[Short Story] Malam Jum'at Kliwon

Mitos Malam Yang Mencekam

Aditya Prawira, "Malam jumat kliwon adalah saat dimana kita
seharusnya enggak beranjak dari rumah."

Ini bukan kisah baru, hanya mitos kuno yang tak asing lagi di telinga kita. Aku hanya merangkai cerita, menggambarkan kegelapan malam yang mungkin telah ada di benak kita dan menjadi hal 'tersendiri'.

Malam itu, untuk kesekian kalinya aku pulang malam, 21.13. Habis mengerjakan tugas di rumah teman yang lumayan jauh dari tempatku. Seperti biasa, angkutan umum hanya mengantar sampai di pertigaan rumahku. Setelah itu aku harus berjalan sekitar 13 rumah lagi untuk sampai di rumah. Malam itu terlihat berbeda, baik secara fisik maupun suasananya. Malam itu lebih 'gelap' dari biasanya. Lampu - lampu jalan bercahaya redup menyembunyikan segalanya di balik sana. Tak satu pun orang yang terlihat di pandanganku menyebrangi gelapnya malam. Namun, aku tak ada waktu untuk yang aneh - aneh,  just possitive thinking, melihat kondisi mata yang sudah memberat.

Langkahku menggema, menakuti jantungku yang sendiri. Aku percepat langkahku. "Tunggu dulu, apa itu?" Aku berpikir dalam benakku. Sebuah kain putih bersembunyi di antara batang pisang yang besar - besar. Itu bukan sekedar kain putih, kain itu terlihat membungkus sesuatu di dalamnya yang kemudian diikat di bagian atas. Itu pocong. Aku terkejut. Ia terus menatap ke tanah, sehingga wajah pucat dan bibirnya yang kaku tidak masuk ke dalam penglihatanku. Aku berusaha tenang, berjalan dan menatap jalan selayaknya seorang siswa yang habis menuntut ilmu. Tiba - tiba bulu kudukku berdiri, hawa panas mendekati tubuhku yang lelah. Kami sejajar. Aku merasa ia sedang menatap diriku dengan kedua matanya yang kosong di sebelah sana. Lagi - lagi aku mencoba untuk tenang, namun panas itu semakin menjadi - jadi. Terdengar nafas lirih dari belakangku, aku berhenti. Ia semakin jelas. Aku penasaran. Perlahan, aku memutar badanku. Di setiap gerakan tubuhku aku berharap ini hanya ilusi lelahku. Tapi hari itu lain, mitos malam jum'at kliwon memutuskan untuk menghampiriku dan bermain - main sejenak. Pocong itu kini berdiri di depanku. Kain kafan yang lusuh, wajahnya yang sudah hancur separuh, tulang tengkorak yang hampir tak berdaging lagi, semua terlihat jelas. Aku terpaku, tercengang, mulutku tak bisa merapat. Yang aku lakukan saat itu hanyalah berpikir. Mengkhayalkan apa saja yang mungkin bisa terjadi saat itu. Aku kaget, menyadari ia melompat mendekat. Semua pikiranku putus. Tubuhku gemetar. Ia melompat, nafasku tak bisa diatur lagi. Kini ia tepat di depanku laksana seorang teman dekat. Aku kira semua berakhir disitu dengan ending dimana si pemain utama pingsan seperti di kebanyakan film horor. Namun ia belum puas dan aku pun masih terlalu kuat untuk 'jatuh'. Ia mengarahkan ikatan kepalanya kepadaku. Aku tak mangerti, aku terlalu takut untuk berpikir. Kepalaku terus menjauh sebisanya dari ikatan itu yang semakin mendekati mulut.

"Apa yang akan ia lakukan?" Pertanyaan itu membayang di benakku. Sekitar 10cm lagi ia pasti akan mendapati diriku. Ini tidak boleh terjadi. Aku berusaha membangunkan syaraf kakiku yang tadinya mati. Aku berbalik. Namun aku tak bisa berlari, kakiku terlalu berat untuk diangkat. Aku hanya menyeret - nyeret kakiku pergi. Kini pandanganku goyang karena ketidakseimbangan kakiku. Sesekali aku menoreh ke belakang, namun ia sudah pergi. Entah kemana dia, tak ada yang tahu. Aku pun terus melangkah ke depan. Namun sebuah pohon asam yang besar telah menantiku di depan sana. Entah apa yang akan terjadi lagi setelah ini. Dari kejauhan aku melihatnya. Seorang wanita berambut panjang yang berdiri agak menunduk di depan pohon itu. Aku yakin dia bukan seperti diriku maupun warga lainnya. Dia setan. Aku berpaling ke jalan lagi, mencoba untuk tidak menghiraukannya. "Ini dia." Aku meyakinkan diriku sendiri. Kini pohon itu berada beberapa langkah di belakangku. Aku melambat, kuperhatikan pohon asam tadi. Semua berakhir, nafasku mulai diatur oleh lega.

"Oek... oek..." Ketika aku hendak mengambil langkah pergi, terdengar tangis bayi yang mencengkeram jantung. Untuk kesekian kalinya aku menatap ke arah pohon itu. Aku menatapnya dengan ketakutan yang bercampur rasa penasaran. Aku yakin dengan apa yang aku dengar. Ini berasal dari pohon asam itu. Aku bimbang, hendak menyelidiki atau tidak. Namun, di tengah kebimbanganku itu, ia keluar. Dari balik pohon itu, ia dan anaknya muncul. Wanita itu, menunduk seperti yang tadi sambil mengayun - ayunkan anaknya di atas tangannya. Sejenak ia berhenti, menatapku dengan matanya yang besar. "Mau kemana mas?" suara lirih itu keluar dari bibirnya yang pecah. Aku terkejut, langsung kubalikkan badanku. Namun kakiku tak se-spontan itu. Aku terjatuh ke tanah. Ia menertawakanku. Suaranya begitu lirih, membuatku lemas hampir tak bergerak. Aku bangkit dengan sisa keberanianku, mencoba meraih rumahku yang tak jauh lagi dan segera keluar dari malam itu.

Dengan nafas yang terengah - engah dan kaki yang bergetar, akhirnya aku tiba. Ku ketuk pintu rumahku, berharap Ibu cepat datang membuka. Sehelai rambutku jatuh menghalangi mata dan kini menyelinap ke sekitar mulut. "Bukan, ini bukan rambutku. Sejak kapan seorang siswa laki - laki diperbolehkan memiliki rambut sepanjang ini." Aku menariknya pergi. Kini rambut hitam itu kusut di tanganku. Segera ku buang benda itu dan lanjut mengetuk. "Krek." Ibuku keluar, ia terlihat bingung. Ia menoreh ke kiri dan ke kanan kemudian buru - buru masuk dan mengunci pintu kembali. Aku pun jadi ikut heran melihat tingkah Ibu tadi. Ketika aku hendak hendak mengetuk pintu untuk kesekian kalinya, rambut kusut itu datang lagi. Kali ini bukan sekedar sehelai melainkan sekelebat rambut hitam yang panjang. Aku berusaha menyingkirkannya dari kepalaku dengan panik. Semakin ingin kubuang, semakin banyak mereka. Di kepalaku, badanku, jari - jariku. Aku tak tahu harus berbuat apa, ketakutanku sudah melebihi batas. Jangan - jangan aku telah gila. Suara lirih itu datang lagi. Nafas yang mengembus bulu kudukku telah kembali. Dengan takut, aku membalikkan badanku. Aku terkejut, ia mengikuti, perempuan itu kini di depanku. Menyembunyikan ragaku di dalam rambutnya yang lebat. Aku menjerit memecah heningnya malam, namun hanya aku dan 'mereka' yang mendengarnya.

.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages