[Short Story] No Mercy

Don't let them hit yours

Sabtu, 3 April. Matahari mengkilat. Siap membakar siapa saja yang nekat keluar. Semua enggan, bahkan angin ikut turut. Siang itu, seperti biasa Kevin memimpin perjalanan pulang. Dengan mobil hitamnya mereka berlima berangkat ke rumah Raka. Tempat yang cocok sehabis mati - matian untuk mencoba mengerti mata kuliah fisika dasar. Terkadang mereka menginap dan pulang di Minggu-nya. Apalagi akhir - akhir ini, kedua orang tuanya sibuk pergi ke rumah sakit untuk menjenguk sang nenek.

Sesekali Kevin menatap kaca yang sengaja digantung di tengah. Tampak Ray sedang tidur bersandarkan Doni. Sementara itu, Galih -dengan sepasang headset di telinganya- sibuk mengerak - gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah selayaknya seorang drummer. Kevin tersenyum dan kemudian menggeleng. Merasa lucu dengan kelakuan temannya itu.
"Awas Vin..!!" Raka, orang yang duduk di sampingnya, berteriak. Kevin kembali ke jalan. Sesuatu disana. Seekor kucing hitam. Dengan cepat ia memutar stir berkali - kali agar tidak terjadi benturan. Mereka berhenti. Di persimpangan.
"Hampir saja." benaknya. Ia menghela nafas. Semua terkejut. Ray dan Doni yang tadinya mengapung di dalam mimpi kini telah sadar. Galih segera melepaskan headsetnya, bersiap untuk mendengarkan penjelasan temannya.
"Sorry guys.." Kevin cengir kuda. Semuanya saling pandang, kemudian menatap Kevin sekali. Semua kembali ke posisi. Galih memasang lagi headset-nya. Kevin aman, mereka sedang malas ribut. Ia hendak menggerakkan sang mobil kembali, namun...

"Brak..!!" Mobil itu dihantam dari samping. Mereka terbalik berkali - kali dan terseret beberapa meter. Mobil itu rusak dan berhenti dalam keadaan terbalik. Ban mobil yang kini berada di atas terlihat semakin berputar pelan. Raka terlihat masih sadar. Wajahnya berdarah. Ia melihat seseorang berjalan mendekat ke kaca miliknya. Raka berusaha memukul - mukul jendela, pertanda ia masih hidup di dalam. Namun kepalanya terlalu sakit untuk membuatnya tetap terjaga. Mereka pingsan.

Ray terbangun. Fokus pandangnya kabur. Ia melihat sekeliling. Seseorang bersamanya disana. Ia mencoba memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Namun badannya sudah terikat di tempat tidur besi. Ia menggoyang - goyang badannya, mencoba lepas. David -orang yang bersamanya itu- datang mendekat.
"Siapa kamu?" Ray terlihat takut. David diam. "Dimana ini?" Ia pegangi kepala Ray agar tetap lurus. David memperhatikan matanya. Membalikkan wajah Ray ke kanan dan ke kiri. Ia mendapatkan sesuatu. Ia segera menghampiri meja besi yang ada di ruangan itu. Terlihat berbagai macam jenis pisau tersusun disana. Mulai dari yang kecil sampai chopper. Ia memilih yang paling kanan. Pisau cincang itu. Lagi ia mendekati Ray. Ia terlihat membersihkan pisau itu dengan tangannya. Ray melotot. Semakin menebak - nebak apa yang akan dia lakukan. David menatap Ray. Tanpa pikir panjang ia angkat pisau itu setinggi kepala dan menghujamkannya ke kapala Ray. Tidak ada jeritan. Hening. Dia mati. David tidak mencabutnya. Ia membiarkan pisau itu menempel disana. Ia buka sarung tangan yang sejak tadi ia pakai dan bergegas berdiri di belakang kepalanya. Dagu Ray dipegang agar tetap memandang ke depan sementar tangan kanan David sibuk megeluarkan matanya. Sebelah sudah didapat. David memandanginya dan kemudian mengunyahnya. Mata itu terasa pecah di mulutnya, mengeluarkan lendir - lendir di sekitarnya. Merasa puas, ia melepaskannya. Ia mencabut pisaunya. Kepala itu terlihat berlubang dan berdarah. David membuka ikatan yang menempel di tempat tidur itu. Kemudian ia tarik sebelah tangan Ray hingga badannya jatuh di lantai dan menyeretnya ke dapur. Ray tidak hanya sendiri. Ternyata disana banyak badan kaku seperti dirinya yang digantung sebelumnya. Tapi itu bukan temannya, melainkan seseorang yang lain yang telah menjadi korban. David menatap pintu yang tak jauh dari sana yang tertutup sejak tadi. "Mungkin Mona sedang sibuk dengan pasiennya." pikirnya.

David pergi ke atas mencari korban selanjutnya. Tangga kayu itu terdengar menjerit. Ia buka pintu pertama yang dia jumpa. Mereka masih disana. Kevin, Raka, dan Galih terikat di dalamnya. Mulut mereka di plester hitam. Kevin selanjutnya. David telah memilih. Ia menariknya keluar. Kevin berontak namun itu sia - sia. Raka dan Galih ingin menolong, tapi mereka tidak bisa berbuat apa - apa kecuali mengeluarkan suara yang tak jelas dari mulut mereka. Pintu itu ditutup kembali.

Sementara itu di ruangan lain, di ruangan yang semenjak tadi ditutup. Doni mulai sadar. Pandangannya goyang. Ia mencoba bangkit, namun ia terkunci layaknya Ray. Seorang wanita sadar ia telah bangun dan segera menghampirinya. Mengelus pelan luka wajahnya yang sudah diperban. Ia berhenti. Ia pergi ke meja besi -mirip kepunyaan David, hanya saja di meja Mona terdapat tumpukan perban- yang tak jauh disana. Ia memilih pisau. Ia memandang Doni seutuhnya. Ia memegangi telapak kiri Doni, membukanya hingga ia melebar. Ia menusukkan pisau itu tepat di tengah. Darah segar jatuh basah dari telapak itu. Ia pergi ke meja besi itu lagi. Mencari pisau lain, pisau yang lebih kecil. Mona menghampiri Doni kembali. Ia gerakkan kelingkingnya ke atas dan kemudian memotongnya. Jeritan Doni menggema ke seluruh bagian rumah. Mona menatap jari kecil itu kemudian memakannya seperti lollipop. Kemudian, di suatu titik, ia gigit jari itu hingga patah dua. Ia kunyah dan telan. Doni yang kesakitan hanya bisa menatap kegilaan wanita itu. Patahan yang satunya ia letak di meja. Ia mengganti peralatannya. Kali ini mengambil perban dari tumpukan. Lebih dulu dia cabut pisau yang menahan tangan Doni dan kemudian dia membalutkan perban itu. Doni tak bisa berkata. Terlalu heran melihat apa yang dikerjakannya. Mona membuka pintu sambil memegang sebilah pisau dan pergi tanpa berkata apa - apa. Mona merasa cukup denagnnya. Kini ia ingin ke atas, menjalankan rencana busuknya. Menjebak salah satu dari mereka.

Lagi - lagi langkah di tangga menggema dan pintu itu dibuka. "Krek.." Mereka terlihat ketakutan. Ia menghampiri Galih yang terlihat lebih kecil, melepaskan plester dan ikatannya.
"Lebih baik kamu cepat lari, sebelum aku berubah pikiran." Mona berbalik, bergerak menuju ambang pintu. Galih bingung. Ia mencoba berpikir. Jika ini memang sebuah pembebasan, kenapa hanya dia? Bagaimana dengan Raka? Ia menatap Raka dan kemudian menatap Mona kembali. Ia mendapati sebuah pinggiran tangga di luar sana. Ia punya kesempatan. Tanpa pikir panjang, sebelum akhirnya Mona berada di depan pintu -yang sebenarnya menunggu dia keluar dan hendak menghunuskan pisau itu ke punggung dan mendorongnya jatuh- Galih menyusul Mona. Ia dorong wanita itu sekuat tenaganya dan...

"Brak.." pinggiran tangga itu patah. Mona jatuh. Mereka tak punya banyak waktu. Galih kembali ke dalam dan menolong Raka. Suara mereka terdegar panik. Mereka keluar menuruni tangga. Mereka harus cepat. Sebuah pintu yang tampaknya menuju ke luar berada di depan tangga. Raka telah membuka pintu. Mereka berhasil. Tampak udara malam disana. Namun ketika ia berbalik hendak melihat kondisi belakangnya, Galih sudah ditangkap David. Ia tampak mengkalungkan lengannya di leher Galih. Ia mengancam Raka agar tidak keluar dengan meletakkan sebuah pisau di dekat lehernya. Raka tak peduli, ia pergi sendiri. David agak terkejut terhadap respon itu. Dengan cepat ia hunuskan pisau itu ke lehar Galih. Itu begitu dalam, hingga hanya batangnya yang terlihat sekarang. Galih mulai berdarah. Melihat Raka yang semakin menjauh, ia melepaskannya. Membiarkan dia kehilangan banyak darah dan mati. Namun ketika ia hendak keluar, Mona mendahului. Ia terlihat kesal. Ingin cepat menghabisi mereka. Mona mengejar Raka yang tampaknya berlari menuju truk yang dipakai untuk menabrak mereka. Berharap mereka terlalu bodoh dan meninggalkan kuncinya disana. Raka sudah di depan pintu. Kini dia tinggal membukanya. Mona yang memegang pisau yang sebelumnya terlepas darinya saat jatuh, kini melemparkannya. Itu memaku. Tangan Raka tertancap di pintu. Jeritannya terdegar meluas. Tapi, ia harus cepat. Sebelum wanita gila itu datang. Raka mencabutnya dan membiarkan tangannya berdarah. Ia buka truk itu dengan kirinya. Terlihat kuncinya masih menggantung disana.

"Keberuntungan.." benaknya berkata. Tanpa pikir panjang ia naik. Mencoba menghidupkan truk besar itu. Itu bekerja. Deru mesin terdengar keluar. Raka menatap Mona, terlalu kecil ia disana. David yang menonton dari ambang pintu menyadari sesuatu dan maju beberapa langkah ke depan.
"Mona lari..!!" Ia akhirnya bersuara. Mona menatapnya agak bingung. Kemudian baru menyadari setelah truk itu bergerak. Ia berlari menuju rumah. Tapi truk itu terlalu cepat. Emosi puncak telah mengendarainya.
"Mati kau..!!" Raka menyemangati dirinya sendiri. Klakson ia tekan berkali - kali. Ia kehilangan kontrol. Ia merasakannya. Sebuah guncangan kecil. Mona telah tertabrak. Namun, emosinya terlalu bodoh untuk berpikir bahwa ia dalam masalah sekarang. Truk itu menabrak dinding rumah dan menghancurkan sebagiannya. Kening Raka berdarah, terbentur oleh stir. Ia mencoba keluar. Tapi David sudah menunggunya di depan pintu. Ia marah, adiknya, Mona, telah mati dibunuh. Ia segera menarik Raka keluar. Meletakkan sebelah tangannya di leher dan sebelah lagi di kepala Raka. Dan ia putar mereka bersamaan. Itu bekerja. Leher Raka terdengar patah. Ia membiarkannya jatuh disana. Ingin cepat membunuh semuanya agar selesai. Ia kembali ke ruangannya, namun Kevin telah hilang.

...

Doni sendiri. Ia mencoba mengeluarkan tangan kanannya melalui celah yang mungkin. Dengan usaha yang maksimal ia berhasil. Tangannya telah lepas. Ia membuka ikatan yang menempel pada tempat tidur besi itu dengan kanannya. Doni segera turun dari sana. Memeriksa pintu. Ia dikunci. Doni berputar dan menemukan jendela yang ditutupi dengan kayu yang tak beraturan. Ia bergegas. Hanya itu kesempatan dia. Satu per satu kayu yang terlihat kokoh itu menghilang dari jendela. Ia segera melompat keluar. Itu malam. Ia takut. Lygophobia. Ia tidak berani menyebrangi kegelapan. Doni memutuskan untuk menelusuri keliling rumah. Terlihat jendela tanpa penghalang kayu tak jauh disana. Ia mendekat pelan. Ia mengintip dari pinggir jendela. David disana dengan Kevin. Ia terlihat memegang chopper -pisau cincang itu- dan mengarahkannya ke mulut Kevin. Doni kembali bersembunyi di balik dinding. Ia mencoba menebak apa yang akan dilakukannya. Membelah mulut Kevin menjadi dua? Seseorang harus menyelamatkannya.

"Brak.." Tiba - tiba saja terdengar sesuatu telah jatuh. Doni menerawang. Apakah sudah... "Tidak.." dia menyangkal sendiri. Suara itu terlalu kuat untuk bunyi kepala yang jatuh ke lantai. Sesaat, terdengar suara Raka dan Galih yang panik. Ia mengintip lagi. David meninggalkan Kevin dengan membawa sebilah pisau di kanannya. Tanpa pikir panjang Doni segera masuk. Meletakkan telunjuknya di mulut, pertanda mereka tidak boleh bersuara. Ia melepaskan ikatan yang lumayan rumit itu. Mereka melewati jendela tak berpenghalang itu. Mereka harus cepat. Doni menatap gelapnya malam. Betapa mengerihkannya mereka.
"Kita bisa memutar." Kevin tahu ia lygophobia. "Kita bisa lari dari sisi lain." Doni terlihat berpikir sejenak dan kemudian menggeleng. "Tidak ada waktu." Ia menatap Kevin. "Kita harus pergi." Mereka bergerak lambat. Bagaimana pun ia tak bisa langsung begitu saja melupakan fobianya. Tak lama, terdengar klakson keras yang ditekan berulang - ulang. Benturan truk itu terdengar keras. Terlihat jelas truk itu mati disana. Mereka tak mau tahu apa yang terjadi. Terlalu mengerihkan jika melihat salah satu teman mereka mati terlindas truk. Mereka bergerak.
"AAaaarrgh.." Jerit Kevin pecah. Kakinya ditangkap oleh jepitan besar yang sengaja ditabur di rumput. Doni berusaha membuka dengan kedua tangannya. Tapi ia tak bisa. Kevin sadar akan situasi ini. Ia meminta Doni pergi. Awalnya ia menolak Tapi salah satu dari mereka harus selamat dan bercerita.

...

Mata David berkeliling. Tiba - tiba "AAaaarrgh.." Jerit itu terdengar keras. Itu Kevin. Matanya tertuju pada jendela tak berpenghalang itu. Ia berlari ke dapur. Mengambil sebuah crossbow dan parang disana. Kemudian dia keluar melewati jendela itu. Mereka terlihat disana. Tak bisa pergi kemana - mana. Seseorang yang tadinya jongkok -Doni- kini telah berdiri kembali. Ia pergi. Lagi - lagi David menyadarinya. Ia segera mengangkat crossbow-nya, membidik dan tembak. Doni mati seketika itu juga. Anak panah terlihat menembus kepalanya. Melihat itu, Kevin bertambah panik. Ia mencoba sendiri melepaskan jebakan itu. David semakin dekat. Mereka bersaing waktu. David  tepat di belakang namun Kevin masih disana. Ia memandang ke belakang dan... semua berakhir. Kepala Kevin telah lepas dari pangkalnya. Tak ada yang selamat. Tak ada yang akan bercerita betapa mengerihkannya malam itu kecuali jika David menginginkannya.

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages