ada hal yang ingin ia lakukan. Sendiri. Berdiri di dalam sebuah bayang tenda yang di dalamnya berjajaran buku – buku tebal.
Entah kenapa ia tidak bisa menemukan ketertarikan disana. Matanya sedang tidak ingin membaca. Pikirannya masih terganggu oleh sesuatu.
Aulia pergi dari istana buku yang berada di balik tenda. Mencoba mencari – cari sesuatu yang lain. Kakinya melangkah pelan tak pasti bagaikan seorang anak yang kehilangan ibunya. Matanya sibuk berkeliling tanpa mengetahui apa yang sebenarnya ia incar. Pandangannya seketika menangkap sesuatu. Seorang yang kurus dengan jaket abu – abunya. Salah satu orang yang akan menjadi korban jika seandainya pembicaraaan di pemakaman itu benar. Itu Danny. Si pembunuh Mona. Ia terlihat sedang berada di bawah bayangan tenda berwarna biru yang setidaknya telah melindunginya dari sengatan mentari. Tanpa menunggu angin yang membisikkan sarannya Aulia pergi menghampiri.
            “Mana yang lain?” Ia menatap Danny yang sibuk dengan sesuatu di mulutnya. Danny mengalihkan pandangan. Agak sedikit terkejut dengan dialog mendadak itu.
            “Adit sama Novri lagi di photografi.” Ia masih mengunyah. Mencoba untuk melumatkan mereka dengan lebih cepat. “Kalau Reni belum datang. Mungkin sebentar lagi.” Danny kembali memperhatikan meja di hadapannnya yang dipenuhi oleh sushi. Aulia terlihat mengangguk – ngangguk. Dia memandangi sekeliling untuk mengamati.
"Azhar mana?" Aulia menyadari ketidakhadirannya. Baik utuh ataupun dalam bentuk kata yang seharusnya juga dilontarkan olehnya sama seperti yang lain.
"Toilet." Ia berkata tanpa menatap lawan bicaranya. Awalnya terdengar biasa. Tapi entah kenapa sesuatu mengganggunya. Sesuatu yang menjadi pikirannya beberapa hari lalu kini hadir kembali.
"Toilet?" Batinnya bertanya - tanya. Mata Aulia bergerak kesana kemari di daerah kekuasaannya. Seakan berusaha membantu otak yang sedang berpikir nakal. Mungkin ini yang dinamakan logika. Berusaha untuk berpikir ke depan -dengan bukti – bukti yang sebagian mungkin kuat.
Ia berniat menyusul. Tanpa berkata ia pun pergi. Awalnya langkahnya pelan dihentak. Layaknya irama langkah pengunjung yang lain. Tapi entah mengapa ia mulai percepat geraknya. Langkahnya terlihat semakin besar dan bahkan kemudian berlari. Pembunuhan. Kaki yang sakit. Sebuah perlawanan ketika hendak membunuh. Aulia membiarkan dirinya tidak terkendali dengan semua anggapannya.
Tubuhnya dibawa menabrak angin dengan keras. Beberapa badan yang tampak memadati jalan dengan sengaja ia hantam hingga membuatnya terus menerus harus mengucapkan kata maaf ataupun permisi. Ia tak punya waktu. Ini harus dibuktikan. Walau dalam hati ia berharap ini hanya sebuah dugaan bodoh.
Tinggal beberapa meter lagi dan semua akan jelas. Sekilas toilet pria itu tampak tertutup. Pintunya merapat tanpa ragu. Namun jika dilihat seksama, ada sebuah celah disana yang membiarkan angin masuk dengan niat jahatnya dan akhirnya membenarkan sebuah prasangka. Tidak mungkin seseorang di dalam membiarkannya terbuka disana. Dimana Azhar sebenarnya? Tanpa pikir panjang Aulia segera mendorong masuk pintu itu.
Ia terkejut. Seseorang berada disana. Membungkuk membelakangi cahaya yang datang dari luar. Kepalanya terendam dalam air yang mengapung dalam bak. Aulia menatap cermat. Merasa ia mengenali tubuh yang dibungkus kemeja petak merah itu. Sebuah korban lain. Badannya dengan cepat dibalikkan. Aulia terkejut. Langkahnya tampak pudar ke belakang. Pemandangan ini…
Seketika naskah itu seakan berjalan menghampiri. Menunjukkan kematian setelah ini. Urutan kematian yang ketiga. Reni..!! Mungkin ia akan menjadi korban selanjutnya mengingat kematian Mona terjadi tak lama setelahnya. Sebuah kecelakaan.
Dalam langkah larinya kali ini ia berusaha mendapatkan petunjuk sesegera mungkin. Galih telah menjadi korban seperti Ray. Lehernya tampak dihunuskan sebuah pisau dapur dan kemudian dicelupkan ke dalam bak hingga gelembung dari hidungnya tak lagi timbul ke permukaan. Ini bukan main – main. Masalah nyawa.
Ia kembali tergesa menuju keramaian festival. Memanfaatkan waktu yang masih tersisa di dalam jam pasir. Mata digerakkan liar. Berharap menemukan sosok Mona yang masih tanpa darah di sekujur tubuh pastinya.
Tak ada apapun. Hanya keramaian orang – orang tak dikenal. Aulia mulai kehabisan waktu. Jantung terasa takut. Detaknya semakin kencang seakan ikut berlari mencari.
“Reni kamu dimana?” Tanpa kepastian kakinya beranjak. Langkahnya tak jelas. Kecemasan. Aulia terus menugasi matanya menyorot setiap lekuk wajah. Mulai dari yang terdekat hingga menuju jalan yang tergeletak di luar. Badannya tergerak. Tersentak. Reni terlihat sedang hendak menyebrang di luar sana.
Ia menyadarinya. Sebuah truk diam yang telah siaga di sisi lain siap melahap temannya itu ke jurang neraka. Ekspresi pria tegap itu berubah. Dia panik.
“Ren, awas.!!” Tenggelam. Tak ada suara berarti yang keluar. Hanya ada musik pendukung kematian yang keluar dari pengeras suara. Sadar kondisi itu, Aulia segera berlari cepat keluar. Ia tahu ia tak akan mungkin berhasil untuk menarik keluar temannya dari aspal. Tapi setidaknya suaranya akan cukup terdengar jika ia telah mencapai gerbang.
Terdengar klakson truk itu ditekan berulang - ulang. Seakan memberi kesan bahwa ini hanya sebuah kecelakaan. Aulia tak akan berhasil. Masih terlalu jauh. Reni yang baru menyadari kehadiran truk itu kini memandang kanannya. Kematian menanti. Reni memejamkan matanya, mengangkat kedua tangannya sejajar kepala. Berharap sebuah perisai udara menahan truk itu dari amarahnya.
Tak ada suara tubrukan. Truk telah berhenti. Reni membuka mata dan perlahan menurunkan perisainya. Sebuah ketidakpercayaan. Truk itu dihadapannya sekarang. Berdiri kokoh menatap ketakutannya. Reni pingsan seketika, ia tak bisa membayangkan bagaimana truk itu akan melepaskan malaikat mautnya ketika ia menganggap semua ini telah berakhir. Truk itu pergi meninggalkan seorang yang tergeletak lemas begitu saja.
Adit dalam lamunan di kamarnya. Mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini di luar kemampuannya. Bukan sekedar fiksi yang bisa diubah naskah pemainnya. Dimana hidup dan mati adalah perkata mudah. But... it's not a project anymore. Sesuatu bisa terjadi kapanpun tanpa diduga - duga. Pembunuh itu bisa saja keluar dari naskah jika terdesak. Tak ada yang bisa menjamin ini adalah naskah utuhnya.
Pikirannya terbang sejauh mungkin. Menelusuri setiap lekuk kejadian yang telah terjadi belakangan ini. Matanya terbuka cepat. Kaget. Ia menemukannya. Hanya secercah. Ia tidak berani untuk berbuat. Tak ada bukti lain. Ia berusaha mencari tambahan. Dukungan. Tiba – tiba saja pikirannya mengingat sesuatu. Seseorang yang mungkin bisa membantu. Ia buru – buru bangkit dari tepian ranjangnya dan bergegas mengambil selulernya di meja.
Festival hari kedua datang. Suasana tampak sedikit berbeda. Aulia telah menemukan dukungan. Ia sedikit senang.
“Hanya orang bodoh yang tidak melihat itu. Sebuah truk yang disewa sebagai alat untuk meyakinkan kita bahwa ia juga seorang korban.” Terdengar percakapan mereka dalam sebuah malam. Namun keduanya, baik Adit ataupun Aulia, telah sepakat untuk tak buka mulut – sekarang. Hanya sebuah analisis sementara yang masih mengabur.
"Danny mana?" Tanya Adit yang baru saja datang. Aulia dan Novri saling pandang begitu mendengarnya. Dia seharusnya sudah berada disana. Sekarang pukul 11.20, sudah dua puluh menit dari janji yang ada. Lagi pula ia merupakan tipe orang yang tidak suka bermain – main dengan keping waktu.
"Reni juga enggak ada." Novri menambahkan. Ia tampak bingung. Kepalanya diangkat dengan pandangan takut ke arah kedua temannya. Padahal ia yakin bersamanya tadi sejak pukul sepuluh tepat menyaksikan sebuah band pembuka. Namun kini ia menghilang entah kemana. Sesuatu yang tidak beres sedang berjalan. Kematian mungkin mengintai mereka. Jika tragedi Mona kemarin dihitung sebagai alur maka Danny selanjutnya.
Tak ada pilihan lain. Mereka berpencar –tak ingin ada yang ‘hilang’ lagi. Sang penulis yang menentukan. Aulia ditugaskan pergi memeriksa gudang kampus, Novri mendapat bagian di toilet sementara Adit sendiri mencari di keramaian. Mereka harus cepat, pembunuh mereka tak mengenal waktu.
Aulia tampak setengah berlari ke gudang. Tak ingin menemukan darah lagi dengan matanya karena keterlambatannnya. Cukup hanya Azhar. Batinnya bergumam.
Pintu gudang tampak terbuka lebar dari kejauhan. Seseorang pasti sedang berada disana. Tanpa pikir panjang, ia pun pergi mendekat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia menemukan mereka disana. Reni dan Danny. Tunggu.. sesuatu yang salah sedang terjadi. Sesuatu telah menimpa Danny. Ia terlihat tergeletak sana, di dinginnya lantai. Matanya tertutup seperti sedang bermimpi. Sementara Reni memandangnya di samping dalam pangkuan.
"Apa yang kamu lakukan?" Reni menatapnya terkejut. Bibirnya tampak bergetar untuk berkata – kata. Aulia bergerak menghampiri mereka. Mencoba merasakan maksud angin yang berkata mengenai situasi disana. Ia meletakkan lututnya di lantai. Ingin memastikan ia hanya pingsan. Kepala Danny terkulai. Penopang lehernya telah patah. Seseorang telah memutar kepalanya dengan sangat keras. Memaksanya mati tanpa memikirkan bunyi tulang yang bergeser.
Kepalanya terdorong ke bawah. Tekanan itu terlalu kuat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menatap lawannya yang bersembunyi di belakang. Reni, dengan sebuah balok menggantung di tangan, tampak menatapnya. Pandangan Aulia menggelap dan perlahan mulai kabur. Gambar wanita itu goyang. Dia dan kekejamannya harus membayarnya.
“Brak.!!” Badannya jatuh menemani Danny.
Kepalanya masih terasa berat ketika terbangun. Ia memegangi tengkorak belakang miliknya yang menjerit berdenyut. Beberapa ungkapan rasa sakit keluar dari sela bibirnya. Keluhan. Perlahan matanya kembali menangkap Danny yang tergeletak kaku di samping. Lehernya yang tidak bertulang lagi membuat dirinya menggeram. David wanita itu telah mematahkan tulang - tulangnya. Ia harus menebus.
Sesuatu disana. Sesuatu yang sengaja diletakkan di dekatnya. Sebuah telepon genggam terlihat tergeletak di bawah tangan orang yang kini telah menjadi mayat. Aulia menghampiri.
“Proyek bangunan di sebelah kampus, sekarang.!!” Apa ini? Pesan dari seorang pembunuh agar dia menyelamatkan teman yang lain? Atau undangan untuk melihat teman yang lain diambil nyawanya? Novri akan menjadi yang selanjutnya. Korban dari ketidakwarasan. Ia akan melubangi kepala anak itu –tepat di tengah kening- dan kemudian membiarkannya megap mencari udara bebas seperti seekor ikan yang ditarik dari air.
Aulia bangkit dari lantai berdebu itu. Meninggalkan jejak duduknya yang digambar alas. Meja berdebu tampak bersih dihapus oleh pegangan Aulia yang memerlukan tumpangan untuk tangannya yang tak kuat menopang sakit. Ia harus menolong Novri.
Proyek itu ditutup beberapa tahun yang lalu -entah dengan alasan apa- sehingga hanya meninggalkan sebuah gedung semen yang belum jadi. Aulia menatap ujung gedung. Mengamati tanda – tanda kegelapan yang menyelimuti. Dinding – dinding kosong gedung seakan memberi kesempatan bagi siapapun yang ingin mengawasi dari balik kegelapan ruang. Nyali Aulia bergetar. Ia tak sanggup melihat wanita itu dengan pisau berlumuran darah di tangan, mengangkat sebuah jantung keluar dari tubuh di tangan yang lain dan menghancurkannya. Perlawanan apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus menjatuhkan darah pula?
Ia masuk lewat pagar sengnya. Sedikit menunduk untuk menghindari penghalang yang sengaja dipasang di atas. Kakinya tampak mulai menginjak tanah keras di sekeliling bangunan. Gersang. Tak ada siapa – siapa disana. Hanya tampak debu yang berterbangan menuju mata. Kakinya terus melangkah ke dalam. Berusaha mencari sendiri letaknya sebelum akhir memberitahu dengan sebuah tanda jeritan.
Dia datang tepat pada waktunya. Novri disana, tengah tergeletak dengan darah merah segar yang mengalir keluar ke tanah. Nafas tak bersamanya lagi. Hanya ada malaikat kematian yang menunggu korban selanjutnya.
Reni ingin membunuh Adit. Ia tampak ingin memutus leher Adit dengan sebuah sekop yang telah diangkat tinggi oleh kedua tangannya. Mata Aulia terbelalak. Terkejut. Tak pernah terpikir olehnya akan menemukan sebuah akhir yang seperti ini. Ia berlari sebisanya. Mencoba mencegah kematian lain yang mungkin terjadi.
“Mati kau..!!” Teriakan itu sempat terdengar. Musuhnya kini jatuh. Terlempar ke samping dengan body-nya. Aulia berhasil. Kini ia hanya tinggal menunggu sebuah penjelasan. Reni tertawa dari duduknya dengan pandangan jatuh kebawah.
“Aku hampir berhasil. Ya. Jika bukan karena kau.!!” Ia menatap tajam ke arah Aulia. “Semua ini akan berakhir.” Suaranya pelan menghadap tanah.
“Kau gila Ren..!!” Aulia berteriak sebisanya, berusaha menyadarkan temannya yang seperti kerasukan setan. Suasana sempat diam sementara Aulia memperbaiki nafasnya. Reni tampak menangis. Air matanya jatuh. Ia menatap kakunya tanah yang mulai lembab oleh bulir matanya dan kemudian beralih menatap Aulia. Tatapan kesesalan.
“Bukan aku yang gila, tapi dia..!!” Reni menunjuk ke arah Aulia. Bukan, ia bukan menunjuk dirinya melainkan sesuatu yang ada dibalik sana. Sesuatu yang sebelumnya tergeletak di tanah dan kemudian kini beralih ke belakangnya. Adit.
Belum sempat ia melihat setan yang sesungguhnya dari semua ini, Adit telah mengunci lehernya dengan lengan dan menggariskan tajamnya pisau ke lehernya yang lunak. Sebuah luka telah melingkar. Merah. Matanya seakan ingin keluar –merasa tak percaya dengan alam. Darah mulai mengucur deras keluar. Merasa malu dengan sikap tuannya. Mengalahkan lembabnya air mata kekesalan. Kini Aulia tergeletak di tanah. Menggelepar.


Adit terlihat sedang menerima telepon. Ia pamit pergi kepada Novri untuk menjauh. Butuh kesunyian. Namun itu hanya sebuah trik. Tak ada yang menelpon ataupun ditelpon, belum saatnya. Begitu merasa jaraknya aman, ia menutup selulernya dan pergi mencari korban selanjutnya dalam naskah, Galih. Ia tak perlu memakan waktu lama untuk mendapatkannya. Rute mereka tak begitu jauh terpisah.
Sasaran terlihat memisahkan diri dari Danny. Menuju suatu tempat yang belum diketahui –tapi yang pasti ia sendiri. Dalam keramaian tak akan ada yang curiga dia ada disana dan sedang mengikuti. Azhar terlihat semakin mengarah ke toilet. Tempat sepi yang cocok untuk kesadisan selanjutnya. Sebuah kemenangan. Galih dengan logikanya akan mati.
Ransel di punggung Adit terasa bergoyang, tak sabar untuk mengeluarkan senjata mematikan. Dengan cepat ia mengejar Azhar yang mulai hilang di balik pintu. Ia mendorongnya masuk dan langsung memegangi keningnya dari belakang. Pisau ia tancapkan cepat di leher korban seperti adegan pembunuhan ketiga. Tajamnya kini tenggelam. Tak ada suara. Hening. Adit belum puas. Terlalu cepat. Ia menarik pisaunya keluar hingga geretan terasa di leher. Darah pun mulai mengucur berjatuhan.
Ia memasukkan kepalanya ke dalam bak. Seakan mengisi tubuhnya yang mulai kekurangan darah dengan air. Kepalanya terus ditekan ke bawah hingga tak ada lagi gelembung yang bebas dari hidungnya. Air itu memerah dengan gelembung yang semakin sedikit muncul dari bawah. Semuanya selesai.
Adit segera melepas jaket hitamnya –terlalu gerah- dan mencuci wajahnya yang mungkin bernoda darah. Ia keluar dengan kemeja dan simpul ketenangan di balik jalannya yang cepat menuju sebuah truk pasir yang terparkir lama di luar. Sebuah skenario yang ia siapkan untuk menjebak seorang Reni.
“Dimana Ren?” Adit mencoba memastikan situasi.
“Ini mau nyebrang ke gerbang.” Adit mengamati jalan dari balik kaca truk. Kaki wanita itu terlihat telah menyentuh aspal kematian. Deru digerakkan mendekati perempuan itu dengan cepat seolah – olah akan menabraknya dan kemudian rem akan ditekan begitu mereka dekat, dekaaat sekali.
Tekanan itu menggoncang tubuhnya. Reni tampak diam di depan. Matanya mulai berputar menerawang dan akhirnya pun ia tak tahan dan tumbang. Truk kembali dideru maju –meninggalkan sang teman di aspal- setelah sebelumnya sempat mundur untuk menghindari ia yang tak sadarkan diri terinjak.
Hari festival kedua. Sepuluh tiga puluh. Adit meminta Danny datang lebih cepat untuk membantunya mengangkat peralatan di gudang. Tanpa kecurigaan Danny datang. Ia memperhatikan korbannya itu dengan tajam dari sudut matanya. Menjadikan mereka seekor elang dan seekor ular.
Danny terlihat sibuk menyusun kotak – kotak untuk dibawa ke depan. “Mati kau.!!” Sudah tak terbendung lagi. Tiba – tiba batin telah berkata seperti itu. Adit melepaskan pegangannya dari alat apapun yang berusaha mencegahnya untuk membunuh dan segera berdiri di belakang korban.
“Aku janji ini tidak akan sakit.” Ia berbisik kecil di telinganya seakan sedang menembakkan kata – kata mesra. Sebelum akhirnya Danny menoleh dan bertanya apa maksud perkataannya itu, dengan cepat ia segera mengambil posisi tangannya. Tangan seorang David yang telah meremukkan tulang leher dalam cerita. Ia putar kepala Danny dengan cepat dan sekuat yang dia bisa.
“Krek..!!” Tulang itu tidak lagi menopang kepala. Kepalanya terkulai. Tak ada nafas lagi. Hanya ada bangkai yang akan dipakai untuk pembunuhan selanjutnya. Danny digeletakkan begitu saja di lantai. Berbaring membelakangi pintu. Adit melirik jam tangannya. Sudah saatnya, pikirnya. Ia segera mengambil telepon genggam miliknya dan pergi menghubungi seseorang.
“Halo..” Suara Reni terdengar berteriak di antara musik yang begitu keras. Tangannya terlihat menutupi telinga yang lain. Mencoba membantunya mendengar kata – kata penjebak. Masih samar. Merasa itu tak cukup membantu, Reni menjauhkan diri dari kerumunan.
“Ren, bisa bantu aku menyusun peralatan di gudang?” Terdengar suara Adit dari seberang. Tak mau ingin membuang waktu, Reni segera melingkarkan sebuah persetujuan. Senyum kembali disimpulkan. Naskah baru miliknya telah berhasil. Keduanya saling bergerak dari posisi awal, hanya saja berlawanan arah. Yang satu menuju gudang dan yang satu menuju ke pertunjukan. Tak bodoh, Adit segera melewati jalan lain agar tidak berpapasan dengan Reni. Begitu tiba di kerumunan ia segera mencari Aulia dan Novri yang kemungkinan sedang menikmati sebuah band jepang.
Tanpa buang waktu, Adit segera ke poin pentingnya. Ia menanyakan keberadaan Danny kepada yang lain. Novri yang semenjak tadi –sepengetahuannya- berada di samping Reni, bertanya dengan kalimat tanya yang sama akan keberadaan wanita itu. Aulia yang sudah dicuci otaknya melalui percakapan tadi malam, mengernyitkan dahinya. Seketika panik menyebar diantara mereka.
Gambaran pembunuhan selanjutnya membuat mereka harus bertindak cepat. Mereka berpencar. Susunan tempatnya sudah diatur. Ia sengaja menempatkan Aulia di gudang untuk memperlama mereka menemukan Novri nantinya.
Adit yang semula bergerak menuju kerumunan kini berbelok ke arah Novri.
“Reni menemukan Danny di bangunan yang belum siap itu.” Adit setengah berteriak ke Novri. Wajahnya sengaja dibuat cemas.
“Pembunuh itu lagi?” Novri balas berteriak. Ia mengangguk cepat. Tanpa buang waktu mereka langsung kesana.
Kaki mereka kini berada di tanah keras di sekitar bangunan. Mereka telah melewati pintu sengnya dan kini sedang berjalan masuk ke dalam. Adit menoleh ke belakang, memperhatikan pintu seng yang bergoyang ditiup angin untuk memperkirakan zona hijaunya. Masih terlalu dekat dengan pintu. Masih jauh dari kata aman jika dia melawan.
Handphone Novri bergetar di sakunya. Tanpa menghentikan langkah ia merogoh celana. Reni. Ia menampakkan layarnya ke Adit.
“Halo Ren.”
“Kamu dimana Nov?” Suara Reni terdengar panik.
“Udah di gedung proyek nih. Kamu…” Adit segera mengambil telpon genggam itu. Kata – kata Reni selanjutnya mungkin akan membuat Novri menyadari sesuatu. Terlalu berbahaya untuk dibiarkan.
“Ada apa Ren?” Reni tampak terkejut dengan suara itu.
“Adit?” Suara Reni tampak bergetar. Pikirannya melayang akan permintaannya untuk menuju gudang. Penemuan mayat Danny dan.. sekarang yang tertinggal hanya dia, Novri dan Adit. Ia terkejut. Menyadari sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan sejak dulu. Adit, si sang penulis adalah David dalam cerita yang tak akan mati.
“Adit, kamu… .”
 “Iya. Ini kami sudah sampai. Sudah ya.” Percakapan itu terputus. Suara Reni yang sedang berteriak – teriak dengan kata halo di seberang sana tak akan pernah terdengar.
“Mereka di belakang.” Adit terlihat begitu meyakinkan. Ia mengembalikan seluler milik temannya itu dan mulai berjalan kembali. Perlahan Adit mulai mundur ke belakang, membiarkan Novri berjalan di depan.
Merasa fokusnya tak terpancar terhadapnya, ia mengeluarkan pisau dari tas ranselnya dan menusuk punggung Novri tanpa ragu. Novri berhenti. Ia terkejut. Matanya melotot dan perlahan bergerak ke bawah –menatap sumber perih. Ia lihat perutnya sudah berdarah. Ditembus sebilah pisau yang hanya tampak ujung tajamnya saja di depan.
Adit menarik pisaunya kembali. Novri terjatuh. Namun ia belum mati. Ia merangkak di atas pasir. Ingin menjauh dari siapa saja yang telah membuatnya seperti itu. Nafas sekaratnya tercium hangat. Menarik perhatian sekawanan maut.
Adit tersenyum kecil. Senang melihat temannya itu tak cepat mati. Ia bisa melakukan serangan lain untuk penyiksaan lanjutan. Ia melangkah mendekat. Pisau tadi diangkatnya tinggi dengan kedua tangan. Ia hujamkan itu tepat di kepala. Waktu terasa diam. Terpaku akan kejadian itu. Kepala Novri terdorong kuat menyentuh tanah. Tak bergerak lagi. Mati kaku ditusuk pisau yang menembus matanya hingga keluar dari poros. Sebuah senyuman kepuasan.
Seseorang disana. Memperhatikan mereka dan alur pembunuhan itu. Adit segera menoleh begitu merasakan bayangan pengawas itu disana. Dia Reni, bersama ketakukannya di balik sebuah tembok semen.
Reni melepas pegangannya dari tembok, perlahan mengambil langkah mundur dan kemudian pergi berlari. Merasa tak aman Adit segera mencabut pisau miliknya dan melepas ranselnya disana. Ia mulai mengejar. Tak seperti adegan No Mercy yang ditulisnya, dimana sang pembunuh mengejar dengan cara berjalan, ia kini berlari. Debu mengambang di sekitar. Menyaksikan bagaimana takdir akan berjalan.
Ia hampir berhasil, mereka semakin dekat. Hanya tinggal menunggu beberapa langkah berikutnya. Adit segera melempar badannya ke depan ketika merasa dapat. Menarik jatuh tubuh keduanya ke bawah dan terguling di tanah.
Adit mengangkat pisau di tangannya. Berusaha menusuk ia yang berada di bawah. Dengan kanannya Reni mencoba bertahan. Mengulur waktu bagi mereka yang akan terluka karena cepat atau lambat seseorang akan berdarah.
Reni mengulurkan tangan kirinya ke samping. Menggapai apa saja yang bisa dipakai untuk melawan. Ia mendapatkannya. Sebuah benda kecil yang lumayan berkarat. Ia segera menghantam kepala Adit dengan tajamnya. Ia berdarah. Ia kesakitan. Paku itu memberinya peluang. Reni segera mendorongnya jatuh, mencoba bangkit dan kembali berlari.
Adit mulai mengejar kembali. Ia tahu, ia tak akan lolos. Reni memutuskan untuk berlari menghampiri sekop yang terlihat bersandar di dinding bangunan dari kejauhan. Ia mengambil dengan kanannya begitu tiba disana dan kemudian dengan bantuan tangan sebelah lagi ia hantam apapun yang sedang berada di belakangnya sekarang.
Tepat sasaran.!! Adit terpental. Ia tergeletak disana dengan rasa sakit yang dibendung dengan kedua tangannya yang menutupi wajah dari sengatan mentari. Reni dengan nafas yang tak beraturan menatapnya. Ia segera mendekat dengan sekopnya yang digeser hingga membentuk sebuah alur di tanah.
"Ceritamu akan berakhir disini." Reni mengangkat sekopnya tinggi. Hendak memutuskan pangkal leher Adit.
“Mati kau.!!” Suaranya meledak. Amarah teman – temannya bersamanya sekarang. Semua akan berakhir ketika tajam ini memisahkan kepalanya dari tubuh.
Reni tercampak ke samping. Seseorang dengan kuat mendorong dirinya dan sesuatu yang seharusnya menjadi sebuah akhir. Aulia datang dengan segala kesalahpahaman. Ia memandangi Reni yang terduduk disana. Memandang heran temannya yang tega melakukan ini semua.
Adit bangkit perlahan dan menggapai kembali pisaunya yang terlepas tak jauh ketika terpental.
"Kamu gila Ren.!!" Aulia berteriak sebisanya.
"Bukan aku yang gila, tapi dia..!!" Tangannya tampak menunjuk ke arahnya. Tapi itu bukan Aulia, melainkan sesuatu yang bersembunyi di balik belakangnya. Sesuatu yang seharusnya disalahkan atas kejadian semua ini. Sesuatu yang menjadi setan dari segala setan. Adit.
Tanpa memberi kesempatan kepada Aulia untuk menatap wajah bengisnya terakhir kali, Adit menarik kepala Aulia ke belakang. Menyandarkannya ke dada dan kemudian membuat garis di lehernya dengan pisau. Selesai. Sebuah luka yang akan menggiringnya pada kematian telah digambarkan.
Reni memerah. Basah akan darah. Ia menangis sejadi - jadinya. Tubuh temannya itu menggelepar di hadapannya. Mata maafnya terpancar dari air mata yang sempat keluar.
"Menurutmu apakah ceritaku akan berakhir?" Adit terlihat memendekkan tubuhnya ke arah Reni yang jatuh. Reni segera mengalihkan pandangannya ke Adit. Menatapnya dengan kebencian yang sudah melebihi batas. Ia menendangnya mendadak dan kemudian pergi berlari meninggallkan sang pembunuh yang terduduk dalam lelahnya.
Adit berdiri namun tidak mengejar. Hanya memandanginya. Ini bukan berarti ia mengalah akan lelahnya, hanya saja ia sudah tahu. Sesuatu yang akan menjadi akhir.
Reni berhasil. Ia sudah berada di ambang pintu seng. Ia kini hanya perlu berlari ke festival itu. Berteriak mengatakan adanya pembunuhan yang terjadi disini. Dan semua akan berakhir. Semuanya. Mimpi buruk ini.
Tak mau menunggu Adit yang mungkin saja berubah pikiran, ia pun menyebrang.
"Brak.." Ia tergeletak di jalan. Seseorang yang tak dikenal telah menabraknya. Darah di kepala mengalir terus ke jalan. Mencoba lari dari mereka yang akan mencari sang saksi. Matanya sempat berkedip menatap langit -melihat biru putih yang begitu cerah- sebelum akhirnya ia lelah untuk membuka mereka.
Adit mendengar rem yang diinjak keras itu. Ia tahu, itu Reni. Sudah selesai. Ia membalikkan badannya dan pergi menghampiri tasnya yang sebelumnya ia buang tak jauh di dekat Novri.
"Taukah kalian bahwa No Mercy sebenarnya ditutup dengan kematian David?" Dia berbisik sendiri. "Aku rasa tidak. Aku lupa meletakkan tulisan kecil di note-ku. Dia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa adiknya, Mona, mati." Dia melanjutkan. "Dia segera menghampiri tabung gas di dapur dengan sebuah korek di tangannya." Ia segera mengambil sebuah pistol –di dalam ransel- yang belum pernah ia pakai. "Maka pecahlah kepalanya dan yang lainnya." Ia mengarahkan pistol itu ke kepala dan menarik pelatuknya. Ia tidak memejam. Bahkan ia sempat menyimpulkan senyum ketika suara tembakan itu menggema.
“Doorr.!!” Burung - burung lari dari pohonnya. Daun – daun menyambar kesana kemari. Terusik akan mereka yang mengganggu ketenangan siang. Kini semua telah berakhir. Kegilaan ini.
...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages