[Short Story] The Mind

SEMUA BISA SALAH, TERMASUK PIKIRAN
Siang itu begitu menyengat, mentari seakan ikut geram dengan apa yang ia lihat sekarang ini. Angin pun enggan berhembus, ikut jijik dengan dirinya. Tak ada yang menyangka kalau Abdu kini berada disini, menuju lapangan gersang dengan beberapa papan tegak yang siap menahan kaku sang pembunuh. Di sini akhir dari pembunuh merasakan detak jantung mereka. Dan kini Abdu akan bernasib sama, mati dengan sebuah peluru yang menembus kening mereka. Banyak yang bertanya - tanya, apakah ia pantas untuk mendapatkan ini semua, mati di depan puluhan pasang bola mata. Kini ia sedang dikawal oleh beberapa orang yang tegap - tegap menuju papan kematian itu. Semua orang berdesak - desak, meyakinkan hati mereka bahwa ini nyata.

 "Tampangnya aja yang alim, tak taunya pembunuh." Ocehan - ocehan seperti itulah yang ia terima. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya ke tanah, kali ini ia tak bisa berbuat apa - apa. Beberapa orang memukuli badannya yang kurus dan kepalanya dari samping, belakang maupun dari celah - celah yang mungkin. Bahkan keempat petugas yang mengawalnya pun ikut turut. Mereka sengaja menjatuhkannya ke tanah seakan memberikan kesempatan kepada yang 'berminat'. Tinju dan tendangan pun tak dapat dielakkan lagi. Ia sadar badannya memar, ia sadar wajahnya berdarah, ia sadar bahwa kini kaos putih yang ia kenakan telah bertanah. Ia berusaha menahan sakit yang ia terima dan berusaha bangun agar cepat sampai ke tempat yang nantinya mengakhiri rasa sakitnya itu, kalau memang ini adalah nyata. Bahkan dia sendiri masih tak yakin  bahwa kini dirinya disana. Namun ketika ia hendak mengangkat kepalanya, wajahnya menerima tendangan yang teramat keras. Wajahnya terpaling dan untuk kedua kalinya ia terjatuh ke tanah. Ia tak kuat lagi, ia pingsan.

Setelah pingsan yang cukup lama, akhirnya ia sadar. Dengan kepala yang terasa berat dan sedikit pusing ia terbangun. Pandangannya goyang. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa dihantam oleh mereka. Perlahan fokusnya telah kembali. Abdu bangun dari dinginnya lantai, ia terduduk. Awalnya ia mendapati sebuah meja kayu dihapannya. Ia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, dimana dia sebenarnya. Ia mengajak matanya berkeliling, hanya memaling - malingkan wajahnya tanpa mengharuskannya untuk berdiri. Sebuah kompor dan beberapa alat - alat masak tersusun rapi di tempatnya. "Ini bukan penjara." Benaknya berbicara. Ternyata semua itu hanya mimpi, pukulan dan tendangan itu, semua hanya mimpi. Ia tertawa sendiri seperti kehilangan akal pikirannya. Namun tawanya lenyap ketika ia menyadari sesuatu. Itu bukan rumahnya, itu bukan dapur miliknya. Lalu dimana ia sekarang, rasa bingung pun masuk menembus kepalanya. Matanya terkejut menemukan darah kental yang mengalir di lantai. Spontan, ia langsung menatapi jejak darah itu. Ada seseorang disana, di sisi lain meja, ia tergeletak. Abdu seakan jatuh ke dasar jurang melihat Doni, tetangganya mati mengenaskan. Ia kemudian sadar bahwa sesuatu telah menemaninya di samping sejak tadi, pisau. Sebuah pisau yang telah terbalut lapisan darah. Ia lah yang telah membunuh Doni, dengan tusukan di bagian punggung. Ia tak percaya ia akan benar - benar melakukannya. Hanya gara - gara sebuah kecemburuan yang tidak jelas. Padahal selama ini ia tahu bahwa Doni sudah beristri bahkan sudah dikaruniai seorang anak. Lagi pula Doni adalah temannya sejak kecil. Tak mungkin ia bermain gila dengan istrinya.

Kesadaran itu terlambat, semua sudah terjadi, jika setengah - setengah justru dia sendiri yang akan kena, pikirnya. Abdu beranjak pergi dari dapur yang kini penuh darah itu, berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun Tuhan telah marah kepadanya, Ia mengutus Sumarni, istri Doni untuk datang dan mengungkap semuanya. Sumarni kaget melihat suaminya yang tergeletak kaku dengan mata kosong di hadapannya. Kini ia memandangi sang pembunuh.

"Ini tidak seperti yang engkau lihat." Abdu mencoba meyakinkan. Namun semua itu sia - sia, Sumarni tidak bodoh, ia tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Sumarni pun pergi berjalan keluar meminta bantuan untuk menghukum Abdu. Abdu berpikir cepat, matanya tertuju pada gelas kaca yang tersusun di atas meja. Dengan cepat ia ambil, dan ia hantam kepala Sumarni. Namun, itu bukan akhir dari segalanya, justru itu menjadi awal penangkapannya. Ia tak sadar, bahwa ia sudah di luar. Banyak warga yang menyaksikan itu, ia tidak bisa mengelak lagi. Ia pergi kembali ke dalam rumah, mengunci pintu dan segera berpikir cepat harus berbuat apa. Ia menjauh dari pintu, terdengar suara  para warga yang meneriakkan namanya dan menggedor - gedor pintu. Ia bingung. Ia mencari - cari tempat di dapur. Ia mendapatkan sesuatu. Sebuah ide yang cukup brilliant untuknya. Ia segera membuka jendela dapur, pikirannya ingin mengelabui warga yang nantinya mengira bahwa ia telah pergi melalui itu. Kini ia tinggal mencari tempat sembunyi dan keluar ketika mereka pergi. Ia memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari makanan. Begitu sempit disana namun ia harus, demi semuanya. Sial, jejal kakinya yang bercampur darah Doni menunjukkan dimana ia berada. Tiba - tiba lemari terbuka. "Brak.!!"

Silau, lagi - lagi semuanya berbayang. Ia berusaha memfokuskan matanya. Empat orang dengan senapan telah berdiri di hadapannya yang telah menungggu kesadarannya, terlihat samar - samar. Ia heran. Kemudian ia memandangi dirinya. Ia kini telah terikat di balok besar itu. Siang itu akan menjadi yang terakhir bagi Abdu. Harumnya embun pagi kini hanya tinggal memori kecil yang nanti akan tersisa di kepalanya. Ia dan pikirannya salah, ini nyata, tinjuan yang ia terima, tendangan, caci maki, semuanya nyata. Tapi sebelum ia sadar kalau pembunuhan Doni adalah pikiran buruknya yang akan selalu mengintainya, sebuah peluru telah menembus pikirannya.

....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages